Minggu, 24 April 2011

KPK: ANTARA PREVENTIF DAN REPRESIF

Minggu lalu saya diundang olek KPK dalam acara sarasehan di Surabaya. Intinya KPK minta masukan untuk pengembangan ke depan. Walaupun undangan hanya lewat sms, saya perlukan hadir karena yakin pentingnya pengembangan KPK untuk negeri ini. Yang hadir sekitar 20 orang dan terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, pondok pesantren, kalangan pers dan kalangan LSM. Diskusi berjalan hangat. Teman-teman dari pers dan LSM tampak sangat antusias menyampaikan masukan maupun kritik terhadap kinerja KPK selama ini. Seperti ingat akan fitrahnya teman-teman akademisi banyak memberi masukan tentang bagaimana mengokohkan KPK, sedangkan teman-teman dari pesantren lebih memberikan dorongan moral dan bahkan do’a semoga PKP sebagai lembaga maupun anggota KPT dengan staf selalu sehat, tegar dan mampu melaksanakan tugas dalam membangun negara yang bebas korupsi.

Diskusi yang dimulai sekitar pukul 19.00 dan diakhiri sekitar pukul 22.30 itu berjalan secara interaktif. KPK yang diwakili oleh Pak Busyro Muqodas dan Pak Johan Budi juga merespons dengan baik berbagai pertanyaan, kritikan maupun saran peserta sarasehan. Keterbukaan KPK dan juga antusiasme peserta sarasehan dalam memberikan saran dan masukan menjadikan sarasehan itu berjalan dengan baik dan saya yakin hasilkan akan bermanfaat.  

Namun demikian saran, kritik yang diajukan peserta pada umumnya terfokus pada represif, yaitu penindakan terhadap mereka yang melakukan korupsi. Seingat saya hanya dua peserta yang memberikan masukan terkait dengan preventif, menghindari terjadinya korupsi, yaitu teman dari Universitas Brawijaya dan teman dari Yayasan Pendidikan Al Hikmah Surabaya. Yang menggembirakan, walaupun hanya dua orang yang memberikan saran, tetapi Pak Busyro memberikan apresiasi dan tanggapan secara panjang lebar. Sepertinya memang KPK ingin memberikan perhatian kepada pencegahan terjadinya korupsi.

Mengikuti jalannya pembicaraan selama sarasehan, saya jadi teringat perubahan paradigma layanan kesehatan di suatu negara maju sekitar 20 tahun lalu. Pada saat itu Kementerian Kesehatan di sana melakukan perubahan pola pikir bagaimana melayani kesehatan masyarakat. Sebelumnya upaya yang difokuskkan untuk memberi layanan kepada masyarakat yang sakit dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan menambah jumlah tempat tidur, perbaikan layanan pengobatan dan sebagainya. Intinya agar mereka yang sakit mendapat layanan pengobatan yang maksimal. Namun kemudian fokus tersebut diubah menjadi bagaimana membuat agar orang tidak sakit, sehingga tidak memerlukan layanan kesehatan. Oleh karena itu, kemudian para ahli dan tenaga lapangan kesehatan dikerahkan merancang program edukasi untuk “menyehatkan masyarakat”. Artinya dikembangkan program-program yang mengedukasi dan membantu masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat mereka sehat dan tidak sakit.  

Bagaimana hasilnya? Sungguh mengangetkan. Ternyata ketika program tersebut berjalan satu tahun, jumlah kunjungan ke rumah sakit dan dokter keluarga turun secara signifikan. Tahun kedua sampai beberapa tahun berikutnya juga terus menurun, walaupun kemudian penurunan tersebut semakin mendatar. Kesimpulannya, program mencegah orang sakit ternyata sukses. Jumlah orang sakit menurun signifikan dan biaya layanan kesehatan juga menurun dengan signifikan.  

Program itu kemudian mengilhami bidang kebersihan kota dan juga bidang keamanan. Bidang kebersihan kota bukan lagi berfokus kepada mengangkut dan mengelola sampah, tetapi mengedukasi dan membantu masyarakat agar dapat mengurangi sampah yang dihasilkan. Bidang keamanan bukan menambah jumlah polisi dan peralatan keamanan, tetapi mengedukasi dan membantu masyarakat agar daerahnya aman, dengan cara mengembangkan keamanan kolektif dari masyarakat untuk masyarakat. Mirip siskampling di Indonesia.

Mungkinkah KPK memberikan perhatian kepada upaya preventif agar orang tidak korupsi atau paling tidak mengurangi orang korupsi? Itulah yang perlu kita renungkan. Jika perubahan paradigma dalam bidang kesehatan, kebersihan dan keamanan yang dijelaskan di atas behasil sukses, saya yakin program preventif dalam bidang korupsi juga dapat berhasil. Pertanyaannya bagaimana rancangan program tersebut. Sebaiknya KPK mengajak para ahli terkait dan juga masyarakat luas yang relevan untuk merancang program tersebut. Kata orang bijak, jika program dirancang dengan baik dan cermat, serta dilaksanakan secara konsisten, kemungkinan besar akan berhasil dengan baik. Jika kita berhasil mengurangi atau bahkan menghilangkan korupsi, betapa bangganya kita. Semoga (muchlas-universitas negeri surabaya).  

Jumat, 22 April 2011

MASUK SD TES BACA TULIS?

Liburan tanggal 22 April 2011 saya pulang kampung mengunjungi orangtua dan keluarga. Kakak saya yang tinggal di kampung dengan bangga bercerita bahwa cucunya baru tes masuk SD dan diterima. Tesnya antara lain berupa membaca dan menulis serta membuka komputer. SD yang dimasuki adalah SD swasta favorit yang lokasinya di kota dan konon siswanya dari berbagai kecamatan.  

Apakah tes masuk SD hanya terjadi SD itu? Ternyata tidak. Kata kakak saya dan saudara yang ikut ngobrol saat itu ternyata hampir semua SD menerapkan tes masuk. Bahkan di SD negeri di kampung sayapun juga menerapkan tes masuk. Apa sih isi tesnya? Biasanya baca tulis. Jadi calon anak sudah harus bisa membaca dan menulis saat akan masuk SD. 

Saya sungguh risau dengan fenomena itu. Memang saya sudah lama mendengar adanya tes masuk SD. Ketika menjadi kepasa SD Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) pada tahun 2000-2003 kami juga menggunakan tes masuk SD. Waktu itu tesnya tentang kematangan psikologis, artinya apakah anak memang secara psikologis sudah siap masuk SD. Maklum saat itu orangtua getol memasukkan anaknya ke SAIMS, bahkan saat anaknya belum genap usia 6 tahun. Oleh karena itu ketika mendengar tesnya baca tulis, apalagi membuka komputer saya sungguh kaget dam kemudian risai. Bukan risau anaknya lulus atau tidak lulus, toh masih ada SD lain yang mau menerimanya. Yang saya risaukan adalah dampaknya pada pendidikan di TK. Saya khawatir, adanya tes baca tulis tersebut kemudian mendorong TK memaksa anak-anak belajar membaca dan menulis.

