Kamis, 28 Februari 2013

KURIKULUM PENTING TETAPI …………


Tanggal 26 Februari 2013 saya diudang Universitas Terbuka (UT) UPBJJ Surabaya untuk mengisi seminar bersama calon wisudawan.  Tampaknya UT UPBJJ Surabaya ingin membekali calon lulusannya.  Topiknya “Guru dan Dinamika Perubahan Kurikulum”.  Lulusan yang akan diwisuda sekitar 2000 orang.  Anggap saja 75% yang hadir, berarti seminar diikuti oleh 1500 orang.  Ya ampun.  Saya tidak faham,itu seminar atau kampanye.

Topik yang dipilih tampaknya disesuaikan dengan mayoritas lulusan dan isu yang sedang hangat.  Dari sekitar 2000 lulusan, konon sekitar 1200 adalah guru SD dan sekitar 200 adalah guru PAUD. Yang non kependidikan sangat kecil.  Jadi mayoritas lulusan adalah guru. Dan saat ini perubahan kurikulum dengan menjadi topik yang “hot”.  Berarti topik seminar yang dipilih cocok dengan profesi peserta dan isu yang sedang hangat di masyarakat.

Dengan bekal pengalaman bergaul dengan teman-teman guru, saya menyiapkan materi yang ringan saja, tetapi semoga memberi inspirasi untuk maju.  Saya tidak ingin berteori apa itu kurikulum dan berbagai implikasinya.  Toh peserta banyak, sudah senior dan tempatnya di sebuah gedung besar yang saya yakin sound systemnya tidak akan cocok untuk seminar.

Nah, diawal presentasi saya meminta yang merasa guru SD dan PAUD mengangkat tangan.  Dan benar, sebagian besar peserta angkat tangan.  Setelah itu, saya meminta guru SD dan guru PAUD yang pernah membaca kurikulum angkat tangan.  Kali ini, peserta saling berpandangan dan sepertinya berbisik-bisik.  Saya ulangi lagi, tolong jujur dan tidak takut, guru SD dan guru PAUD yang sudah pernah membaca kurikulum angkat tangan.  Yang angkat tangan tidak lebih dari 20 orang.

Selanjutnya, saya menunjuk beberapa guru yang angkat tangan dan bertanya: “Buku Keberapa dari Kurikulum yang dibaca?”.   Mereka bingung dan bertanya apa masuk saya.  Saya jawab: “OK, bagaian apa dari kurikulum yang ibu baca?”.  Tiga orang yang saya tunjuk, semua menjawab bagian silabus.

Jawaban tersebut mengkonformasi info yang selama ini saya peroleh bahwa sebenarnya tidak banyak guru yang membaca kurikulum.  Yang biasanya membaca adalah kepala sekolah atau wakil kepala sekolah bidang kurikulum.  Dan yang dibaca biasanya adalah standar isi atau dengan kata lain, silabus yang harus diajarkan oleh guru.

Jika bp/ibu tidak membaca kurikulum lantas pedoman untuk mengajar?  Hampir semua menjawab “buku paket”.   Kalau begitu, buku paket yang sebenarnya memandu guru dalam mengajar.  Oleh karena itu saya gembira ketika mendengar informasi nanti bersamaan dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, buku guru dan buku paket disediakan oleh pemerintah dengan gratis.  Dengan begitu semestinya dijamin bahwa buku guru dan buku paket sejalan dengan kurikulum.  Dengan gratis, berarti setiap guru dan setiap siswa memiliki buku pegangan.

Namun demikian, perlu dicatat dua hal.  Pertama, buku panduan guru tidak boleh kaku dan mengungkung kreativitas guru.  Setiap kelas itu unik.  Tidak ada kelas yang benar-benar identik, baik siswa maupun situasinya.  Bahkan situasi kelas pada hari ini berbeda dengan besuk.  Oleh karena itu cara mengajar yang sukses di “Kelas A” belum tentu cocok diterapkan di “Kelas B”.  Bahkan yang cocok di “Kelas A” pada pagi hari mungkin kurang tetap untuk siang hari saat siswa capai dan mengantuk.

Gurulah yang harus menyesuaikan implementasi panduan tersebut dengan situasi dan kondisi kelas di saat mengajar, disesuaikan dengan kemampuan awal siswa, disesuaikan dengan karateristik psikologis siswa, disesuaikan dengan situasi kelas dan sebagainya.  Itulah makna guru sebagai profesional yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengambil keputusan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.

Kedua, buku paket atau buku siswa harus disesuaikan dengan latar belakang geografis dan sosial budaya siswa.  Siswa di pedalaman Papua akan sulit memahami kereta api, karena belum pernah melihat.  Anak yang tinggal di pegunungan akan sulit memahami contoh gelombang laut dan sebagainya.  Jadi buku siswa harus sesuai dengan konteks sosial budaya siswa.

Nah, tentu tidak mudah membuat buku siswa yang dapat benar-benar cocok dengan konteks kehidupan setiap siswa, yang sangat beragam.  Sekali lagi tugas guru yang harus mengatur agar pembelajaran dan contoh-contoh kasus yang digunakan sesuai dengan konteks setempat siswa.  Itulah yang sebenarnya disebut pembelajaran kontekstual.  Dan itulah sebenarnya salah satu inti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), yaitu pelaksanaan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi sekolah (satuan pendidikan).  Dan lagi-lagi guru yang menjadi tumpuannya.

Gambaran di atas menunjukkan betapa peran penting guru.  Kurikulum penting tetapi guru jauh lebih penting.  Kurikulum yang bagus ditangani oleh guru yang tidka bagus, hasilnya tidak akan bagus.  Kurikulum yang kurang bagus, kalau gurunya bagus akan dapat berinovasi sehingga hasilnya bagus.  Oleh karena itu beberapa pakar menyebut “guru itu beyond system”.  Artinya pentingnya guru melebihi pentingnya sistem.

Masih ada satu aspek lagi yang seringkali mengalahkan peran kurikulum dalam pendidikan.  Apa itu?  Soal-soal ujian atau ulangan.  Dimanapun guru selalu ingin siswanya dapat lulus ujian dengan nilai bagus.  Akibatnya guru akan mengajarkan hal-hal yang diyakini akan keluar dalam ujian atau ulangan.  Itulah yang disebut  “teaching for the test”.  Oleh karena bagaimana kita memiliki soal-soal yang bagus untuk ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah dan ujian nasional  menjadi sangat penting. 

Sayang sekali soal-soal UN dan UABN yang selama ini beredah masih kurang bagus dan cenderung menguji kemampuan berpikir level bawah.  Kalau menggunakan taksonomi Bloom, tidak banyak yang menggunakan C4 ke atas.  Akibatnya guru juga mengarahkan pembelajaran ke kognitif tingkat rendah.  Semoga Kurikulum 2013 dapat mengubah pola soal ulangan maupun ujian, sehingga mampu mendorong guru menumbuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan karakter dan sebagainya.  Semoga. 

Selasa, 26 Februari 2013

SCIENCE FESTIVAL DAN NEMO


Seperti biasanya, setiap berkunjung ke negara maju saya selalu menyempatkan diri membeli buku.  Nah, pada hari terakhir di Edinburgh tanggal 18 Februari 2013 saya ke toko buku yang terletak tepat di depan Edinburgh University, diantar oleh Titi, anak sulung saya.  Nama sebenarnya Rizki Fitria, Titi adalah nama panggilan kesayangan di keluarga.

Ketika sudah membeli beberapa buku, kami pulang sambil ingin mampir minum capuchino.  Mumpung hari cerah dan masih ada waktu luang sekitar satu jam.   Pas keluar dari toko buku, saya lihat anak saya membawa semacam majalah.  Setelah di tempat minum capuchino, saya baru tahu yang dibawa adalah booklet tentang Edinburgh International Science Festival 27 March-7 April 2013.

Menurut Titi, setiap tahun di musim semi selalu ada Science Festival di Edinburgh.   Yang disasar adalah anak-anak.  Tujuannya untuk meningkatkan minat anak-anak kepada sains.  Dari booklet tersebut memang tampak bahwa isi festival banyak dikhususnya untuk anak-anak.  Misalnya Imagination Garden, World of Bubbles, Storytime Tent,  The Chain Reactor, Nina and the Neurons dan sebagainya.  Dari gambar pamreran yang akan ditunjukkan pada setiap stan, saya menduga anak-anak senang melihatnya.

Sayang sekali waktunya tidak pas.  Jadi saya tidak dapat melihat festifal tersebut.  Menurut Titi, biasanya pengunjungnya sangat banyak. Tidak hanya datang dari kota Edinburgh, tetapi juga dari daerah lain di sekitarnya.  Umumnya mereka datang berombongan dan diantar oleh gurunya. Anak-anak, khususnya anak seusia TK, SD dan SMP sangat senang, karena dapat mencoba berbagai permainan.  Dan semua itu terkait dengan sains.

Mendengar cerita itu saya jadi teringat museum NEMO di dekat Central Station di Amsterdam.  Lokasinya di tengah sungai atau danau.  Biasa di Belanda banyak lokasi seperti itu. Entah sungai atau danau.  Yang jelas hamparan air yang sangat luas dan airnya tidak bergerak.  Jadi kalau akan ke gedung NEMO melewati semacam jembatan sepanjang sekitar 100 meter

Saya tidak ingat apa arti kata NEMO.  Ada yang mengatakan sekedar nama.  Ada yang mengatakan itu nama sejenis ikan.  Yang jelas, walaupun disebut museum tetapi dalam web disebutkan bahwa NEMO is the largest science center in Netherlands.  Gedungnya berbentuk kapal terdiri dari 5 lantai.  Di dalamnya diselenggarakan pameran secara permanen.  Dan semuanya terkait dengan sains dan teknologi.  Jadi NEMO mirip Science Center di Singapura.  Mungkin lebih lengkap.

Tahun 2012 saya sempat mengunjungi NEMO ditemani mahasiswa S2 Unesa yang sedang menempuh program IPOME di Belanda.  Saya kagum akan isi, cara penataan, cara pelayanan dan demontarasi yang dilakukan.  Saya yakin, pameran di NEMO dapat menumbuhkan keingintahuan anak-anak.  Dan karena semua terkait dengan sains dan teknologi, keingintahuan itu akan menjadi pemicu anak-anak mendalami sains dan teknologi.

