Rabu, 29 Januari 2014

WHAT WINNERS ARE MADE OF

Tanggal 26-28 Januari 2014 saya mengikuti acara Workshop Pengelolaan Keuangan bagi KPA, yang diadakan oleh Sekretariat Jenderal Kemdikbud di Hotel Millennium Jakarta.  Kebetulan Minggu tgl 26 pagi ada keluarga yang menikahkan anaknya di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), sehingga istri saya ikut ke Jakarta.  Lumayan, walaupun tiket pesawat harus membayar sendiri, istri saya dapat menumpang nginap di hotel bersama saya.  Saya pesan kepada Mas Nardi, teman yang biasa mencarikan tiket, agar isteri saya dicarikan tiket promo atau yang termurah.  Alhamdulillah dapat.

Acara workshop berjalan lebih cepat dari yang dijadwalkan.  Acara yang dijadwalkan ditutup Selasa pukul 10.00, sudah ditutup Senin sore.  Pada hal tiket saya dan istri untuk Jakarta-Surabaya pada Selasa pukul 13.  Maunya memajukan tiket, tetapi tidak bisa karena tiket istri saya tiket promo.  Kalau memajukan harus membayar.  Akhirnya kami tetap menggunakan jadwal semula, pulang ke Surabaya pukul 13 dan saya menganggur di hotel Selasa pagi.

Untunglah saya membawa buku berjudul Winning tulisan Jack Welch dan Suzy Welch.  Jack Welch adalah mantan bos General Electric, sedang Suzy Welch saya duga istrinya.  Saya memanfaatkan waktu luang untuk membacanya.  Kebetulan yang saya baca Chapter 6 yang berjudul Hiring: What Winners Are Made of.  Isinya sangat bagus dan oleh karena itu saya ingin berbagi dengan pembaca.

Pada chapter itu Jack da Suzy Welech menjelaskan apa kriteria yang perlu digunakan pada saat melakukan rekrutmen karyawan.  Kriteria itu konon sering ditanyakan ketika mereka memberikan seminar maupun pelatihan manajemen.  Kriteria tersebut sangat penting agar perusahaan memiliki karyawan dan pimpinan yang betul-betul bagus.  Staf yang tidak sesuai dengan kriteria yang diperlukan seringkali membuat kerepotan.

Menurut Jack dan Suzy Welch saringan pertama untuk rekrutmen calon karyawan adalah untuk menguji tiga aspek, yaitu integrity, intelligence dan maturity.   Yang dimaksud dengan integrity dalam konteks ini adalah kejujuran dan satunya kata dengan perbuatan.  Setiap karyawan harus memahami nilai-nilai serta aturan-aturan yang diterapkan di perusahaan dan harus dengan sepenuh hati menerapkannya.

Bagaimana cara mengetahui integritas orang?  Untuk orang dalam, integritas dapat diketahui dari perilaku sehari-hari yang bersangkutan.  Tentu itu dilakukan dalam waktu cukup lama, sehingga dapat dilihat konsistensinya.  Bagaimana bagi calon dari luar?  Tentu lebih sulit.  Biasanya didasarkan dari reputasi yang bersangkutan dan atau referensi orang lain yang terpercaya.

Karyawan tidak harus secerdas Einstein dan Stephen Hawking.  Calon karyawan juga tidak harus membaca buku  Shakespeare dan Ary Ginandjar. Tetapi karyawan harus memiliki kecerdasan cukup baik agar dapat mengerjakan tugas-tugas yang diterima.  Lebih dari itu, karyawan yang cerdas dapat dengan mudah mengikuti perkembangan perusahaan.  Ketika perusahaan tumbuh, tentu terjadi perubahan tata kerja diperusahaan dan karyawan tentu harus dapat mengikutinya.

Jack dan Suzy Welch mengingatkan agar kita tidak mengaburkan antara kecerdasan dan pendidikan.  Memang benar, bisanya lulusan perguruan tinggi terkenal adalah mereka yang cerdas.  Tetapi itu juga tidak menjamin.  Fakta juga menunjukkan banyak lulusan perguruan tinggi biasa atau bahkan tidak pernah kuliah tetapi mereka cerdas.