Bahwa membaca itu penting, tentu kita setuju. Bahwa menulis itu penting kita juga setuju, pertanyaannya apakah anak TK sudah harus belajar membaca-menulis. Dan apakah itu merupakan syarat “kelulusan” TK dan kemudian diteskan saat masuk SD. Bukan di usia TK, pembelajaran sebaiknya diarahkan untuk pengembangan diri, bersosialisasi dan menmbuhkan kreativitas? Anak TK justru lebih penting anak-anak TK didorong mengenal dirinya, lingkungannya, mengembangkan cita-cita dan sebagainya. Intinya mengembangkan kecakapan hidup yang sesuai dengan usianya.

Mengenal orang-orang besar, orang-orang sukses, orang-orang baik, sangat penting bagi anak-anak usia TK, sebagai awal mengembangkan cita-cita. Biasanya dengan mengenal orang-orang “besar” tersebut, anak mulai mencari identifikasi diri untuk membangun cita-cita. Cita-cita seperi itu, walaupun sangat mungkin pada saatnay berubah, tetap sangat penting. Apalagi jika kemudian anak-anak mulai belajar (sesuai dengan usianya) bagaimana perjalanan hidup tokoh yang diidamkan.

Perlu difahami bahwa menulis dengan huruf-huruf merupakan sesuatu yang baku. Oleh karena itu belajar menulis bagi anak kecil (bukan mengarang) tidak banyak memberikan ruang untuk berimajinasi. Lain dengan mengambar (yang betul caranya), anak berkesempatan menuangkan apa yang ada di pikirannya. Bahkan mendorong anak untuk berimajinasi. Saya khawatir, orang berpandangan belajar menulis analog dengan belajar mengarang. Mengarang memang merupakan wahana mengembangkan imajinasi, tetapi belajar menulis (melukis huruf yang memiliki standar baku) tidak sama. Sekali lagi belajar menulis dalam pengertian melukis huruf dengan standar-standar baku justru tidak sejalan dengan mengarang. Yang sejalan dengan mengarang untuk mengembangkan imajisasi dan kreativitas untuk anak usia TK adala menggambar dan bercerita.

Uraian di atas, bukan berarti anak usia TK dilarang belajar membaca dan menulis. Tentu itu bagus, tetapi jika itu merupakan keinginan anaknya sendiri dan bukan secara sistimatis guru memaksa dan apalagi itu masuk dalam kurikulum. Saya takut jangan-jangan rendahnya kreativitas anak-anak kita salah satunya disebabkan oleh fenomena tes baca-tulis ketika masuk SD. Semoga hal itu menjadi perhatian bagi semua pihak yang peduli kepada pendidikan, khususnya anak usia dini. (muchlas-universitas negeri surabaya) 

LALU LINTAS ITU CERMINAN BUDAYA

Pagi tadi, rabu 20 April 2001, sebuah stasiun televisi menyiarkan kebiasaan berlalu lintas masyarakat di suatu daerah. Ditunjukkan banyaknya orang yang masuk ke jalur counter flow karena di jalur yang seharusnya dilewati sangat padat. Pengguna jalan yang menuju ke arah tengah kota, mengambil jalur yang diperuntukkan mereka yang dari tengah kota ke pinggiran. Salah seorang pengendara yang melakukan itu diwawancarai dan menjelaskan bahwa kejadian seperti itu terjadi setiap pagi. Dia juga ikut melakukan karena mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di kantor. Penjelasan itu diberikan dengan muka ceria dan tanpa menunjukkan rasa bersalah.

Kejadian seperti itu sebenarnya terjadi di banyak tempat. Ada yang terjadi secara insidental dan dilakukan oleh beberapa orang saja, tetapi juga ada yang terjadi setiap hari dan dilakukan banyak orang secara masif, seperti yang tadi pagi disiarkan oleh televisi. Masyarakat setempat sepertinya juga sudah memahami kondisi itu, cenderung menerima dan bahkan mengikuti. Mungkin pada awalnya menganggap hal itu ganjil dan melawan aturan, tapi lama-lama dapat memahami dan bahkan ikut melakukan. Mirip prinsip kehidupan, apapun yang terjadi secara berulang-ulang pada akhirnya masyarakat mengangap itu sebagai sesuatu yang wajar dan diterima sebagai suatu kebenaran.

Oleh karena itu keadaan lalu lintas dapat merupakan gambaran budaya masyarakat. Lalu lintas merupakan perilaku kita yang oleh masyarakat setempat diterima, dianggap wajar dan dibenarkan seakan-akan sudah sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dengan logika bepikir itu, kita dapat mencermati keadaan lalu lintas di sekitar kita dan kemudian menarik simpulan sebagai cermin budaya kita. Atau paling tidak sebagai cermin perilaku yang “dibenarkan” oleh masyarakat. Sekarang marilah kita cermati lalu lintas di Surabaya. Berikut ini kesan saya sebagai orang Surabaya mencermati lalu lintas di Surabaya.

Pertama, tampak sekali sebagian besar orang berlalu lintas dengan ketergesaan tinggi. Seakan-akan semua orang ingin sampai di tujuan secepat-cepatnya. Mungkin itu gambaran masyarakat kota besar yang selalu sibuk dan dikejar waktu. Waktu sangat berharga, sehingga waktu perjalanan harus diusahakan sependek mungkin. Seingat saya kecepatan maksimal di dalam kota itu 40 km/jam. Saya tidak tahu apakah kecepatan mobil dan speda motor itu kurang, pas atau melebihi 40 km/jam. Yang jelas masyarakat sudah menganggap biasa dan menerimanya sebagai kewajaran.  

Kedua, mungkin sebagai dampak ketergesaan tadi ada kesan kuat para pengendara mobil dan motor itu saling berebut posisi untuk dapat lebih cepat. Tampak sekali ego masing-masing, seakan-akan ingin mengatakan “saya tergesa-gesa, tolong anda faham dan minggir atau mengalah”. Yang menjadi pejabat penting menggunakan fore raider. Bagi orang kaya dan kebetulan juga ada urusan penting (misalnya mantenan dan rombongan motor gede) juga menyewa fore raider. Bagi bus atau truk besar, seringkali memepetkan bus atau truknya ke kendaraan lain, dengan keyakinan kendaraan lain akan minggir karena takut kesenggol. Bagi mobil kecil juga melakukan hal serupa dengan mobil lain atau kendaraan yang lebih kecil. Pengendara speda motor juga tidak mau kalah, sehingga sering memotong kendaraan lain. Sepeda engkol dan becak juga tidak mau kalah, kalau mau belok mendaplangkan tangan seakan minta semua kendaraan dibelakangnya memberi jalan. 

Ketiga, tampaknya kita tidak taat pada rambu-rambu lalu lintas. Kita dapat mengamati banyak kendaraan parker di lokasi yang ada tanda dilarang parker bagkan tanda dilarang berhenti. Kita juga melihat banyak orang lewat jalan yang semestinya tidak boleh lewat atau hanya untuk yang dari arah sebaliknya (jalan satu arah). Kendaraan umum (bus atau angkutan umum) begitu enak menaikkan dan menurunkan penumpang, bahkan “ngetem” di tempat bertanda dilarang berhenti. Sekali lagi, orang-orang tersebut mengatakan “tolong difahami, saya sedang punya keperluan penting, sehingga melanggar rambu”. Pengemudi angkutan umum seakan ingin mengatakan “tolong dimengerti saya cari penumpang sehingga harus begini”.