Saya ingin memberikan gambaran sekilas apa yang saya lihat dan saya coba.  Mencoba?  Ya, karena pengunjung disilahkan mencoba berbagai “alat permainan” yang membuat kita bertanya-tanya, bagaimana itu dapat terjadi.  Nah, ketika pengunjung keluar dari stand, ada penjelasan singkat tentang hal tersebut.

Di sebuah sudut ada seperti air terjun buatan.  Air terjun tersebut dialirkan melalui semacam kanal.  Dan dikanal tersebut terdapat balok-balok kayu yang jika posisinya diubah, aliran air di kanal berubah kecepatannta.  Nah, di ujung kanal ada semacam kincir yang berputar akibat aliran air.  Kincir tersebut dihubungkan dengan dinamo.  Jika posisi balok-balok kayu diubah, cahaya lampu listrik di panel berubah.  Semakin terang atau semakin redup.

Saya tentu faham, karena ketika aliran air di kanal semakin cepat/deras, putaran kincir semakin cepat dan voltage listrik yang dihasilkan akan meningkat dan selanjutnya lampu di panel semakin terang.  Tetapi peristiswa itu akan menarik buat anak-anak SD dan bahkan SMP.  Bagaimana itu terjadi.

Di dekatnya, ada seperti pesawat terbang kecil.  Panjangnya mungkin hanya 20 cm. Sayapnya terbuat dari sel surya.  Pesawat terbang kecil tersebut digantung dengan kawat atau benang kecil yang terkait dengan langit-langit stand.  Sepertinya ada rel berbentuk lingkaran di langit-langit itu, sehingga pesawast kecil tadi dapat bergerak melingkar.  

Di lokasi tersebut ada alat mirip senter.  Jika cahaya senter diarahkan kepada sayap pesawat, kemudian pesawatnya bergerak melingkar.  Kenapa ya?  Bagi orang dewasa dan pernah belajar Fisika tentu tahu.  Cahaya yang disorotkan pada sel surya akan mengahasilkan energi yang mampu menggerakkannya.  Semakin besar cahaya yang disorotkan akan semakin cepat geraknya pesawat terbang kecil tadi.

Masih banyak alat permainan lain, misalnya beberapa bola yang beratnya berbeda.  Kemudian kegelindingkan pada papan miring secara bersamaan.  Bola mana yang lebih dahulu sampai di ujung bawah papan miring.  Juga ada tempat pengunjung mendekatkan wajah.  Jika wajah sudah didepatkan akan muncul di semacam TV wajah tersebut.  Nah ada semacam keypad untuk mengetik berapa usia anda sekarang.  Kemudian kita dapat usia kita di masa datang.  Setelah itu, akan muncul gambar wajah kita di usia yang kita ketik.  Dan masih banyak lagi permainan.

Saya mengamati anak-anak yang datang ke NEMO membawa lembaran kertas dan tampaknya mengisi sesuatu setelah mencoba permainan.  Sayang bahasanya bahasa Belanda, sehingga saya tidak faham.  Nah, ketika keluar saya sempatkan bertanya kepada petugas di pintu masuk.  Sungguh mengagetkan dan sekaligus memberi pujian, ternyata anak-anak yang masuk bersama gurunya itu diberi semacam modul atau LKS yang harus diisi setelah  mereka mencoba permaian.  Saya tidak sempat bertanya lebih detail tentang itu, karena petugasnya sibuk.  Namun, kesan saya permainan di NEMO bukan sekedar permaian biasa tetapi permainan edukatif.

Nah, ketika para guru SD dan guru IPA SMP mengeluhkan minat anak-anak belajar IPA, rasanya permainan yang ada di NEMO dapat sangat membantu.  Mungkinkan kota sebenar Surabaya ini sudah waktunya memiliki?  Semoga.

Senin, 25 Februari 2013

KARAKTER DIBANGUN LEWAT INKULTURASI


Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan guru maupun orangtua/wali murid, saya bertanya: “Kalau bapak/ibu memasuki sebuah perputakaan dan kebetulan pengunjungnya pada membaca dengan tenang”. “Sementara bapak/ibu memakai sepatu kulit dan berbunyi tok-tok, apa yang bapak/ibu lakukan?”.   Umumnya mereka menjawab: “Ya berjalan pelan-pelan agar sepatu tidak berbunyi”.

Biasanya saya melanjutkan bertanya: “Kalau ibu ke Tunjungan Plasa dan makan permen, kemana bungkusnya dibuang?”.  Biasanya ibu-ibu menjawab: “Ke tempat sampah”.  Saya kejar dengan pertanyaan: “Kalau belum menemukan tempat sampah?”.  Mereka umumnya menjawab: “Dimasukan tas dulu”.  “Betul, jujur lho ya”, begitu biasanya saya berkelakar.

Kita juga faham, kalau masyarakat Indonesia senang dan terbiasa mencegat taksi di sembarang tempat dan juga turun dari taksi sesuai yang diinginkan.  Namun, kalau mereka ke Singapura kok bisa tertib ya.  Mencegat taksi di halte yang tersedia dan turun juga di tempat yang diijinkan.  Kalau contoh itu saya ajukan ke berapa teman yang sering ke Negeri Singa, jawaban yang sering muncul: “Ya menyesuaikan diri, karena di sana tidak mungkin naik dan turun taksi di sembarang tempat”.  “Sopir tidak akan mau dan kita akan ditertawakan orang jika memaksa”.

Apa yang dapat dipetik dari tiga contoh di atas?  Orang punya naluri atau punya fitrah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.  Kita semua pasti juga merasakan itu.  Kita akan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar.  Kalau sedang sedang berada di tempat orang meninggal, tentu kita akan berusaha untuk tenang dna tidak berkelakar.  Jika menghadiri pesta perkawinan, kita akan berpakaian yang sesuai.

Ada anak Indonesia selama SMP tinggal di Singapura dan setiap hari naik bis untuk ke sekolah.  Bagaimana kira-kita kebiasaan dia naik bis?  Saya menduga, dia akan terbiasa naik bis di halted an juga turun di halte.   Bagaimana jika anak Indonesia bersekolah SMA selama 3 tahun di Jepang?  Apakah dia akan selalu tepat waktu saat datang?  Apakah dia akan selalu membuang sampah di tempatnya?   Silahkan menebak.  Kalau saya meyakini, anak Indonesia itu akan mengikuti pola hidup Jepang, datang ke sekolah tepat waktu dan membuang sampah di tempatnya.

Bagaimana jika mereka pulang ke Indonesia?  Apakah tetap membuang sampah di tempatnya?  Apakah tetap datang ke sekolah tepat waktu?  Apakah menyegat bis atau angkutan umum di tempatnya?  Nah itu yang sulit menjawab.  Namun contoh berikut mungkin menjadi panduan untuk menjawab.

Seorang dosen muda sedang kuliah di Australia.  Seperti pemuda pada umumnya, seperti itulah kebiasaan dia naik motor di Surabaya.  Setelah sekitar 4 tahun tinggal di negara kangguru, sepertinya berubah perilaku  dia dalam berlalulintas.  Suatu saat saya bertanya, mengapa begitu.  Jawabannya: “Kalau semua teratur lalu lintas jadi lancar”.  “Kalau ada orang parkir se-enaknya kan mengganggu lalu lintas”.

Saya juga pernah mengamati anak seorang teman yang diajak lama tinggal di Jepang.  Ketika orangtuanya selesai sekolah dan pulang, anak tersebut berusia kira-kira 8 tahun dan kelas 2 SD.  Anak tersebut tertib sekali dan berbagai hal.  Kalau pagi saat berangkat sekolah, selalu tepat waktu.  Aktif dan tertib dalam tugas-tugas di kelasnya.

Tampaknya kebiasaan di negara maju membekas kepada anak-anak Indonesia yang cukup lama tinggal di sana.  Setelah mereka merasakan “nyamannya” mengikuti aturan itu, mereka ingin menerapkan ketika pulang ke Indonesia.  Itulah yang dalam teori pendidikan karakter disebut dengan habituasi (pembiasaan).  Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan.

Saya membayangkan  SD, SMP, SMA di Indonesia keadaannya bersih, tertib, guru dan karyawan santu, segala acara dilaksanakan tepat waktu.  Jika hal itu terjadi, siswa yang baru masuk akan berusaha menyesuaikan diri.  Dan karena selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, pada siswa akan terbentuk kebiasaan bersih, santun, disipiln, tepat waktu dan sebagainya.  Seperti itulah terbentuknya karakter anak-anak Jepang, anak-anak Belanda dan sebagainya.

Apa itu cukup?  Menurut teori pendidikan karakter belum.  Perilaku hasil pembiasaan harus “ditumpangi” dengan penanaman nilai-nilai, sehingga anak faham mengapa itu harus dilakukan.  Mengapa harus menjaga kebersihan.  Mengapa harus tepat waktu.  Mengapa harus santun.  Mengapa harus tolong-menolong.  Dan sebagainya.  Jika nilai-nilai itu terinternalisasi, maka kebiasaan tadi akan berubah menjadi budaya.  Itulah yang disebut inkulturasi (pembudayaan), yaitu habituasi (pembiasaan) yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai.  Tentu cara penanaman nilai-nilai disesuaikan dengan usia anak dan juga budaya setempat.  Semoga.

Jumat, 22 Februari 2013

MEMBELI TIKET KERETA DI EROPA: Bahan Banding Pendidikan Karakter


Saya sudah berkali-kali naik kereta di Eropa. Namun baru dua kali mendapati kondektur memeriksa tiket.  Pertama, ketika pulang dari Utrecht kembali ke Amsterdam sekitar tahun 2010.  Kedua, tanggal 14 Februari 2913 lalu ketika pulang dari Groningen ke Amsterdam.  Sepertinya sangat jarang ada pemeriksaan tiket kereta di Eropa.  Saya pernah naik kereta dari Amesterdam ke Paris pulang pergi dan tidak ada pemeriksaan tiket maupun dokumen diri (paspor), pada hal melintas ke negara lain.

Sebagaimana diketahui, di Eropa orang dapat membeli tiket kereta dengan berbagai cara.  Dapat untuk satu kali jalan.  Dapat untuk pulang pergi.  Dapat untuk satu hari atau beberapa hari dan boleh naik kereta kemana saja.  Juga dapat memberli kartu yang berlaku untuk kereta, trem maupun bis.  Untuk bis juga dapat membeli tiket saat masuk dan sopir akan memberikan tiket melalui alat yang ada di dekatnya.