Ada cerita, konon ada pengendarav sepeda motor melawati jalan melawan arus (jalan satu arah) dan ditangkap polisi yang sedang berjaga dan berdiri dibawah pohon dipinggir jalan. Ketika dihentukan dan ditanya oleh pak polisi apa tidak tahu ada tanda dilarang masuk (lewat), dengan ringan menjawab “ tahu tetapi tidak tahu kalau ada bapak disitu”. Kelakar itu menunjukkan bahwa pengendara tersebut akan taat pada rambu jika ada polisi. Jadi takutnya pada polisi dan bukan taat pada rambu.

Saya teringat Reader’s Digest edisi Juli 2006 memuat hasil surai tentang kesopanan/kepedulian masyarakat kepada orang (courteous). Hasilnya orang Jakarta menduduki peringkta ke 14 bersama Taipei. Lumayan di atas orang di Moscow dan Singapore (peringkat ke 15) dan Seol (peringkat 16). Yang menjadi pertanyaan mengapa yang menduduki peringkat atas antara lain New York (peringkat 1), Zurich (peringkat 2) dan Toronto (peringkat 3). Apakah orang Jakarta memang kurang sopan dan peduli kepada orang lain dibanding orang Amerika dan Kanada? Bukankah katanya bangsa kita bangsa yang ramah dan suka tolong menolong? Apakah memang perilaku kita sudah berubah? Fenomena dalam kita berlalu lintas, mungkin dapat sedikit menjelaskan.

Tentu tiga fenomena tersebut (dan masih banyak yang lain) tidak kita harapkan terus terjadi. Pertanyaannya, bagaimana mengubahnya menjadi lebih baik. Semoga pendidikan baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat menemukan cara mengubahnya, walaupun setahap demi setahap. Pengalaman Singapore mengubah perilaku masyarakat di saat awal kemerdekaan yang dikenal sebagai masyarakat Tionghoa pinggiran menjadi masyarakat Singapore modern yang kita amati saat ini, dapat dijadikan bahan banding. Semoga (muchlas-universitas negeri surabaya)

Selasa, 19 April 2011

IBU-IBU: BACK TO THE FAMILY

Dalam beberapa hari ini Radio Suara Surabaya menyiarkan pendapat psikolog Inggris yang menyebutkan adanya kecenderungan baru pada wanita di barat, yaitu kembali mengutamakan rumah tangga dibanding karier. Bagi masyarakat di Indonesia mungkin pendapat atau temuan itu tidaklah istimewa, karena dengan mengacu pada nilai-nilai keagamaan maupun budaya, pada umumnya masyarakat Indonesia berpendapat bahwa tugas pokok ibu-ibu adalah mengurus rumah tangga. Itulah sebabnya para wanita karier-pun, ketika ditanya bagaimana membagi waktu, pada umumnya akan mengatakan bekerja dan berkarier tetapi tidak melupakan kuwajiban sebagai ibu rumah tangga. Ada yang mengatakan harus pandai membagi waktu yang seimbang antara pekerjaan dan rumah tangga. Bahkan akan yang mengatakan tetap mengutamakan rumah tangga.

Adanya kecenderungan ibu-ibu di masyarakat barat untu lebih mengutamakan rumah tangga merupakan fenomena yang menarik. Sepanjang yang saya tahu, dengan argumen emansipasi dan persamaan hak, banyak wanita di barat berpendapat bahwa peranan laki-laki dan wanita seharusnya sama di segala bidang. Menurut mereka bekerja dan mengurus rumah tangga adalah tugas bersama antara ayah dan ibu, masing-masing memiliki kuawajiban yang sama dan pembagian tugas tidak boleh atas nama gender.

Tulisan ini tidak akan membahas soal gender dan tidak terkait setuju atau tidak setuju dengan emansipasi wanita. Tulisan ini juga tidak akan membahas alasan mengapa para ibu-ibu di barat sekarang cenderung lebih mengutamakan rumah tangga dibanding karier. Tulisan ini akan melihat dampak positif dari fenomena itu dari aspek pendidikan anak-anak, khususnya pada anak usia dini.

Mungkin sudah fitrahnya anak-anak, khususnya saat usia sampai sekitar 6 tahun atau biasa disebut balita (di bawah lima tahun) lebih dekat dengan ibunya dibanding dengan bapaknya. Mungkin karena ibunya yang menyusui, sehingga ada dampak psikologis dari itu. Atau mungkin juga karena ibu yang menyusui maka anak lebih lama berinteraksi dengan ibu dibanding dengan bapak. Atau karena sang bayi berada di dalam kandungan ibu selama sekitar 9 bulan, sehingga memiliki “frekuenasi” yang sama dengan ibunya. Yang jelas, sepanjang yang saya tahu anak-anak balita, baik di barat maupun di timur pada umumnya lebih dengan dengan ibunya dari pada bapaknya.

Menurut ahli psikologi bayi lahir sampai usia sekitar 5 tahun adalah masa perkembangan yang sangat penting. Pada usia itu perkembangan otak sangat pesat. Buku-buku neuropsychology sekarang banyak yang membahas hal itu. Oleh karena itu jika pada usia itu anak diberi rangsang yang positif dan maksimal, diharapkan otaknya juga akan berkembang optimal. Tentu saja disamping asupan psikologis sang anak juga memerlukan asupan makanan (dan atau minuman) yang tepat, sehingga mendukung pertumbuhan fisik maupun psikologisnya.

Lingkungan, baik fisik maupun sosial tentu memegang peran penting dalam pertumbuhan psikologis anak. Oleh karena itu para orangtua yang merasa bahwa anaknya “titipan Illahi”, maka perlu mengupayakan tersedianya lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang mampu merangsang pertumbuhan anak-anak. Perlunya interaksi seperti itu sampai kelas-kelas awal SD dimana anak lebih banyak berada di rumah atau sekitar rumah, sehingga interaksi terbesar dengan orang-orang di dalam rumah tangga tersebut.

Nah, karena anak-anak balita pada umumnya lebih dekat dengan ibu, maka akan sangat ideal jika ibu menjadi pemain utama dan atau penskenario interaksi lingkungan sosial bagi anaknya. Anak-anak yang ditinggal ibunya dan kemudian diasuh pembantu dan atau diasuh “televisi” tentu tidak dapat memperoleh lingkungan sosial yang maksimal, sebagaimana seandainya ada ibu di dekatnya. Itulah mungkin yang menjadi alasan di beberapa negara, misalnya Belanda, tidak membolehkan anak TK dan SD kelas awal, tinggal di rumah sendirian tanpa orang tua atau orang dewasa. Disarankan ibu-ibu yang mempunyai anak-anak seumur itu sudah kembali ke rumah, saat anaknya pulang sekolah. Bahkan informasi terakhir yang saya dapat, Jepang meminta ibu-ibu muda yang memiliki anak-anak seperti itu bekerja part-time sehingga dapat menemani (dan tentu mengasuh) anak-anaknya.

Apa dampak seandainya fenomena ibu-ibu di barat (yang cenderung akan mementingkan urusan rumah tangga) itu kemudian membesar dan diikuti negara lain yang justru akan berbuat sebaliknya? Rasanya akan muncul dampak yang menjanjikan. Lingkungan sosial di rumah akan menjadi kondusif karena ditunggui, diskenario dan diperanutamai sang ibu. Saya yakin ibu yang secara sadar mengutamakan keluarga dibanding karier, akan merancang lingkungan fisik dan sosial yang terbaik bagi anaknya. Nah, jika semakin banyak ibu-ibu seperti itu, maka pertumbuhan fisik maupun psikologis anak-anak akan semakin baik di masa datang. Dan itu sebenarnya investasi yang sangat berharga bagi tumbuh kembangnya generasi mendatang.

Karena ibu diharapkan menjadi penskenario dan atau pemegang peran utama dalam interaksi sosial di rumah tangga, maka sangat ideal kalau ibu-ibu tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai atau bahkan bagus tentang merawat dan membimbing anak. Misalnya ibu-ibu tersebut memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan yang bergizi, psikologi perkembangan anak dan juga permaian edukasi. Untuk itu akan sangat bagus, jika para calon penganten diberikan bekal praktis tentang hal-hal tersebut, misalnya kursus singkat sebagai bagian dari persiapan pernikahan di KUA, gereja dan sebagainya. Semoga. (muchlas-universitas negeri Surabaya).

Minggu, 17 April 2011

PGRI RELAKAN GURU CURANG?

Berita itu kurang lebih PGRI merelakan guru berbuat curang dalam membantu siswa agar dapat lulus UN dengan nilai baik. Kita dapat membayangkan apa yang dimaksud curang, misalnya membiarkan siswa nyontek atau saling membantu, guru memberitahu jawaban kepada siswa, mencari bocoran soal dan mengubah jawaban dalam lembar jawaban ujian nasional (LJUN). Membaca berita itu, saya sungguh seperti mendengar geledek di siang hari. Saya baca berulang-ulang dan setengah tidak percaya dengan pernyataan oleh seseorang yang saya kenal itu. Beliau seorang doktor (ingat saya doktor dalam bidang filsafat pendidikan) yang cerdas dan dosen di perguruan tinggi yang dikenal sangat peduli dengan moral bangsa. Seingat saya perguruan tempat beliau mengajar itu yang pertama kali memberi matakuliah Anti Korupsi, yang kemudian diikuti oleh beberapa perguruan tinggi lain. Apalagi beliau mengatakan itu sebagai pengurus PGRI, salah satu organisasi persatuan guru terbesar di Indonesia dan yang seringkali mewakili organisasi guru, baik dalam skala nasional atau internasional.  

Saya dapat memahami alasan yang diajukan, yaitu (secara sederhana) guru dalam posisi terjepit karena ditekan oleh kepala sekolah, kepala sekolah ditekan oleh kepala dinas dan seterusnya. Mungkin maksudnya, guru “terancam nasibnya” jika tidak berbuat curang dan prestasi siswa dalam UN kurang baik. Kepala sekolah akan “terancam nasibnya” jika tidak curang dan prestasi sekolahnya dalam UN kurang baik. Seakan kawan itu mengatakan bahwa itu keadaan terpaksa, keadaan darurat, tindakan untuk membela diri dan sebagainya.

Saya memang mendengar keadaan seperti itu, misalnya kepala dinas ditarget oleh bupati/walikota bahwa UN harus lulus minimal sekian persen, ganti kepala dinas menarget kepala sekolah, dan kepala sekolah menarget guru. Nah guru tidak dapat menarget murid, akibatnya guru berbuat curang dan kadang kala bersama kepala sekolah dan sebagainya. Yang saya tidak faham apakah itu dapat dikatakan keadaan terpaksa atau keadaar darurat. Ibarat orang Islam boleh makan daging babi karena darurat, yaitu jika tidak akan mati jika memakannya. Saya menduga bahwa apa yang diungkapkan oleh kawan tadi bukan sikap resmi PGRI dan ternyata dugaan saya benar. Setelah saya sms, ketua PGRI menjawab (Dr. Sulistyo) menjawab bahwa sikap PGR dalam hal UN adalah meminta guru dan siswa untuk jujur apapun hasilnya.  

Yang menjadi pertanyaan, kalau pengurus pusat PGRI yang bergelas doktor, cerdas dan dosen di perguruan tinggi ternama saja bersikap seperti itu, dapat dibayangkan seperti apa sikap orang lain, yang mungkin yang mungkin “kurang educated”, tidak memiliki pengalaman luas dan tidak faham konsep pendidikan. Tulisan ini juga tidak akan membahas “keterpaksaan atau tidaknya” kasus itu dan juga tidak akan membahas sah-tidaknya sang doktor tersebut membuat pernyataan atas nama PGRI. Yang ingin diulas adalah dampak dari pernyataan tersebut.
 
Sekian tahun yang lalu ada seorang kawan yang saat itu memiliki jabatan penting. Ketika anaknya tidak diterima di SMA Kompleks (SMA Negeri favorit di Surabaya), kemudian memasukkannya di SMA di luar kota. Hanya untuk satu semester. Pada semester berikutnya dipindah ke SMA Kompleks. Kok bias? Memang secara aturan siswa dapat pindah antar SMA negeri dari kabupaten berbeda. Untuk kasus tersebut memang sudah disediakan bangku oleh kepala sekolahnya, sehingga pada semester dua kelas satu tinggal mengatur adminsitrasinya. 

Ketika hal itu saya tanyakan, beliau menjawab itu atas inisiatif kepala sekolah. Mungkin juga betul. Saya jelaskan dari konsep pendidikan, itu sama artinya memberitahu siswa: “Nak, kamu tidak perlu belajar keras. Nanti ayah dapat memasukkan kamu ke SMA Kompleks”. Yang lebih dahsat, itu seperti mengumumkan kepada publik: “Bapak/Ibu/Saudara, anak SMP tidak perlu belajar keras. Sepanjang Bapak/Ibu/Saudara punya jabatan strategis dan atau punya uang, akan dapat memasukkan putra ke SMA favorit”. Konsep itu terkonfirmasi validitasnya, artinya banyak anak berpendapat seperti itu dan banyak masyarakat juga berpendapat seperti itu. Nah, jika ternyata atas anjuran “PGRI” para guru berbuat curang, misalnya membiarkan siswa menyontek, guru memberi jawaban kepada peserta ujian dan berusaha mencari bocoran soal, itu sama artinya mengatakan: “Anak-anak tidak usah belajar keras, nanti kalian dapat nyontek, dapat saling membantu, Pak/Ibu guru akan memberi tahun jawaban yang benar dan seterusnya”. Yang mendapat pembelajaran seperti itu tidak hanya siswa kelas 3 SMP, kelas 3 SMA, kelas 6 SD, tetapi juga siswa pada kelas di bawahnya, misalnya siswa kelas 2 SMP, siswa kelas 2 SMA. 