Saat masuk dan keluar ke stasiun atau masuk ke bis atau trem, kartu tersebut ditempel suatu sensor dan itu berarti isi uang di kartu tersebut terkurangi hargat tiket.  Misalnya kalau pergi dari stasiun Amsterdam Central ke Groningen, maka saat masuk ke stasiun Amsterdam Central kartu ditempelkan di sensor pada tiang dekat pintu masuk stasiun dan ketika keluar stasiun di Groningen kartu ditempelkan di sensor yang tersedia. Cara yang sama kalau naik trem atau bus, karena di pintu trem dan bus ada sensor yang ditempel di tiang dekat pintu.

Kalau naik bus sopir dapat melihat apakah penumpang membawa tiket atau menempelkan kartu ke sensor. Kalau naik trem agak sulit, karena masinis hanya di gerbong terdepan, sehingga tidak dapat melihat penumpang di gerbong belakang. Saya tidak tahu apakah ada cctv agar masinis dapat melihat penumpang yang baru masuk. Tetapi kalau naik kereta, siapa yang tahu? Toh tidak ada petugas yang mengawasi sensor di pintu stasiun.  Juga banyak orang masuk stasiun kereta bukan untuk naik kereta, tetapi sekedar membeli makanan atau lainnya.  Jadi sulit membedakan orang yang masuk stasiun itu akan naik kereta atau memberi sesuatu di pertokoan yang ada di situ.

Saat memeriksa tiket, kondektur membawa alat yang dapat mengecek apakah penumpang menyesorkan  kartu saat masuk ke stasiun.   Teman yang kuliah di Belanda bercerita, kalau ada penumpang ketahuan tidak memiliki tiket atau tidak menyensorkan kartunya saat masuk stasiun akan dikenai denda yang sangat mahal.  Konon tidak ada kompromi.  Apapun alasannya tetap akan dikenakan sangsi denda yang sangat mahal.

Apakah itu yang menyebabkan orang di Belanda tidak berani naik kereta tanpa tiket atau menyensorkan kartunya?  Pertanyaan itu mengganggu pikiran saya beberapa hari. Oleh karena itu saya tanyakan kepada teman-teman yang sedang kuliah di Belanda dan juga orang Belanda yang kebetulan akrap dengan saya.   Jawaban yang saya peroleh bervariasi, tetapi ada yang mengagetkan.

Teman-teman yang sedang kuliah di Belanda pada umumnya menyatakan bahwa orang takut melanggar karena jika ketemu dan didenda akan malu sekali.  Bukan hanya karena harus membayar banyak, tetapi “cibiran” orang sekitar akan menjadi beban psikologis bagi orang Belanda.  Sepertinya sangsi sosial lebih berat bagi orang Belanda.

Ketika saya bertanya kepada teman Belanda (asli) jawabannya mengejutkan.  “Kalau kita tidak mau memberi tiket, perusahaan kereta akan bangkrut dan kita akan kerepotan”.   Jawaban yang kurang lebih seperti itu saya terima dari tiga orang yang berbeda.  Salah satunya mahasiswa.   Jika jawaban itu betul, mengacu pendapat Thomas Lickona, keharusan membeli tiket saat naik kereta telah menjadi moral feeling dan bahkan menjadi moral action bagi orang Belanda.  Dengan begitu pemeriksaan tiket menjadi tidak mendesak. Mungkin itu yang menyebabkan sangat jarang ada pemeriksaan tiket kereta di Eropa.

Mendengar jawaban itu saya teringat pengalaman naik kereta di Jerman pada tahun 2008.  Saat itu saya mengikuti workshop di Bremen University dan menginap di hotel Ibis.  Setiap hari naik kereta untuk pergi dan pulang.  Nah, pada hari pertama saya tidak tahu dimana harus membeli tiket, karena tidak ada loket.  Karena waktu sudah mepet, ya saya naik saja dengan harapan dapat memberi di dalam gerbong.  Ternyata tidak ada penjual tiket dan juga tidak ada pemeriksan tiket. Masinis kereta juga berada di bagian depan yang terpisah dengan penumpang.  Jadilah saya naik kereta dengan “gratis” hari itu.

Besuknya baru diberi tahu teman, orang Jerman yang menjadi pemandu workshop dan kebetulan sudah sering ke Indonesia.  Membelinya di mesin yang ada di stasiun.  Saya berkomentar: “Wah kemarin saya melanggar aturan, karena naik kereta tanpa membeli tiket”.  Dan dia merespons: “Tidak apa-apa, kan tidak tahu”.  “Ya mulai sekarang membeti tiket”.  “Tetapi karena sekarang sudah tahu, ya membeli tiket biar perusahaan kereta tidak merugi”.

Saya juga teringat sebuah cerita, tentang anak SD di Jepang.  Ketika waktunya makan siang kepada mereka diberikan boks makanan yang jumlahnya sama dengan jumlah siswa di kelas itu.  Semua pada mengambil satu.  Ketika ditanya “kok hanya mengambi satu?”, jawabannya “kalau saya mengambil dua, nanti ada teman yang tidak kebagian”.  Jadi anak SD di Jepang telah memiliki moral feeling dan moral action untuk mengambil jatah makan sesuai aturannya.

Apakah kita, baik yang dewasa, yang mahasiswa, yang siswa SMA/SMP/SD sudah memiliki karakter seperti itu?  Mungkin kita sungkan untuk menjawabnya.  Namun yang jelas, para orang tua, guru dan pakar pendidikan perlu belajar kepada orang Belanda, Jerman dan Jepang, bagaimana mereka melaksanakan pendidikan karakter, sehingga hasilnya seperti cerita di atas.  Bukankah kita sering mengatakan orang Barat itu individualistik.  Orang Barat itu tidak beragama.  Tidak ada salahnya kita belajar ke mereka.  Bukankah kita disuruh belajar sampai ke negeri China?  Semoga.

PENDIDIKAN KARAKTER: Antara Ada dan Tiada


Pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan karakter di sekolah menjadi salahsatu program utama Kemdikdas.  Seingat saya, dalam suatu rapat antar kementerian yang dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan dikuti oleh sekian banyak kementerian tercetus keinginan untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai gerakan nasional.  Hampir semua kemeterian, termasuk Kementerian Dalam Negeri mendukung gagasan itu. Mungkin semua pihak risau terhadap perilaku keseharian di masyarakat, dan diharapkan penekanan pendidikan karakter dapat memperbaiki perilaku siswa dan pada akhirnya masyarakat dan bangsa Indonesia.  Rapat tersebut, seingat saya pada tahun 2010 awal dan ditindaklanjuti dengan serangkaian rapat lain.

Kini sudah di awal tahun 2013.  Jadi kesepakatan tersebut sudah sekitar tiga tahun lalu.  Namun pelaksanaan di lapangan masih sangat minimal.  Sayup-sayup, antara terdengar dan tidak.  Antara ada dan tiada.   Semua orang mengetahui dan mungkin menyetujui, tetapi seakan baru pada taraf gagasan.  Pelaksanaannya seakan masih menunggu sesuatu.  Saya takut, gagasan pendidikan karakter mengulang gagasan life skills yang pernah dikumandangkan di era Mendiknas Prof Malik Fajar.  Gagasan bagus dan sudah mulai dirintis, tetapi kemudian “hilang bersama angin senja”.

Sebenarnya pengarusutamaan pendidikan karakter bukan hanya di Indonesia.  Di Amerika Serikat sudah muncul dua-tiga dekade lalu, dengan salah satu tokohnya Thomas Lickona.  Ketika megikuti konferensi Unesco di Manila Philippines bulan Mei 2010, dengan tema Teaching Philosophy, ternyata isinya kurang lebih sama dengan pendidikan karakter.  

Dengan mengutip data FBI, Thomas Lickona (1992) menyebutkan pada tahun 1978-1988 perkosaan di Amerika Serikat meningkat dua kali lipat.  Disebutkan juga antara 1968-1988 terjadi peningkatan 54% kejahatan seperti pembunuhan, perampokan dan sebagainya.   Kondisi itu mendorong pemerintah Amerika Serikat memberikan penekanan pendidikan karakter.  Nucci dan Narvaez (2008) menyebutkan saat ini 80% negara bagian di Amerika Serikat mewajibkan pendidikan karakter di sekolah.  Masyarakat Amerika Serikat memberikan dorongan tumbuhnya kejujuran pada anak-anak (97%), menghargai orang lain (94%), demokratis (93%) dan menghormati orang lain yang berbeda latar belakang sosial dan sebagainya (93%). 

Mungkin ada yang bertanya apakah gagasan pendidikan karakter memiliki landasan filosofi.  Untuk itu, saya mengajak pembaca menyimak pendapat Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.  Menurut beliau pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak.  Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.  Jadi karakter merupakan salah satu pilar penting pendidikan dan itu harus terintegrasi dengan pilar kognitif dan psikomotor.

Apakah pendidikan karakter memiliki landasan yuridis?  Marilah kita lihat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang secara jelas menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari delapan aspek yang ingin dituju pendidikan di Indonesia, paling tidak lima diantaranya identik dengan aspek-aspek karakter yang dibahas panjang lebar di Kemdiknas.  Dan itu juga sudah tertuang dalam buku Grand Design Pendidikan Karakter.  Berarti aspek-aspek karakter yang diinginkan oleh Kemdikbud dan juga oleh kementerian lain, sebenarnya telah tercantum sebagai sosok manusia yang diinginkan oleh pendidikan kita.

Pertanyaannya mengapa pelaksanaan di lapangan hanya sayup-sayup?  Jika aspek-aspek pendidikan karakter telah ada di UUSPN, tentunya sudah dilaksanakan di lapangan, sebelum adanya pengarusutamaan pendidikan karakter.  Rasanya penyebab utama itu harus ditemukan dan dicari pemecahannya.  Jika tidak saya takut, seperti yang saya sebutkan terdahulu, pendidikan karakter akan bernasib sama dengan life skills.  Yang tertuang di UUSPN saja tidak terlaksana dengan baik di sekolah, apalagi jika pengaurutamaan pendidikan karakter hanya berupa dokumen dan arahan Mendikbud.