Jika ternyata banyak pengurus PGRI yang memiliki pendapat seperti itu dan banyak guru yang setelah membaca statement itu banyak guru yang berbuat curang, maka dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya dampak negatif kepada para siswa. Saya khawatir, teman tadi lupa akan dampak berantai dari pernyataannya yang mungkin dimasudkan untuk membela guru. Belum lagi dampak yang kemudian masyarakat luas tidak percaya terhadap hasil UN.

Jika memang benar yang disampaikan itu bukan sikap resmi PGRI dan bahkan bertentangan dengan sikap resmi PGRI sebaiknya segera dilakukan klarifikasi. Memang jika baru besuk atau bahkan besuk luas ada penjelasan dari PGRI sudah akan terlambat, karena sangat mungkin para guru “sudah bergerak”. Tetapi seperti kata pepatah “lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali”. Semoga (muchlas-universitas negeri Surabaya). 

Jumat, 15 April 2011

PENDIDIKAN ITU DOMAIN PUBLIK ATAU PRIVAT?

Pada suatu acara saya bertemu dengan teman alumni Unesa yang sekarang menjadi pegitan LSM. Saat itu kita sedang diskusi tentang biaya pendidikan yang oleh beberapa pihak dianggap sangat mahal. Bahkan saat itu muncul pernyataan yang bernada provokatif: “orang miskin dilarang sekolah”. Teman tadi berpendapat bahwa pemerintah harus menjamin semua warga negara untuk memperoleh pendidikan sampai setinggi-tingginya, sesuai dengan keinginannya. Pendapat itu didasarkan pada pasal 28-C UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan pendidikan”. Juga dirujukkan pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Teman tadi seakan ingin mengatakan bahwa pendidikan (di sekolah/perguruan tinggi, kursus dan sebagainya) merupakan domain publik (public good), sehingga pemerintah wajib memenuhinya untuk kepentingan rakyat banyak. Sekolah dan perguruan tinggi dianalogikan dengan jalan raya (bukan jalan tol) yang harus dibangun dan dipelihara oleh pemerintah/pemerintah daerah untuk kepentingan masyarakat umum.

Di satu sisi pendapat tersebut sungguh bagus. Dengan memperoleh pendidikan pada bidang yang sesuai dengan bakatnya dan jenjang yang sesuai dengan keinginannya, kita yakin seseorang akan mampu mengembangkan potensinya dengan maksimal dan pada akhirnya dapat memerankan diri sebagai pribadi yang mandiri (bekerja dan mampu memenuhi kehidupan sendiri), sebagai warga masyarakat dan warga negara yang baik. Pada gilirannya orang seperti itu akan menjadi sumberdaya insani handal dalam pembangunan bangsa.

Untuk memenuhi harapan mulia tersebut tentu diperlukan biaya yang sangat besar. Saya tidak faham bagaimana menghitungnya. Namun, dengan asumsi unit cost SD/MI 12 juta/tahun dengan jumlah siswa 30 juta orang; unit cost SMP/MTs 15 juta/tahun dengan jumlah siswa 13 juta orang, unit cost SMA/SMK/MA 17 juta dengan jumlah siswa 9 juta orang, dan unit cost perguruan tinggi 20 juta dengan jumlah mahasiswa 6 juta orang, diperlukan anggaran 828 trilyun. Jumlah yang setara dengan 75% APBN, jika diasmusikan APBN kita 1.100 trilyun.

Sangat mungkin anggaran yang sebesar itu (75% APBN) tidak dapat dipikul oleh pemerintah dan juga membuat ketidakseimbangan dalam pengalokasian anggaran antar sektor pembangunan. Membagi-bagi secara merata agar semua jenis dan jenjang pendidikan ditanggung pemerintah, tetapi dengan anggaran terbatas, sehingga unit cost yang dapat diberikan terlalu kecil juga kurang baik. Pola itu seringkali menjadi “meratakan pendidikan yang tidak bermutu”. Memaksanakan agar 75% APBN digunakan untuk pendidikan juga kurang bijak. UUD 1945-pun hanya mengamanatkan 20% dan ternyata itu termasuk gaji guru.

Lantas bagaimana jalan keluarnya? Bukankah kita ingin semua warga negara memperoleh pendidikan yang bagus, yang sesuai dengan minat/bakatnya dan sesuai dengan jenjang yang diinginkan? Belajar dari negara maju, hanya beberapa negara yang membebaskan uang sekolah/kuliah untuk seluruh jenjang sekolah. Setahu saya hanya Jerman dan Perancis. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, setahu saya hanya membebaskan uang sekolah sampa tingkat menengah. Itupun sekolah swasta masih menarik SPP walaupun mereka juga mendapatkan subsidi dari negara. Untuk jenjang perguruan tinggi, baik negeri (state university) maupun swasta (private university) menarik SPP. Biasanya memang perguruan tinggi swasta lebih mahal dibanding perguruan tinggi negeri. Informasi terakhir, Jerman juga sedang memikirkan apakah memang kuliah di perguruan tinggi negeri harus bebas SPP. Kita tidak tahu apa yang terjadi, apakah Jerman merasa berat membebaskan SPP bagi seluruh sekolah/perguruan tinggi atau ada perkembangan lain.

Pendidikan yang setengah-setengah seringkali berakibat buruk. Siswa SMK bidang otomotif yang tidak pernah praktek, karena sekolah tidak memiliki peralatan memadai akan menjadi lulusan “SMK Sastra”, yaitu lulusan SMK dengan kepandaian “mengarang”. Ini tidak berarti pandai mengarang itu kurang baik, tetapi bagi lulusan SMK yang hanya bias mengarang tentang pekerjaan ke-otomotifan, tentu sangat tidak baik. Oleh karena itu, dengan anggaran yang terbatas, lebih baik Indonesia memusatkan perhatian jenjang tertentu.

Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Berarti biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP seharusnya disediakan oleh pemerintah. Sangat mungkin itu terkait dengan wajib belajar. Artinya orangtua bersalah jika tidak menyekolahkan minimal sampai jenjang SMP, sebaliknya pemerintah/pemerintah daerah harus menanggung seluruh biaya untuk pendidian tersebut.

Dengan landasan itu, sebaiknya pendidikan di jenjang SD dan SMP yang difahami sebagai domain public, sehingga seluruh biaya harus ditanggung oleh pemerintah. Tentu dengan mutu yang bagus (standar) yang memerlukan biaya tertentu pula. Artinya kita harus memastikan berapa unit cost standar untuk SD dan SMP yang harus dimasukkan dalam anggaran negara/daerah. Sedangkan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) sebaiknya difahami sebagai domain privat dengan alasan yang kuliah hanya orang tertentu, yaitu mereka yang cukup kaya, sehingga mampu membayar. Untuk jenjang SMA dapat dimaknai di tengah-tengah, sehingga ada bagian yang ditanggung pemerintah dan ada bagian yang ditanggung oleh masyarakat/orang tua.

Apakah seluruh biaya pendidikan di jenjang SD dan SMP ditanggung pemerintah, tanpa ada batasan? Sebaiknya ada batasan standarnya. Misalnya ruang standar ruang kelas, standar laboratorium, standar perpustakaan, standar jumlah dan kualifikasi guru dan sebagainya. Standar yang disusun berdasarkan kajian untuk mencapai mutu pendidikan yang baik. Sampai mencapai standar itu, biaya menjadi tanggungan pemerintah. Sedangkan jika masyarakat ingin lebih dari itu, misalnya ingin ruang kelas ber-AC, perpustakaan yang canggih, silahkan kekurangannya ditanggung sendiri. Dengan cara itu terjadi keadilan. Masyarakat kurang mampu dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah bermutu baik tanpa harus membayar, sementara orang kaya disilahkan menambah fasilitas, sesuai dengan harapannya. Semoga (muchlas-unesa).

Kamis, 14 April 2011

TIM SUKSES UN, ANTARA SORGA DAN NERAKA

Tahun ini Unesa menjadi koordinator pengawas Ujian Nasional (UN). Sebagai rektor otomatis saya menjadi penanggung jawab pengawasan UN tersebut. Akibatnya saya sering diundang di berbagai acara, misalnya pada acara Ajang Wadul di TVRI, Kompas TV, RRI, Radio Elshinta dan Suara Surabaya, baik langsung maupun via tilpun. Penanya dan pemberi komentar pada acara tersebut sangat beragam, mulai dari ibu-ibu rumah tangga, guru/pendidik dan para pegiat LSM. Tentu mereka itu orang-orang yang peduli pada pendidikan dan saran maupun komentarnya sangat bagus-bagus.

Komentar dan pertanyaan yang akhir-akhir ini sering muncul dan bahkan berulang-ulang adalah adanya tim sukses. Saya juga tahu adanya tim seperti itu. Saya juga tahu bahwa tim itu di satu sisi bertujuan baik, yaitu mengupayakan agar siswa lulus dengan nilai bagus. Namun di lain pihak, kadang-kadang keinginan agar siswa lulus dengan nilai baik itu dilakukan dengan cara-cara yang kurang baik. Bahkan seringkali merugikan siswa itu sendiri. Tulisan singkat berikut ini dimaksudkan untuk memberi masukan kepada Tim Sukses itu.

Seperti halnya menghadapi pekerjaan penting lainnya, untuk menghadapi UN disamping belajar yang baik, menjaga kesehatan agar bugas pada saat ujian, berdoa secara khusuk untuk mendapatkan ridho Illahi, siswa perlu bekal percaya diri. Percaya diri sangat penting karena akan membuat siswa melangkah ke ruang ujian dengan mantap. Ibarat dalam pertandingan sepak bola, pemain memasuki lapangan dengan mantap dan penuh percaya diri. Sebaliknya jika siswa tidak percaya diri akan ragu memasuki ruang ujian dan juga selalu ragu dalam mengerjakan soal, sehingga seakan-akan “kalah sebelum perang”. Keraguan dalam mengerjakan soal akan menghilangkan konsentrasi siswa.

Lantas apa hubungannya antara Tim Sukses dengan rasa percaya diri siswa? Jika Tim Sukses menyiapkan siswa belajar dengan baik, misalnya bersama mereview materi ujian dengan baik, membahas bagian yang belum difahami oleh siswa, berlatih mengerjakan soal-soal yang lalu maupun soal-soal kreasi guru/pakar yang dikembangkan berdasar kisi-kisi ujian, mengajak siswa untuk beribadah dan berdo’a secara khusuk, akan membuat siswa percaya diri. Siswa merasa telah menguasai materi ujian, baik konsep maupun latihan soal, yakin mendapat ridho Illahi karena telah beribadah dan berdo’a dengan tulus, maka mereka akan dengan penuh keyakinan diri memasuki ruang ujian. Sekali lagi rasa percaya diri seperti itu sangat penting untuk menghadapi Ujian Nasional.

Sebaliknya jika Tim Sukses justru sibuk mencari bocoran soal, memberi tahu siswa bahwa akan dicarikan bocoran soal, mengajari bagaimana cara menerima kode-kode contekan dan sebagainya, maka akan membuat siswa tidak percaya akan kemampuan sendiri. Siswa akan merasa menggantungkan dari bocoran soal maupun contekan dari orang lain. Lebih jauh, siswa akan merasa tidak percaya akan bekal yang telah dimiliki walaupun telah belajar keras dan juga beribadah serta berdoa. Apalagi jika kemudian Tim Sukses menjanjikan akan dapat bocoran soal dan atau dapat memberi kode saat siswa mengerjakan soal ujian. Akibatnya sangat mungkin siswa tidak dapat mengerjakan soal UN bukan karena tidak menguasai materi ujian, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan diri, keragu-raguan dan ketergantungan pada janji bocoran soal maupun contekan dari orang lain. Jika hal itu terjadi, Tim Sukses sebenarnya berperan sebagai Tim Gagal, artinya tidak membuat anak berpotensi sukses tetapi malah berpotensi gagal.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan oleh Tim Sukses adalah halal-haram-nya bocoran dan contekan serta dampak selanjutnya pada anak-anak. Bagi yang percaya halal-haram tentu sepakat bahwa soal bocoran dan contekan itu termasuk barang haram. Nah, jika siswa kita mencari dan atau mendapatkan bocoran dan atau contekan, bukankah hasil pengerjaan UN mengandung barang haram? Jika nanti keluar hasilnya, bukankah dalam hasil UN terkandung barang haram? Jika nanti hasil UN masuk ke STTB/ijasah bukankah dalam STTB/ijasah itu terkandung barang haram? Jika dengan STTB/ijasah anak kita bekerja, bukankah dalam perolehan kerja itu terkandung barang haram? Jika dari bekerja itu mendapatkan gaji, bukankah dalam gaji itu terkandung barang haram?

Jadi Tim Sukses UN itu berpotensi dapat sorga jika membantu siswa menyiapkan diri dengan baik dan caranya juga baik. Sebaliknya Tim Sukses UN juga berpotensi dapat neraka jika ternyata cara membantu siswa juga membuat anak gagal dan atau membuat hasil UN anak-anak mengandung barang haram. 

Ada sebuah metapora, ada seseorang yang meninggal, sebut saja namanya Fulan. Nah, “di alam sana”, di Fulan “diadili” dan ditanya mengapa makanan yang dimakan mengandung barang haram, karena pekerjaan diperoleh dengan ijasah yang mengandung barang haram. Fulan protes, karena itulah satu-satunya ijasah tertinggi yang dimiliki dan tentu itu yang digunakan untuk mendapatkan pekerjaan. Pokoknya Fulan mencoba membantah. Namun, seluruh anggota badannya menjelaskan memang dulu saat UN mendapatkan bocoran dan contekan. Singkatnya Fulan tidak dapat mengelak dan diputuskan masuk neraka. Setengah fustrasi Fulan berkata: “Baik saya menerima putusan masuk neraka, tetapi Tim Sukses UN yang mengajari dan membantu saya mendapatkan bocoran dan contekan mohon juga dimasukkan neraka”. Semoga itu tidak terjadi kepada kita.