Dimana letak masalahnya?  Menurut saya adalah dua masalah yang saling terkait dan harus dicari pemecahannya.  Pertama, meskipun aspek-aspek karakter tersebut menjadi tujuan pendidikan, tetapi tidak muncul secara tegas dalam kurikulum.  Dalam SKL (standar kompetensi lulusan) memang muncul, tetapi tidak ada dalam rincian standar isi maupun kompetensi dasar matapelajaran.   Jadi dapat difahami kalau guru merasa tidak punya kuwajiban untuk mewujudkannya.

Bukankah ada matapelajaran Agama dan PPKn yang secara khusus memuat aspek-aspek tersebut?  Memang betul.  Tetapi kedua matapelajaran tersebut lebih menekankan aspek kognitif dan bukan aspek afektif dan perilaku seperti dimaksudkan pendidian karakter.   Lihat saja, nilai matapelajaran Agama dan PPKn didasarkan atas nilai ulangan dan bukan perilaku keseharian.

Saya berulang kali menyampaikan, orang yang punya SIM tentu faham kalau tidak boleh berhenti di tanda S warna merah dengan coretan hitam.  Harus berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah.  Tetapi bukankah banyak yang melanggar?  Faham tidak selalu melaksanakan apa yang difahami.  Meminjam istilah Lickona, moral knowing tidak secara otomatis menjadi moral feeling, apalagi menjadi moral action

Lantas mengapa guru Agama dan PPKn tidak mengutamakan moral feeling dan moral action?   Itulah masalah kedua yang kita hadapi.  Mengukur aspek afektif dan perilaku keseharian siswa tidaklah mudah.  Bayangkan guru harus menilai “keyakinan” dan perilaku siswa, yang jumlahnya banyak.  Dan selama ini guru tidak pernah mendapat pembekalan bagaimana melakukan.  Akhirnya yang paling mudah ya dengan ulangan tertulis.

Jadi, jika kita ingin program pengarusutamaan pendidikan karakter berjalan dengan baik, kedua masalah tersebut harus dipecahkan.  Aspek-aspek karakter harus masuk menjadi bagian kompetensi dasar dan standar isi kurikulum.  Sedapat mungkin, semua mata pelajaran memasukkannya.  Dan guru harus dibekali cara mengukur hasil belajar karakter.  Apa yang dimuat dalam website goodcharacter.com, rasanya layak untuk bahan banding menindaklanjuti kebijakan pengarusutamaan pendidikan karakter.  Semoga.

Rabu, 20 Februari 2013

WE ARE NOT THE FIRST BUT THE BEST


Kalimat itu saya baca pada lembaran kertas yang dibawa teman pada akhir tahun 1970-an.  Jujur, waktu itu saya tidak begitu faham apa maksudnya.  Mau bertanya juga sungkan, karena saya tidak akrab dengan teman tersebut.  Apalagi teman itu dari Jurusan Bahasa Inggris yang saat itu dikenal sebagai jurusan “langit” bagi mahasiswa Fakultas Teknik (dulu bernama Fakultas Keguruan Ilmu Teknik/FKIT) seperti saya. 

Beberapa waktu kemudian saya baru “ngeh”, ternyata tulisan itu semacam brosur kursus Bahasa Inggris.  Bersama beberapa temannya, teman tadi mendirikan kurus Bahasa Inggris dan menyebarkan brosur di kampus.  Sebagai mahasiswa Fakultas Teknik, saya hanya mengguman “oh ternyata itu iklan”.  Tahu kalau itu brosur kursus Bahasa Inggris tetapi tetap tidak faham apa maksud kalimat itu.  Lha, bekal bahasa Inggris saya waktu itu kan hanya lulusan STM.  Mau ikut kursus juga tidak punya biaya.

Baru setelah lulus dan sempat ikut kursus Bahasa Inggris di LIA di Jl. Dr Sooetomo (Sekarang berubah menjadi PPIA dan pindah ke daerah Kertajaya Indah), saya agak faham maksud kalimat iklan tersebut.  Saya menduga teman tadi menjual slogam “Memang kami bukan yang pertama, tetapi percayalah kami yang terbaik”.  Apa betul isi kursus seperti yang diiklankan itu saya tidak tahu pasti.  Sepertinya kursus tersebut tidak berkembang dan teman tadi kemudian banyak memberi kursus prifat.

Ketika mengunjungi Amsterdam dan Edinburgh minggu ini, kalimat tersebut muncul kembali di benak saya.  Tentu untuk perspektif yang berbeda.  Saat di Edinburgh, saya sempat berjalan-jalan ditemani anak sulung yang tinggal di sana.  Saya bertanya “kok Edinburgh tidak terlalu bersih ya?”. Tentu bersih-tidak bersih tadi dengan ukuran kota di negara maju.  Saya membandingkannya dengan kota di Jepang, Singapura, Australia dan Amerika.

Mendapat pertanyaan tadi, anak saya malah bercerita, bibi suaminya yang tinggal di Kanada juga mengeluhkan hal yang sama dengan saya.  Konon dulu Edinburgh sangat bersih, tetapi sekarang tidak lagi.   Hal yang sama juga terjadi di Amsterdam dan beberapa kota di Belanda.  Mengapa ya?  Para sosiolog yang mungkin dapat menjawab.  Atau mungkin para ahli tata kota.  Saya ingin melihatnya dari perpektif lain, perspektif seorang pendidik.

Mengapa hal itu terjadi?  Menurut saya ada dua kemungkingan.  Pertama, kondisi kebersihan kota Edinburgh dan Amsterdam mungkin tetap sama dengan sekian tahun lalu.  Namun, karena kota-kota lain kini lebih bersih, orang merasa Edinburgh dan Amsterdam tampak kotor.  Bukankah persepsi kita selalu terpengaruh dengan perbandingan?  Orang dengan tinggi 165 cm akan tampak tinggi ketika berada di sekitar orang dengan tinggi 150-160 cm.  Namun orang yang sama akan terkesan pendek jika berada di lingkunga orang-orang dengan tinggi 170 cm keatas.

Suatu saat saya diminta mengisi acara di sebuah sekolah swasta di Surabaya.  Sekolah tersebut termasuk tua, artinya berdiri sejak lama.  Pimpinan yayasan bercerita bahwa dulu banyak anak dari berbagai daerah bersekolah di sekolah tersebut.  Bahkan ada siswa yang berasal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai dan Thailand.  Juga pernah ada anak dari Suriname.  Namun pamor sekolah swasta itu sekarang meredup.  Memang tetap masih terkenal, paling tidak untuk segmen masyarakat tertentu.  Tetapi tidak lagi menjadi sekolah yang bergengsi.  Ya kira-kira menjadi sekolah swasta “kelas menengah”.

Mungkin mutu sekolah tersebut tetap sama dengan dulu atau bahkan naik.  Namun kini muncul sekolah baru yang mutunya lebih baik.  Mungkin, di masa lalu sekolah tersebut merupakan yang terbaik dibanding sekolah di sekitarnya.  Namun kini muncul sekolah baru yang lebih baik atau beberapa sekolah di sekitarnya yang dulu kurang baik, sekarang melejit melampau sekolah tersebut.  Akibatnya sekolah swasta tersebut seakan mutunya turun dan tidak lagi menjadu sekolah favorit.  Buku berjudul Myth in Education karangan J.E Greene (2005) menjelaskan kondisi seperti itu.

Kemungkinan kedua, memang kondisi kota Edinburgh dan Amsterdam kini lebih kotor dibanding waktu lalu.  Demikian pula kondisi sekolah swasta yang saya ceritakan di atas.  Mengapa itu terjadi?  Buku dengan judul Total Quality Management karangan Eduard Sallis (1993) dapat menjelaskan fenomena tersebut.  Menurut Sallis, setiap kehidupan termasuk organisasi/lembaga, mengalami masa kelahiran, pertumbuhan, dewasa, menua dan akhirnya mati.  Mungkin juga pengelolaan kota Edinburgh dan Amsterdam serta sekolah swasta tadi sudah sampai tahap menua.  Pengelola sudah jenuh, bekerja rutin dan tidak lagi kreatif.  Akibatnya kinerja mereka menurun dan tidak mampu menghadapi tantangan baru.

Seringkali lembaga yang sudah “mapan” merasa sudah yang terbaik dan cemderung mempertahankan pola kerja yang telah dilakukan.  Pada hal keadaan sekitar berubah.  Tantangan berubah. Pesaing baru muncul.  Akibantnya kinerja rutin tidak lagi mampu mengimbangi tuntutan perkembangan zaman dan kemudian mutunya menurun.

Lantas apa yang dapat dilakukan?  Menurut Sallis harus dilakukan revitalisasi dengan “menyuntikkan darah baru” atau “menyuntikkan inovasi” untuk menyegarkan organisasi yang memasuki tahap penuaan.  Dengan revitalisasi tersebut pola kerja yang sudah merutin disegarkan, diperbaharui.  Dengan begitu tahap dewasa berubah menjadi tahap pertumbuhan lagi.  Dengan begitu dapat tetap menjadi yang terbaik, menjadi the best.  Kalau itu dilakukan, Edinburgh, Amsterdam dan juga sekolah swasta tersebut dapat mengajukan slogan: “Yes, we are the first and the best forever”.  Semoga.

Senin, 18 Februari 2013

CREDIT EARNING DAN DOUBLE DEGREE


Kunjungan saya ke Utrecht University dan Groningen University kali ini relatif agak longgar.  Saya sempat mengamati aktivitas mahasiswa di luar kelas, laboratorium dan perpustakaan.  Misalnya saat di kantin dan di beberapa lokasi mereka duduk-duduk.  Saya mencoba membanding-bandingkan dengan ingatan saya ketika mengunjungi beberapa kampus, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di Utrecht dan Groningen, banyak mahasiswa yang membaca buku teks atau mengerjakan tugas di berbagai sudut kampus.  Diskusi kecil juga terjadi di kantin dan tempat lain.  Saya sempat melirik apa yang dibaca mahasiswa dari laptop. Kebetulan dia sedang makan sandwich di dekat saya di kantin. Waduh dengan bahasa Belanda.  Namun dari tampilan, saya dapat menduga mahasiswa tersebut sedang membaca journal online.