Rabu, 13 April 2011

TANGGUH MENGANTAR SESEORANG SUKSES

Rabu tanggal 5 April 2011 lalu saya kedatangan teman lama, yaitu Ir. Misbahul Huda. Saya mengenal beliau sudah cukup lama dan sering berdiskusi, khususnya saat beliau menjadi Rektor Universitas Al Falah Surabaya. Saya tahu beliau orang muda yang cerdas dan suskes dalam bisnis serta aktif dalam kegiatan sosial. Insinyur Elektro dengan predikat cumlaude lulusan UGM itu dikenal sebagai orang dibalik kesuksesan percetakan Jawa Pos (PT Temprina Media Grafika). Setahu saya, disamping direktur utama PT Temprina, Misbahul Huda juga sebagai direktur utama Pabrik Kertas Adiprima Suraprinta, direktur utama Power Plant milik Jawa Pos, direktur utama JP Book. Ingat saya beliau juga memegang pimpinan di beberapa perusahaan lain.

Kedatangan Mas Huda, begitu biasa saya biasa memanggil, sebenarnya untuk urusan kerjasama Unesa dengan Jawa Pos untuk acara “Hari Pendidikan” Mei mendatang, yang antara lain akan menggelar lomba robot untuk anak-anak berkebutuhan khusus (siswa SLB) dan acara untuk teman-teman guru. Karena teman lama, maka pertemuan menjadi ajang kangenan dan cerita “ngalor ngidul”. Sebagai orang yang lebih tua, saya banyak bertanya bagaimana perkembangan bisnis Mas Huda dan apa saja yang dikerjakan di luar urusan bisnis. Termasuk saya sampaikan saat beliau “dirasani” oleh beberapa orang pada saat ada pengajian di rumah teman yang kebetulan berdekatan dengan rumah beliau.  

Pada saat pulang, saya dihadiahi 3 buku yang salah satunya berjudul “Mission Ini Possible” (bukan Mission Impossible) tulisan beliau sendiri. Malamnya buku tersebut saya abaca dan isinya sungguh sangat bagus dan banyak didasarkan atas pengalaman beliau. Mirip buku motivasi diri untuk memompa motivasi pembaca. Uraian kalimatnya sangat mengalir dengan diberi ilustrasi keseharian, sehingga mudah difahami. Besuknya saya langsung sms untuk meminta beliau memberikan motivasi kepada para mahasiswa Unesa. Uraian berikut ini adalah salah satu butir penting dari buku tersebut.

Kalau boleh memilih satu mutiara penting dalam buku itu ialah “sukses itu ditopang oleh ketangguhan usaha yang dilandasi keinginan berkadar 24 karat”. Mas Huda memberi banyak ilustrasi dari pengalaman pribadi maupun rekannya. Misalnya ketika pabrik kertas yang dipimpinnya mengalami problema pecah komponen mesin saat digenjot untuk produksi puncak. Ahli dari pabrikan Jerman dan Jepang (atau China) juga tidak mampu memperbaiki. Pada saat itu muncul keinginan kuat (istilahnya 24 karat, mungkin meminjan istilah emas 24 karat) untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia lebih hebat dan mampu mengatasi. Oleh karena itu muncul ide “mengusir bule”, yaitu menyuruh ahli Jerman dan Jepang tersebut pulang dan problem itu akan diatasi oleh teknisis Jawa Pos sendiri. Sungguh luar biasa. Setelah berjuang keras, konon hampir tidak pernah istirahat, akhirnya para teknisi itu mampu merancang ulang komponen yang selalu pecah itu dan akhirnya pabrik kertas itu mampu mencapai produksi puncak. Masih banyak contoh lain yang dapat pembaca baca sendiri di buku itu.

Mengapa perlu keinginan 24 karat sebagai modal sukses? Itu pertanyaan yang muncul di benak saya saat awal membaca. Ternyataitu dijelaskan dengan acuan psikologi. Menurut Mas Huda, keinginan 24 karat, artinya betul-betul suatu keinginan “murni” yang tumbuh dari dalam diri akan berkembang di alam bawah sadar manusia. Nah, alam bawah sadar itu ternyata mampu berperan sebagai enersi yang tidak habis untuk berusaha sekuat tenaga.

Mungkin ilustrasi dari tempat lain, adalah teroris yang mengendong bom bunuh diri dan berjalan menuju tempat peledakan. Meskipun tahu bahwa dia akan mati bersama ledakan bom tadi, toh dia terus melangkah tanpa ada rasa takut. Bahkan jika itu gagal agar diulangi lagi. Seakan-akan meledakan bom bunuh diri itu harus diusahakan apapun taruhannya.

Mas Huda tampaknya ingin meyakinkan pembaca bahwa usaha keras itu lebih penting dibanding sekedar bakat atau kemampuan. Mas Huda seakan ingin meyakinkan bahwa kita semua pasti bias, asalkan mau bekerja keras (tentunya juga harus bekerja cerdas). Ilustrasi yang diberikan adalah saat para teknisi pabrik kertas tersebut “mengawinkan” dua bagian mesin yang berasal dari pabrikan yang berbeda. Tanpa kenal lelah para teknisi “lokal” tersebut terus mencari cara agar dua bagian mesin kertas yang berasal dari pabrikan berbeda itu dapat digandengkan. Dan hasilnya memang bias, tentu setelah melalui percobaan yang tidak terhitung jumlahnya. Mirip Thomas A Edison yang melakukan lebih dari 1.000 kali untuk menghasilkan bola lampu listrik.

Apa yang dapat dipetik dari mutiara Mas Huda tersebut, khususnya bagi pendidikan? Pertama, bagaimana kita mendorong siswa atau anak-anak kita berani bermimpi, berani bercita-cita. Mimpin atau cita-cita yang 24 karat, sehingga bersemi di bawah alam bawah sadar dan pada saatnya menjadi energi yang ternilai untuk menggapainya. Kedua, bagaimana mendorong anak-anak dan siswa kita untuk pantang menyerah saat melakukan sesuatu. Semangat pantang menyerah (yang disertai kerja cerdas) terbukti mampu mengantar sukses. Istilahnya please do the best, then God will take the rest.

Tentu mimpi yang disebutkan di atas haruslah mimpi yang rasional. Artinya cita-cita yang dilandasi oleh rasional yang baik. Artinya secara rasional memang itu mungkin. Saya yakin kita semua memiliki bekal rasional itu, sehingga mampu memastikan bahwa sesuatu yang kita mimpikan itu mungkin tercapai atau tidak. Ungkapan “sulit tetapi mungkin” itu sudah cukup untuk indikator bahwa itu layak menjadi mimpi yang rasional. Semoga.

Senin, 11 April 2011

BELAJAR DARI TSUNAMI DI JEPANG

Beberapa minggu ini kita disuguhi berita tentang tsumani yang sangat hebat di Jepang. Gambar dan film di televisi menunjukkan betapa hebatnya tsunami meluluhlantakkan kota atau daerah di tepi pantai. Tsunami itu mampu membawa kapal naik ke darat dan menghempaskan untuk menambrak kolom penyangga jalan layang. Tsunami menghanyutkan mobil yang tampak seperti mobil mainan, merobohkan rumah bahkan mampu menyeret pesawat dan menambrakannya pada bangunan di lapanan terbang.

Di samping gambar dan film, kita juga disuguhi informasi naratif, komentar para pakar dan bahkan beberapa stasiun televisi menggelar talk show tentang tsunami, tentu dari sudut pandangnya masing-masing. Koran maupun majalah juga menjadikan tsunami di Jepang tersebut sebagai berita utama untuk berhari-hari. Obrolan di saat minum kopi/teh, saat istirahat di kantor, di ruang guru/dosen juga diwarnai oleh topik tsunami. Bahkan tsunami di Jepang menjadi ilustrasi berbagai seminar dan kuliah.

Lantas apa sebenarnya pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tsunami di Jepang itu? Paling tidak ada pelajaran yang dapat dipetik (lesson learned) untuk kita bangsa Indonesia. Pertama, kesiapan pemerintah dan masyarakat Jepang menghapi bencana. Begitu gempa terjadi dan diketahui akan menimbulkan tsunami, pemerintah dan instansi yang bertanggungjawab mengingatkan masyarakat bahwa akan datang tsunami dalam sekian menit. Masyarakat diminta segera menyelamatkan diri. Dari televisi kita juga menyaksikan betapa masyarakat Jepang siap menyelematkan diri. Sepertinya masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan, jika tsunami datang.

Mengapa dapat terjadi seperti itu? Ternyata pengetahuan apa tanda-tanda tsunami dan bagaimana cara menyelematkan diri jika ada tsunami telah diajarkan dan menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Jepang. Latihan-latihan menyelamatkan diri sudah dilatihkan sejak anak di TK. Sepertinya Jepang sadar betul bahwa setiap saat tsunami dapat datang dan masyatakat harus siap menghadapinya. Pemahaman seperti itu telah menjadi “milik” masyarakat, sehingga mereka siap melakukannya.

Pihak yang bertanggungjawab tampak juga siap menghadapi perstiswa tersebut, terbukti tidak terlambat memberi peringatan kepada masyarakat. Info yang saya dapat, sekitar 20 menit sebelum tsunami datang, pemerintah menyiarkan lewat berbagai media bahwa tsunami akan datang dalam waktu 20 menit dan masyarakat agar menyelematkan diri, Peringatan terus diulang-ulang dengan perhitungan mundur.

Apa sesungguhnya dibalik itu semua? Menurut saya adalah rasa tanggung jawab yang begitu besar dari pemerintah atau pihak yang bertangung jawab. Tampaknya Jepang berhasil menumbuhkan rasa bertanggung jawab yang besar kepada petugas atau orang-orang yang menangani bencana. Memang kemampuan memprediksi akan terjadi tsunami didukung oleh penguasaan iptek yang maju di Jepang. Tetapi kemampuan memberikan peringatan yang begitu menyeluruh dan terus menerus, tentu didukung rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan masyarakat. Dari sudut pandang pendidikan, muncul pertanyaan: bagaimana cara Jepang menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar 

Kedua, ketangguhan masyakat Jepang dalam menghadapi bencana sungguh sangat mengagumkan. Tayangan di televisi menunjukkan petugas di Jepang yang tampak bekerja keras mengatasi bencana tsunami dan membantu mengevakuasi korban. Tidak tampak sama sekali wajah putus asa. Beberapa pakar menjelaskan itu disebabkan psinsip hidup “gambaru” yang berarti pantang menyerah, berjuang sampai titik darah penghabisan. Semangat kerja keras dan pantang menyerahkan yang tampaknya berhasil ditumbuhkan atau dipelihara di masyarakat Jepang. Mungkin memang semangat semacam itu telah lama ada dan turun temurun. Kita mengenal harakiri dan kamikaze atau apa namanya, yang artinya kurang lebih rela mati demi membela kebenaran atau bahkan kadang-kadang karena malu.

Bagaimana mempertahankan prinsip hidup seperti itu? Konon ketika kehidupan masyarakat membaik semangat juang seringkali menurun. Ada ungkapan bahwa tumbuhan yang kuat adalah tumbuhan yang hidup di tanah gersang. Pelaut yang tangguh adalah yang biasa berlayar di laut yang ganas. Seakan hanya orang yang hidup dalam situasi yang “ganas” atau penuh perjuangan yang akan menjadi tangguh mengahadapi tantangan. 

Keadaan ekonomi di Jepang demikian makmur, tetapi peristiwa tsunami menunjukkan bahwa daya juang mereka sangat tangguh dan tidak menurun karena membaikkan perekonomian mereka. Pertanyaannya: bagaimana Jepang dapat menanamkan daya juang kepada masyarakat, sehingga tidak luntur walaupun kehidupan ekonomi sudah sangat baik. 

Ketiga, kedisiplinan masyarakat Jepang sungguh patut dicontoh. Ditengah-tengah bencana tsunami, masyarakat Jepang masih antre dengan tertib. Bandingkan dengan kebiasaan kita saat akan naik bus, masuk lift atau lainnya. Memang kita sudah tahu bahwa masyarakat Jepang terkenal disiplin, tetapi jika itu tetap dilakukan di saat kalut akibat bencana, membuktikan bahwa sikap disiplin telah merasuk menjadi budaya dan bukan sekedar karena aturan.

Kesediaan orang Jepang untuk antre dalam situasi kalut karena bencana sekaligus menunjukkan kepedulian kepada hak orang lain. Saya jadi teringat cerita tentang anak SD di Jepang yang sedang makan siang di sekolah. Roti yang disediakan memang sejumlah siswa kelas tersebut dan siswa dibiarkan mengambil sendiri. Ketika ada siswa yang mengambil roti agak awal dan mengambil satu buah, ditanya apakah tidak lapar. Dia menjawab lapar. Ketika ditanya, mengapa hanya mengambil satu. Jawabannya sungguh mengegetkan, kalau ambil dua, nanti ada teman yang tidak kebagian. Artinya, anak tersebut walaupun lapar hanya mengambil saytu buah roti, karena peduli kepada temannya. Agar temannya tetap kebagian roti untuk makan siang. Pertanyaan yang muncul, bagaimana Jepang berhasil menumbuhkan disiplin dan peduli kepada orang lain.

Ketika kita sedang mengarus-utamakan pendidikan karakter, pertanyaan, bagaimana menumbuhkan tanggung jawab, tangguh menghadapi cobaan, disiplin dan peduli kepada orang lain, menjadi sangat penting. Bukankah empat karakter orang Jepang, yaitu tanggung jawab, tangguh, disiplin dan peduli juga cocok untuk kita kembangkan. Ada baiknya kita belajar atau paling tidak menjadikan bahan banding, bagaimana Jepang berhasil mengembangkan karakter tersebut. Tidak ada jeleknya kita belajar kepada orang lain yang sudah lebih dahulu berhasil. Semoga.