Saya jadi teringat diskusi saya dengan mahasiswa S3 yang mengikuti program sandwich-like di Ohio State University tahun 2010.  Saat itu diskusi sangat gayeng, karena sebagian besar dari mereka adalah dosen yang sedang menempuh S3 di beberapa universitas di Indonesia.  Ketika saya bertanya: “Apa yang membedakan perkuliahan yang Anda ikuti di Indonesia dan yang Anda lihat di sini?”   Jawabannya hampir seragam, iklim akademiknya yang berbeda.

“Memang sarana perpustakaan di sini lebih bagus, tetapi itu masih dapat dicari lewat internet”.   “Namun iklim akademik yang benar-benar membuat kami harus belajar”. “Jika kami tidak membaca, membuat resume dan berdiskusi justru menjadi aneh di sini”.  “Ketika kuliah mahasiswa di sini selalu mengajukan pertanyaan dengan mengacu bacaan mereka dari buku atau jurnal”.  “Situasi perkuliahan di sini mirip ajang diskusi untuk membandingkan hasil bacaan”.

Pak Martadi, rekan di Unesa pernah mengajukan metaphora, “beras disosoh menjadi putih bukan karena kena alu, tetapi karena gesekan satu dengan yang lain”.  Berarti, mahasiswa menjadi pandai bukan karena diajar oleh dosen, tetapi lebih karena interaksi sesama mahasiswa.  Fungsi dosen hanya memicu agar mereka berdiskusi dan berinteraksi secara akademik.  Mirip, fungsi alu ketika menyosoh beras, hanyalah membuat butiran beras bergesek satu dengan lainnya.

Harus diakui tidak mudah membangun iklim akademik.  Utrecht University, Groningen University, Ohio State University dan beberapa perguruan tinggi tenama yang berusia tua dan sudah menjadi research university mungkin sudah berhasil membangun iklim akademik tersebut.  Namun bagi perguruan tinggi baru atau yang masih berkutat dalam pengajaran (teaching university) tentu tidak mudah untuk mengembangkannya.  Sementara iklim akademik tampak mendesak untuk mendongkrak mutu lulusan.

Oleh karena itu, sambil secara bertahap mendorong perguruan tinggi membangun iklim akademik, harus diciptakan cara agar mahasiswa di perguruan tinggi “biasa” mendapat kesempatan mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi yang sudah memilii iklim akademik bagus.  Itulah yang saya maksud dengan program credit earning (perolehan kredit) bahkan jika mungkin dengan double degree (gelar ganda) atau joint degree (gelar tunggal diberikan oleh dua perguruan tinggi).

Pada program credit earning mahasiswa “Universitas X” dapat mengambil matakuliah di Universitas Y” dan kreditnya diakui.  Artinya kredit yang diperoleh dari Universitas Y diakui sebagai kredit di Universtas X. Jika perlu di transkrip disebut, diambil di Universitas Y. Tentu matakuliah tersebut yang tercantum di kurikulum pada universitas asal dan silabusnya juga hampir sama.  Dengan cara itu, mahasiswa universitas biasa dapat merasakan bagaimana  kuliah di universitas bagus dan mudah-mudahan kebiasaan itu terus dilakukan saat kembali di universitas asal. 

Credit earning tidak harus dengan universitas di luar negeri.   Dapat saja mahasiswa Unesa mengambil matakuliah di UI atau ITB.  Manfaat lain dari credit earning, khususnya bagi jenjang S2/S3,  mahasiswa dapat memperoleh kuliah atau bertemu dosen “hebat” yang cocok dengan rancangan tesis/disertasi yang sedang disusun.  Saya punya pengalaman mengisi matakuliah penunjang disertasi (MKPD) dari beberapa universitas.  Yang diperlukan adalah kesediaan kedua belah pihak dan untuk itu kebijakan dan dorongan Kemdikbud sangat diperlukan.

Untuk program double degree, Unesa sudah memiliki yaitu dengan Curtin University di Australia untuk S2 Pendidikan Matematika dan Pendidikan Sains.  Saat ini sedang dirintis untuk S2 Pendidikan Bahasa dengan Northern Illinois University.  Program S2 Internasional untuk Pendidikan Matematika kerjasama dengan Utrecht University juga segera ditingkatkan menjadi double degree.

Pada double degree, sebagian matakuliah diambil di “Universitas X”, sebagian diambil di “Universitas Y” sebagai partnernya.  Setelah lulus mahasiswa mendapatkan dua ijasah, baik Universitas X maupun Universitas Y.  Jadi mendapatkan dua ijasah dan otomatis mendapatlan dua gelar.  Program ini relatif lebih “mudah” dibanding dengan joint degree, karena birokrasi perguruan tinggi yang tidak mudah membuat satu ijasah dengan dua tanda tangan rektor.

Bagi universitas yang baru berkembang seperti Unesa, pola double degree memiliki keuntungan lain.  Unesa harus menerapkan kurikulum dan pola perkuliahan yang mutunya setara dengan partnernya di luar negeri.  Dan jika program ini berjalan cukup lama, maka mutu tersebut akan menjadi mutu Unesa.   Harapannya, dimasa datang mutu kurikulum dan perkuliahan S2 Pendidikan Matematika dan Pendidikam Sains Unesa setara dengan di Curtin University dan Utrecht University,  mutu S2 Pendidikan Bahasa Inggris Unesa setara dengan Northern Illinois University di Amerika Serikat.  Dan jika pola seperti itu diterapkan di berbagai program studi di berbagai universitas, akan mempercepat peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.  Semoga.

Minggu, 17 Februari 2013

TRI DARMA PERGURUAN TINGGI


Saya yakin semua dosen, karyawan dan mahasiswa tidak asing dengan istilah tri darma perguruan tinggi.  Biasanya pada saat acara awal masuk kampus, para pimpinan perguruan tinggi selalu mengenalkan istilah tersebut.  Tri darma merupakan ciri aktivitas universitas dan tidak dimiliki oleh pendidikan jenjang SLTA ke bawah.  Bahkan tri darma perguruan tinggi juga tidak dikenal universitas di negara lain.

Saya tidak tahu kapan dan dari mana istilah tri darma perguruan tinggi.  Saya juga bingung kalau harus mencari istilah bahasa Inggris untuk tri darma perguruan tinggi. Tetapi saya setuju dan yakin tri darma yang terdiri dari pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, merupakan sesuatu yang sangat bagus.  Jika ketiga darma tersebut dikerjakan dengan baik dan dirancang menjadi suatu siklus terpadu, akan menjadi akselerator peningkatan mutu perguruan tinggi.  Itulah sebabnya mengapa saat  “macung” sebagai rektor, tri darma saya angkat sebagai salah satu bahan saat presentasi di depan senat.

Suatu saat saya mendengarkan gerutuan mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi ternama.  Waktu itu saya sedang berkunjung ke perguruan tinggi tersebut dan makan siang di kantin dan kebetulan banyak bahasiswa pascarsarjana juga sedang makan siang.  “Kalau kuliah hanya dari buku teks melulu seperti itu, ngapain harus datang?”.  “Baca sendiri juga bisa”.  “Penginnya, saya dapat materi kuliah dari penelitian dosen”. “Kan katanya dia dosen jagoan penelitian”.

Walaupun terasa agak kasar, gerutuan mahasiswa S2 tersebut menyentak logika saya. Betul sekali.  Hasil penelitian merupakan “temuan” baru dalam bidang ilmu si peneliti.  Jika dilakukan dengan baik, temuan tersebut merupakan akumulasi dari teori/konsep keilmuan yang telah dikaji secara mendalam sebelumnya.  Jadi jika hasil penelitian disampaikan sebagai bahan kuliah, mahasiswa akan memperoleh cream of the cream dari bidang ilmu/bidang kajian tersebut.  

Bertolak dari gerutuan mahasiswa dan logika tersebut, saya menduga gagasan tri darma perguruan tinggi bukan sekedar menjejerkan ketika darma tersebut.  Perguruan tinggi bukan sekedar melakukan darma pendidikan, penelitian dan pengabdian secara terpisah.  Ketiganya harus merupakan suatu kesatuan.  Ketigana harus dirancang menjadi siklus kegiatan yang saling mendukung, menjadikan input sekaligus menjadi muara.

Bahan kuliah idealnya merupakan akumulasi hasil penelitian  dan  pengalaman melakukan pengabdian masyarakat.  Penelitian seharusnya untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah yang ditemukan saat melakukan pengabdian kepada masyarakat atau melakukan perkuliahan.  Pengabdian kepada masyarakat seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan hasil-hasil penelitian dan pengalaman dalam perkuliahan.

Dalam konteks tersebut penelitian tidak harus diartikan dengan penelitian laboratorium atau penelitian lapangan.  Penelitian pustaka juga tidak kalah penting.  Jika dosen melakukan kajian berbagai buku referensi dan jurnal, menurut saya sudah dapat disebut melakukan penelitian.  Bukankah itu merupakan bagian kajian teori dalam laporan penelitian?  Memang belum mencapai suatu temuan baru, tetapi paling tidak sudah merangkum hal-hal terbaru dalam bidang kajian tersebut.  Apalagi jika yang dibaca buku dan jurnal baru, hasilnya sudah akan menggambarkan the state of the art.

Saya ajukan logika tersebut, karena kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang belum dalam taraf research university, dimana kegiatan penelitian merupakan kegiatan utama.  Pada universitas seperti itu, setiap saat semua dosen terlibat suatu proyek penelitian yang hasilnya harus masuk menjadi publikasi di jurnal bergengsi.  Jika yang dibaca adalah buku-buku dan jurnal baru, rasanya bahan kuliah sudah cukup memadai pada saat ini.

Yang perlu dicatat, adalah topik penelitian yang seharusnya in line dengan bidang ilmu atau bidang keahlian dosen. Kebiasaan penelitian yang “melebar” kemana-mana mengikuti si pemilik sumber dana harus mulai diakhiri.  Mengapa?  Karena penelitian seperti itu tidak memberi kontribusi besar dalam pengembangan keilmuan dosen.  Penambahan pengalaman ya, tetapi pengembangan keilmuan tidak. 

Bagaimana dengan pengabdian kepada masyarakat?  Seringkali problema di masyarakat memang multidisipliner, sehingga tidak dapat didekati dan dipecahkan oleh satu bidang ilmu.  Dalam konteks seperti itu, saya mendukung jika tim pengabdian kepada masyarakat terdiri dari dosen yang berasal dari berbagai bidang.  Namun tetap harus dipegang prinsip berbasis keilmuan.  Jadi solusi yang diajukan harus bertumpu pada kajian ilmiah dan dosen yang terlibat memiliki latar belakang keilmuan yang relevan.

Lebih dari itu, pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat sedapatnya juga dijadikan wahana kajian keilmuan.  Penelitian tindakan (action research) dan penelitian pengembangan (developmental research) mungkin dapat diterapkan.  Paling tidak,  respons masyarakat terhadap treatment selama pengabdian kepada masyarakat dapat menjadi kajian dosen-dosen bidang ilmu yang cocok.

Khusus untuk LPTK seperti Unesa, perkuliahan juga dapat menjadi wahana penelitian.  Memang agak aneh, banyak dosen LPTK mengajari guru melakukan PTK (penelitian tindakan kelas) dan lesson study.  Tetapi tidak banyak yang menerapkannya saat memberi kuliah kepada mahasiswa.  Jika saja itu dilakukan akan menjadi perbaikan model perkuliahan, sekaligus temuan baru tentang bagaimana perkuliahan di perguruan tinggi.  Lebih dari itu mahasiswa dapat mencontoh bagaimana dosen mengajar, saat mereka sudah lulus dan mejadi guru di sekolah.  Semoga.

TEORI “MOBIL KIJANG”


Seperti saya tulis kemarin, saya akan menjelaskan mengapa untuk memulai penelitian level internasional, Unesa perlu bekerjasama dengan lembaga/universitas/peneliti yang “diakui” dunia internasional.  Pemikiran seperti ini bukan baru dan bahkan sudah saya kemukakan sejak saya menjadi PR4 Unesa dan saya terapkan ketika saya menjadi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti.  Teori “mobil kijang” berikut perah saya sampaikan saya menjadi Direktur Ketenagaan di forum PMRI.

Pada suatu ketika saya diundang oleh Tim PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).  Tempat acaranya di Hotel Garuda Yogyakarta, tahunnya sekitar akhir 2007 atau awal 2008.  Prof. Sembiring yang “memaksa” saya untuk hadir.   Seingat saya waktu itu forumnya laporan implementasi PMRI.  Forum dihadiri oleh para tokoh PMRI dan para guru yang terlibat dalam program PMRI.

Di awal paparan, saya menyampaikan fenomena mobil kijang.  Semua orang tahu mobil kijang adalah mobil toyota “milik Jepang”.  Rancangan mobil kijang dibuat oleh Jepang, tetapi dibuat di Indonesia dan muatan lokalnya cukup besar.  Saat itu mobil kijang merupakan jenis mobil yang paling banyak berseliweran di jalan raya.  Dan saat saya ke Philipina, saya menemui banyak mobil kijang di jalanan dan teman Philipina mengatakan itu mobil yang diinport dari Indonesia.  Ketika saya tanyakan kepada teman yang bekerja bidang otomotif, memang Indonesia (lebih tepartnya perusahaan pembuat mobil kijang di Indonesia) mengeksport mobil kijang ke Philipina dan beberapa negara lain.

Apa hebatnya fenomena itu?  Pada awalnya Indonesia menerima rancangan mobil kijang dari Jepang tetapi dibuat di dalam negeri dengan diberi banyak muatan lokal.  Seakan-akan mobil kijang mengandung muatan Indonesia yang cukup besar dan kemudian kita eksport.   Mengapa tidak langsung dirancang sebagai mobil buatan Indonesia?  Saya ragu apakah laku di negara lain, jika cara seperti itu dilakukan.

Saya ingat fenomena tahun 1970an, pertama kali keluar sepeda (engkol) buatan China dengan merek SIMKING.  Saat itu semua orang mencibir, sepeda buatan China jelek tidak sebaik sepeda buatan Eropa yang sudah mendominasi pasar speda di Indonesia.  Radio buatan Jepang juga pernah dicibir pada awal kemunculannya, karena sebelumnya dirajai oleh buatan Belanda.  Sekarangpun banyak orang Indonesia lebih percaya produk asing dibanding buatan dalam negeri.

Bagi penulis yang sudah terkenal akan sangat mudah memasukkan artikelnya di koran dan naskah bukunya ke penerbit.  Redaktur koran seringkali hanya membaca sekilas dan segera yakin tulisan itu bagus, karena ditulis oleh penulis beken.  Orang awam sering membeli gambar atau lukisan bukan karena faham gambar atau lukisannya bagus, tetapi karena nama besar pelukisnya.

Apa arti semua fenomena di atas?  Nama besar seringkali membuat orang mudah percaya.  Hal itu dapat terjadi pada suatu produk tertentu atau bahkan pendidikan. Misalnya “ini mesin buatan Jerman”.  “Ini lukisan Afandi”.  “Ini mebel Jepara”.  “Ia doktor teknik lulusan Jepang”.  “Ini temuan dari Amerika”  “Jaket ini dibeli di Australian”. Dan sebagainya.  Banyak orang yang merasa ragu, jika mendapatkan tawaran “mesin ini buatan China”.  “Ini lukisan mahasiswa Unesa”.  “Ia lulusan universitas X di Indonesia”.  “Jaket buatan Bangil” dan sebagainya.

Itulah menurut saya langkah Toyota atau Asrta memproduksi mobil kijang sangat jitu.  Pada awalnya menggunakan nama besar Toyota, tetapi dibuat di Indonesia dengan muatan lokal sangat besar.  Setelah masyarakat percaya dan banyak digunakan, kemudian diekspor ke luar negeri.  Nama besar Toyota seakan digunakan sebagai jaminan, sebelum masyarakat merasakannya.

Pola itu juga cocok untuk pengembangan penelitian.  Jika sekarang Unesa “mengibarkan bendera” penelitian tingkat internasional, mungkin banyak yang belum percaya.  Dapat saja mutunya bagus, namun karena belum banyak yang mengenal apa itu Unesa dan siapa iu penelitinya.  Akibatnya orang tidak mudah percaya.  Nah, jika Unesa bekerjasama dengan universitas atau lembaga penelitian atau peneliti yang sudah dikenal di dunia, hasil penelitiannya akan lebih mudah diterima.  Nah, jika nama Unesa sudah mulai dikenal atau peneliti Unesa sudah mulai dikenal, pada saatnya Unesa dapat mengibarkan penelitian tingkat internasional sendirian.

Cara seperti itu juga baik diterapkan oleh peneliti muda.  Pada tahap awal, lebih baik peneliti muda bergabung dengan peneliti senior.  Disamping belajar melakukan penelitian yang bermutu, sekaligus “memperkenalkan” diri di kalangan peneliti lain.  Nanti jika sudah beberapa kali namanya muncul di pentas penelitian (seminar hasil maupun artikelnya muncul di jurnal), baru mulai “melepaskan diri” dari baying-banyang seniornya.  Semoga.

Jumat, 15 Februari 2013

MENCERMATI KANAL DI BELANDA: Pelajaran penting dalam menata lingkungan.


Jum’at tanggal 15 Februari 2013 acara Tim Unesa agak longgar.  Jam 10 terjadwal bertemu salah satu orang penting dari NUFFIC.  Yang bersangkutan teman lama saya yang sudah sering ke Indonesia.  Konon ayah beliau orang Indonesia yang dahulu belajar ke Belanda terus tidak pulang.  Jadilah anaknya (beliau) keturunan Indonesia, lahir di Belanda dan menjadi warga negara Belanda.  Orangnya baik, ramah dan tampak sangat sederhana, walaupun punya jabatan penting di NUFFIC.

Pertemuan kami fokuskan untuk mencari peluang kerjasama penelitian dan beasiswa, karena NUFFIC punya beberapa proyek penelitian di Indonesia.  Sudah saatnya Unesa mengerjakan penelitian “kelas internasional”.  Namun karena belum berpengalaman, akan lebih mudah kalau bekerjasama dulu dengan partner dari luar negeri.  Nanti jika sudah “pintar”, punya pengalaman, dan dikenal oleh para peneliti “kelas dunia”, kita dapat mengibarkan bendera sendiri.  Argumen lebih detail, insya Allah akan saya tulis secara khusus. 

Pertemuan tidak formal, disertai dengan kelakar nostalgia berlangsung sekitar 2 jam di lobi hotel.  Kafe yang semula akan digunakan untuk pertemuan, baru buka jam 12.  Jadilah pertemuan dilakukan di ruang tunggu lobi yang banyak orang lalu-lalang.   Teman itu akan ke Surabaya bulan April, sehingga saya memutuskan akan bicara agak “dalam” saat di Surabaya.  Situasi di lobi hotel tidak memungkinkan untuk diskusi yang substansial.   Kami berjanji untuk keep in touch.

Setelah itu kami punya waktu luang sekitar 5 jam, seusai pertemuan dengan teman NUFFIC sampai sore hari.  Karena saya tidak terbiasa tamasya, saya numpang saja rencana PR-1 dan Direktur Pascasarjana untuk mengikuti tour yang dimulai di depan hotel.  Kami menumpang bis dengan penumpang sekitar 40 orang.  Obyek wisata yang dikunjungi pulau kecil tempat orang membuat “klompen”, desa tua tempat membuat keju sekaligus tempat foto-foto dengan pakaian tradisional Belanda dan kincir angin dengan berbagai fungsinya.

Yang menarik perhatian saya bukan obyek wisata, tetapi justru kanal-kanal di Belanda.  Sepanjang jalan dan di lokasi wisata saya berkesempatan mengamati kanal-kanal, danau-danau kecil dan parit/selokan  yang menggandengnya.  Menarik, karena beberapa tahun lalu, saat saya mengunjungi KITLV di Leiden saya sudah tertarik.  Kali ini seakan melengkapi data observasi saya dulu untuk membuat simpulan-simpulan.  Tepatnya dugaan-dugaan bagaimana orang Belanda merancang dan memfungsikan kanal, danau kecil dan parit tersebut.

Bahwa lahan di Belanda berada di bawah permukaan laut sudah kita ketahui sejak di SMP dulu.  Bahwa Belanda memiliki dam untuk membendung air laut juga sudah kita ketahui.  Namun bagaimana kanal-kanal, danau-danau kecil yang saling terbubung dengan parit itulah pengetahuan baru bagi saya.

Lahan di Belanda seakan merupakan pulau-pulau, besar dan kecil di sebuah laut. Yang saya maksud pulau itu merupakan blok-blok perubahan, petak-petak sawah atau petak-petak padang gembalaan ternak.  Blok-blok dan petak-petak tersebut dikelilingi oleh parit dan atau kanal.  Air di kanal, danau kecil dan parit tersebut ternyata tidak mengalir alias diam.  Jika difoto dari udara, saya menduga bagaikan pulau-pulau yang dipisahkan oleh selat-selat dan laut.

Ketinggian air kanal, parit dan danau kecil pada suatu wilayah tidak selalu sama dengan wilayah lain.  Saat mengunjungi kincil angin, saya mengamati bagaimana kincir angin tersebut memompa air dari kanal sebelah ke sebelahnya.  Juga tampak bagaimana kincir angin lain memompa air dari kanal ke danau kecil yang bersebelahan dengan dam pembendung air laut.  Jadi saya menduga, dirancang ketinggian air di suatu wilayah tertentu dan itu dipertahankan dengan memompanya ke wilayah sebelah dan akhirnya ke danau dan ke laut.  Jadilah lahan di Belanda seakan-akan bertingkat-tingkat ketinggiannya dan itu termasuk permukaan air di kanal dan parit di wilayah tersebut.

Memang Belanda memiliki keuntungan, karena hujan tidak akan sederas di Indonesia.  Dengan begitu kenaikan permukaan air di suatu wilayah tidak akan terjadi dengan cepat, sehingga kincir angin mampu memompanya.  Namun, menurut saya bukan mustahil prinsip seperti itu diterapkan di Indonesia.  Toh teknologi sudah mampu membuat pompa-pompa besar.

Yang juga menarik, danau besar yang menjadi penampungan air terakhir sebelum dibuang ke laut, semula merupakan teluk.  Pada mulut masuk ke teluk itu dibuat dam panjang, sehingga teluk berubah menjadi danau.  Karena terus menerus dimasuki air tawar dan sebagian dibuang ke laut, teluk dan sekarang menjadi danau tersebut berisi air tawar dan menjadi sumber air bersih di Belanda.

Kamis, 14 Februari 2013

MENGELOLA UNIVERSITAS BUKAN HANYA MASALAH KEILMUAN: Pengalaman merancang kerjasama dengan Utrecht University dan Groningen University


Bahwa mengelola suatu lembaga tidak selalu sama dengan teori di text book dan banyak mengandung seni sudah kita ketahui.  Bahwa mengelola perguruan tinggi bukan hanya masalah akademik keilmuan juga sudah kita ketahui.  Tetapi ketika melalukan serangkaian diskusi dengan Utrecht University dan Groningen University, ditambah berita di BBC ketika pemerintah Inggris akan memotong anggaran pendidikan tinggi, saya baru “ngeh” (istilah teman Jakarta), bahwa pada akhirnya pengelolaan perguruan tinggi (minimal di Eropa) bersentuan dengan aspek-aspek bisnis.

Tanggal 13 Februari Tim Unesa (saya, PR-1 dan Direktur Pascasarjana) dan Tim Unsri (rektor, direktur dan asdir-1 Pascasarjana) berdiskusi dengan Tim Utrecht University.  Tujuannya meluaskan kerjasama program S2 Internasional (IPOME) menjadi S2 double degree bidang Pendidikan Matematika dan Pendidikan Sains.  Sorenya, sekitar jam 16an di stasiun Utrecht Central bertemu dengan teman lama dari Groningen University yang mengurusi kerjasama dengan perguruan tinggi di Asia. 

Tanggal 14 Tim Unesa mengunjungi Groningen University dengan naik kereta api sekitar 2,5 jam dari Amsterdam.  Kami bersemangat, karena punya harapan besar dapat menjalin kerjasama. Apalagi Groningen merupakan kota yang indah di bagian ujung utara Belanda dan banyak orang Indonesia tinggal di sana.  Jadilah diskusi yang sangat produktif dan diakhiri dengan makan siang gaya Belanda.

Nah, komentar dari beberapa pengurus orang perguruan tinggi di Inggris terhadap rancangan pemotongan anggaran pendidikan tinggi, juga muncul dari diskusi tersebut.  Memang tidak se-terbuka komentar di BBC tetapi kesannya sangat kuat.  Apa itu?  Perguruan tinggi di Belanda dan Inggris harus berkerja keras “mencari uang” karena anggaran dari pemerintah tidak lagi mencukupi.  Tidak hanya itu, mereka harus memutar otak agar pengelolaan menjadi lebih efisien tanpa mengurangi mutu akademik maupun layanan.

Sepengetahuan saya Utrecht University dan Groningen University termasuk research university di Belanda, sehingga lebih mengutamakan riset dibanding pengajaran. Oleh karena itu, program S3 dan beberapa program S2 diarahkan untuk benar-benar terkait dengan riset mereka. Program S3 merupakan research based program, sehingga tidak ada kuliah.  Mahasiswa benar-benar melakukan riset dan publikasi di jurnal ternama menjadi salah satu sasarannya.  Mahasiswa S2 diarahkan untuk terlibat dengan grup riset sesuai dengan bidangnya.

Lantas bagaimana kiat mereka menggabungkan riset dengan mencari uang?  Disitulah yang menarik untuk dipelajari.  Tentu kami hanya dapat menangkap ungkapan dan gambaran program yang mereka miliki, sedangkan apa startegi di balik itu, menjadi “rahasia dapur” mereka.  Berikut ini fenomena yang menarik.

Kebetulan salah satu tokoh Realistic Mathematics yang juga mantan direktur Freudental Institute (FI) sekarang pindah ke Groningen.  Walaupun yang bersangkutan masih bekerja 1 hari dalam seminggu di Utrecht Univ untuk membimbing mahasiswa S3. FI mirip sebuah lembaga mandiri tetapi berafiliasi dengan Utrecht univ dalam mengembangkan program S2/S3 dalam bidang Pendidikan Matematika.  Program IPOME terkait dengan program tersebut.

Nah, ternyata Groningen menawarkan kerjasama dengan Unesa untuk program S2 Pendidikan Matematika dan Sains.  Memang tidak secara terbuka.  Mungkin “malu”, menawarkan sesuatu yang dulu dia rancang saat masih menjadi direktur FI.  Tetapi program yang mereka miliki secara khusus dijelaskan panjang lebar.  Yang diwarkan jauh lebih “lunak” dibanding dengan apa yang kemarin dibahas dengan Utrecht.  Juga ada kesan kompetisi.

Saat ketemu di stasiun di Utrecht Central, teman Groningen yang mengurusi kerjasama dengan Indonesia sudah menjelaskan bahwa dia ditugasi khusus untuk menggaet kerjasama dengan Indonesia, dengan memanfaatkan beasiswa Dikti.  Tetap dalam koridor riset, baik program S3 maupun S2 tetapi dana menjadi salah satu pertimbangan.  Mereka mengharapkan kehadiran mahasiswa S2 dan khususnya S3 dari Indonesia (dan juga mengara lain) dengan membawa beasiswa, tetapi sekaligus menjadi pendukung program penelitian yang mereka lakukan.  Kiat yang menurut saya cukup cerdas.  Mahasiswa medapatkan pengalaman  dalam riset kelas dunia, di lain pihak mereka mendapat dukungan tenaga periset yang membawa biaya sendiri.

Saat saya menyodorkan akan mengirim dosen “senior” untuk melakukan kerjasama riset dengan menggunakan jalur SAME Dikti, secara terbuka baik Utrecht Univ maupun Groningen Univ menyatakan senang dan pesan jangan lupa bench fee.  Dengan agak berkelakar, partner di Belanda juga memerlukan sedikit honor.

Saat saya menyodorkan gagasan, program double degree yang dirancang pada saatnya menjadi “pintu” orang Asean untuk menempuh S2/S3 ke Belanda, mereka tampak gembira.  “Ya, itu akan bagus dan lebih murah bagi orang dari Asean untuk menempuh pendidikan dengan standar Belanda”.  “Dan jika itu dapat dijaga kontinuitasnya, kami akan buatkan skema khusus”.  Nah, tampak lebih jelas unsur bisnisnya.

Rupanya Belanda sudah terimbas pola pikir Australia, bahwa pendidikan merupakan bentuk bisnis layanan sosial.  Tentu bisnis dalam arti positif, atau “education as a noble industry”, istilah yang diperkenalkan oleh Yohanes Untoro sekian tahun lalu.  Tentu harus dijaga agar betul-betul “noble industry” dan bukan industri biasa yang berorientasi kepada profit.  Semoga.

Rabu, 13 Februari 2013

SOP PENTING, MENYESUAIKAN SITUASI LEBIH PENTING



Seperti saya ceritakan yang lalu, penerbangan garuda yang saya tumpangi terpaksa landing di Muscat karena bandara Abu Dahi tempat seharusnya kami singgah ditutup.  Ditutup demi keamanan, karena kabut tebal.  Bukankah seperti kata Pak BJ Habibie, dalam penerbangan swasta keamanan dan kenyamanan adalah nomor satu.  Tidak seperti pesawat tempur yang menomorsatukan kemampuan bermanuver. Jadi, logis kalau pilot dan petugas bandara mengutamakan mengalihkan pendaratan ke Muscat demi keamanan.

Penerbangan jadi terlambat lebih dari enam jam.  Bahkan senyatanya lebih dari tujuh jam, karena quick handling yang diperkirakan hanya 30 menit lebih dari satu jam.  Mungkin karena pesawat sangat kotor, seperti yang saya ceritakan terdahulu.  Pesawat take off dari banda Abu Dabi jam 11.30an waktu setempat atau jam 14.30 waktu Surabaya.  Dapat dibayangkan laparnya perut saya. Pagi hanya diberi roti kecil, itupun kata pramugari sisa-sisa makanan untuk pengganjal perut.

Otak sih dapat memahami.  Seharusnya pesawat landing di Abu Dabi jam 02 tengah malam waktu setempat atau jam 05 waktu Surabaya. Wajar kalau menjelang landing hanya diberi sepotong roti dan minuman hangat.  Seingat saya, setelah take off penumpang akan diberi sarapan pagi, yang makanannya dinaikkan dari bandara Abu Dabi.  Mungkin mirip makan saur, karena waktu sarapan tersebut sekitar jam 3.30 waktu setempat.  Tapi saya duga cocok bagi perut saya, karena saat itu jam 6.30 waktu Surabaya.

Ketika ternyata pesawat baru take off sekitar jam 14.30 waktu Surabaya, perut tidak dapat dikibuli oleh otak.  Ternyata jam biologis saya lebih kuat dibanding jam rasionalitas otak.  Otak mengatakan masih jam 11.30, seperti yang tampak di arloji (karena sudah disesuaikan) tetapi perut mengatakan waktu makan siang sudah tiba bahkan sudah lewat.  Namun, apa yang dapat dilakukan?  Di garuda tidak ada penjualan makanan seperti di Air Asia, jadi ya hanya bisa menunggu dan berharap makan siang segera dihidangkan.

Ketika crew pesawat mengumumkan bahwa pramugari akan mulai menghidangkan makan pagi saya seakan bersorak.  Betul makan pagi, karena sesuai dengan “jatah” seharusnya yang dihidangkan untuk sarapan, jika pesawat berangkat tepat waktu jam 6an.  Tidak apa-apa, walaupun seperti yang diumumkan yang tersedia hanya nasi goreng atau omelet.  Dalam hati, nasi goreng yang dimasak di Abu Dabi mungkin enak dengan tambahan “lauk lapar”.

Mulailah pramugari yang cantik-cantik dengan seragam khas garuda, mengedarkan minuman jus jeruk.  Setelah gelas minuman diambil, mulai mengedarkan handuk kecil basah untuk membersihkan tangan. Dan setelah handuk kecil dikumpulkan, barulah pramugari mendorong kereta makanan dan menawarkan pilihan nasi goring atau omelet.  Persis seperti SOP (standard operating procedure) layanan makan di pesawat.  Mungkin secara kesehatan betul, dimulai dengan minum jus dan membersihkan tangan sebelum makan.  Namun, perut rasanya memberontak.  Bukankah sudah jam 13 waktu setempat atau sudah jam 16 waktu Jakarta.  Mengapa masih mempertahankan SOP?  Mana yang lebih risiko, terlambat makan atau lupa membersihkan tangan ya?

Mungkin pertanyaan tersebut juga dilema bagi pramugari dan pramugara.  Walaupun sudah siang harus diumumkan akan dimulai makan pagi, karena SOP-nya memang makan pagi.  Harus dimulai dengan minum jus dan membagikan handuk kecil basah untuk membersihkan tangan, walaupun mereka tahu penumpang sudah kelaparan.  Saya yakin mereka faham akan kondisi penumpang.  Buktinya, saat saya memberi komentar “saya lapar mbak”, dia menjawab “sama pak”.  Ketika saya tanya “capek mbak”, mereka menjawab “capek sekali, saya sampai tidak dapat mikir pak”.  Namun mereka terikat SOP, yang mungkin baku.  Mirip ketika menyampaikan pengumuman, ternyata mereka itu membaca teks.

Setelah selesai sarapan dan perut tidak lagi berontak, saya berpikir begitu baku-kah SOP di pesawat, sehingga sama sekali tidak dapat diubah.  SOP dirancang untuk memastikan suatu proses kerja berjalan seperti yang seharusnya.  Dengan begitu dipastikan semuanya berjalan optimal seperti yang direncanakan.  Setiap alat biasanya memiliki manual atau petunjuk pengoprasian. Itu analogi SOP yang mudah difahami.  Menghidupkan komputer ada manualnya.  Jika manual itu diikuti, pabrik pembuat seakan “menjamin” komputer akan berjalan dengan baik dan berumur panjang.  Menyetir mobil juga ada manualnya.  Orang yang kursus menyetir akan diajari manual itu, mulai dari menghidupkan mesin, menunggu sampai mesin panas, menginjak pedal kopling, memasukkan verneling, pelan-pelan melepas pedal kopling bersamaan menginjak pedal gas dan seterusnya.  Jika itu dilakukan, “dijamin” mesin tidak mati dan mobil tidak “melompat” dan sebagainya.

Dalam bentuk lain, konon makan juga ada SOP-nya.  Saya pernah dapat cerita ada lembaga kursus kepribadian yang mengajari “SOP makan yang benar”.  Mulai cara duduk, cara memegang sendok, garpu, pisau, cara meletakkan tangan, cara menyuapkan ke dalam mulut dan sebagainya.  Konon banyak istri para “penggede” kursus semacam itu, agar tidak keliru saat makan bersama kolega sesama istri penggede.

Saya berpikir, bukankah SOP itu dirancang jika keadaan normal?  Jika ada bencana dan harus segera pergi, maka pemanasan mesin dalam SOP menyetir mobil, harus dikalahkan dengan pentingnya segera meninggalkan tempat.  Jika jadwal mepet, SOP makan yang dipelajari di kursus kepribadian harus dikalahkan oleh keperluan cepat-cepat selesai.

Seingat saya, dalam suatu rancangan program kerja, selalu ada “Plan-A”, “Plan-B”, dan bahkan “Plan-C”.  Plan-A dilaksanakan jika keadaan normal.  Plan-B, dilaksanakan jika keadaan “begini”.  Plan-C, dilaksanakan sebagai jalan terakhir, jika Plan-A maupun Plan-B tidak memungkinkan.  Simpulan saya, apakah SOP makan di pesawat hanya satu-satunya SOP dan itu sangat baku, sehingga tidak boleh diubah sama-sekali?  Mungkin para manager operasional penerbangan yang cocok untuk menjawab.

Selasa, 12 Februari 2013

YA AMPUN, KOTORNYA?


Sepanjang  ada penerbangan, kalau keluar negeri saya selalu naik garuda. Kali ini saya naik garuda dari Jakarta ke Amesterdam, untuk acara di Utrecht University, Groningen University dan Nuffic.  Selama ini, Garuda singgah di Dubai tetapi saat pengumuman naik ternyata akan singgah di Abu Dabi.

Saya sangat senang, karena banyak rombongan umrah yang naik garuda.  Bearti “orang Indonesia banyak yang kaya”, karena tiket garuda relatif agak mahal. Saya lihat pakaiannya juga bagus-bagus.  Ternyata mereka berasal dari daerah Bekasi dan sekitarnya.  Logak Betawi juga terasa.  Ada yang mantan lurah.  Orang agak pendek, dengan rambut dipotong pendek pula.

Pesawat berangkat tepat waktu. Tetapi ketika menjelang landing di Abu Dabi diumumkan kalau bandara Abu Dabi ditutup karena kabut tebal dan pesawat dialihkan untuk landing di Muscat di Oman.  Menunggu cuaca Abu Dabi membaik, dan akan segera terbang lagi ke Abu Dabi.

Karena hanya pendaratan sementara maka penumpang tidak boleh turun.  Saya juga tenang-tenang saja. Toh penerbangan Muscat – Abu Dabi hanya 40 menit.   Hampir 3 jam menunggu tidak ada pengumuman.  Pramugari juga belum pernah punya pengalaman.  Menurut mereka, singgah di Abu Dabi juga hal baru bagi mereka. 

Ketika hampir empat jam menunggu, diumumkan agar penumpang siap-siap karena pesawat akan segera berangkat.  Namun setelah semua siap, termasuk pramugari sudah duduk ditempatnya, pesawat juga tidak bergerak.  Baru setelah agak lama, diumumkan bahwa ada kabar lagi bahwa bandara Abu Dabi belum mengijinkan dan kami harus menunggu. 

Ya, kami harus menunggu lagi.  Waktu setempat sudah jam 7an berarti sudah jam 10 di Surabaya, jadi perut sudah mulai lapar.  Sepertinya pramugari juga mengerti, “sisa makanan” yang ada dibagikan.  Walaupun hanya sepotong roti kecil ditabah teh panas, lumayan untuk menganjal perut.

Untung salah seorang penumpang peserta umrah yang konon mantan lurah, sangat lucu.  Dia terus “ngebanyol” dengan logat betawi yang kental menggoda teman atau siapa saja yang lewat di dekatnya. Termasuk ketika ada “bule” jangkung yang keluar toilet “diganggu”, karena dia hanya “di bawah ketiak” si bule.

Sekitar jam dua belas waktu setempat atau jam 3 sore waktu Surabaya, akhirnya pesawat take off dan betul hanya perlu 40 menit untuk sampai di Abu Dabi.   Rombongan jamaah umrah pada turun.  Juga ada beberapa penumpang lain yang juga turun, sehingga pesawat menjadi sangat kosong.  Semula saya mengira, penumpang transit seperti saya boleh turun.  Lumayan untuk cari makan.  Tetapi ternyata tidak boleh.  Kata pramugari biar quick handling, karena sudah terlambah lebih 6 jam.  Jadilah kami di dalam pesawat, saat petugas kebersihan masuk.

Ya ampun, saya baru sadar betapa kotornya lantai pesawat.  Banyak cuwilan roti, botol minuman kosong, bahkan plastik-plastik bekas makanan berserakan. Sepertinya ada penumpang yg membawa makanan saat naik pesawat.  Diam-diam, saya membandingkan lokasi di bawah kursi suadara-saudara rombongan umrah dan penumpang lainnya.   Ternyata berbeda cukup mencolok.

Mengapa ya?  Di dalam pesawat, disamping para bule yang beberapa baru pulang berlibur di Indonesia, juga banya orang Indonesia.  Kami ber-tujuh, tiga dari Unesa dan empat dari Unsri. Juga ada beberapa mahasiswa yang sedang S3 di Eropa.

Saya jadi teringat dialog ibu sepuh dengan teman di sebelahnya.  Ibu sepuh bercerita, sudah berumur 90 tahun, tidak pernah bersekolah.  Sekolahnya ya “nandur dan nyangkul” di sawah.  Memang dari tutur katanya, sebagian rombongan umrah adalah bapak/ibu sepuh yang mungkin tidak terlalu tinggi pendidikannya.  Namun yang pasti, ada mantan lurah yang lucu itu.

Bukankah kebersihan sebagian dari iman.  Mungkinkan ini fenomena yang sering diungkap oleh Prof Roem Rowi, bahwa keberagamaan kita belum merasuk dalam taraf kehidupan keseharian.  Keberagamaan kita masih bekutat pasa kesalehan individual dan belum kepada kesalehan sosial.  Mungkinkah karena faktor pendidikan? Semoga dengan meningkatnya pendidikan masyarakat dan meningkatnya pemahaman keagamaan, fenomena tersebut pada saatnya tidak a