Kematangan (maturity) penting bagi karyawan.  Dengan kematangan karyawan tidak mudah emosi, dapat menghargai orang lain, dapat melakukan introspeksi dari kekurangan diri, serta mudah bekerjasama dalam tim.  Karyawan yang kurang matang seringkali menimbulkan situasi kerja yang tidak kondusif.

Disamping 3 syarat tadi, Jack dan Suzy Welch mengatakan karyawan harus memiliki “The 4-E dab 1-P”.   Apa itu?  E pertama, karyawan harus memiliki positive energy.   Maksudnya karyawan harus memiliki enersi dan semangat untuk “kerja-kerja-kerja”.  Mungkin seperti semangat yang dianjurkan oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan.  Karyawan dengan positive energy akan selalu optimis dan bersemangat untuk mengerjakan tugasnya.  Karyawan dengan positive energy akan mencintai pekerjaannya.

E kedua adalah energize others.  Maksudnya karyawan yang baik akan memberi semangat kepada rekan lainnya.   Hal itu tidak selalu disampaikan sebagai ucapan, tetapi lebih dari itu melalui contoh yang menginspirasi orang lain.   Membangun kebersamaan kerja keras merupakan contoh energize others.

E ketiga adalah edge, the courage to make tough yes-or-no decision.   Seringkali situasi kerja bersifat  abu-abu, sehingga orang dapat berbeda pendapat karena masing-masing melihat dari sisi yang berbeda. Dalam situasi seperti itu karyawan harus mampu menganalisis mana yang tepat dan berani mengatakan “ya” untuk yang diyakini benar dan mengatakan “tidak” untuk yang diyakini tidak benar.  Walaupun yang informasi yang keliru tadi berasal dari orang/pihak yang berpengaruh.

E keemapat adalah execute.  Maksudnya kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas.  Tidak semua orang yang faham dan bahkan pandai berteori mampu melaksanakan apa yang diteorikan.  Di samping kemampuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan juga diperlukan keberanian.  Apalagi ada pekerjaan-pekerjaan yang mengandung risiko.

P yang dimaksud oleh Jack dan Suzy Welch adalah passion.  Jika pekerjaan menjadi passion-nya, maka karyawan akan menikmati pekerjaannya.  Dengan demikian dia akan bekerja dengan sepenuh hati dan hasilnya akan maksimal.  Karyawan yang bekerja karena terpaksa atau sekedar melaksanakan kuwajiban, hasilnya tidak akan maksimal.

Kriteria di atas berlaku untuk semua karyawan.  Namun untuk level pimpinan apalagi pimpinan puncak di unit kerja, diperlukan kriteria tambahan.  Jack dan Suzy Welch menyebutkan empat tambahan untuk syarat pimpinan, yaitu authenticity, ability to see around corners, strong penchant to surround themselves with better people, dan heavy duty resilience.

Menurut Jack dan Suzy Welch, orang dengan authenticity memiliki kemandirian dan rasa percaya diri yang kuat.  Dengan demikian dia akan berani mengambil keputusan yang dianggap tepat walaupun mungkin tidak populer.  Pemimpin apalagi pemimpin puncak tidak boleh hanya mencari popularitas dan melupakan kemajuan organisasi.  Pemimpin dengan authenticity tidak akan sekedar mengikuti arus orang banyak. Dia akan akan mengambil langkah berani demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya.

Yang dimaksud dengan ability to see around corners adalah kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang.  Tentu yang dimaksud Jack dan Suzy Welch bukan semacam juru ramal, tetapi dengan berbagai data dan fenomena, pemimpin puncak harus mampu membuat prediksi ke depan.  Dengan begitu, dapat dilakukan antisipasinya.  Bahkan dengan kemampuan itu, yang bersangkutan dapat “memanfaatkan” perubahan itu untuk kemajuan organisasi.

Pemimpin harus mampu mendayagunakan staf untuk kemajuan organisasi.  Makin pandai staf yang dimiliki tentunya makin lancar pekerjaan.  Namun demikian tidak semua pimpinan merasa nyaman ketika dikelilingi dan mendapat masukan dari karyawan yang lebih pandai dari dia sendiri.  Pemimpin yang baik, apalagi pemimpin puncak seharusnya siap dikelilingi dan mendapat masukan dari staf yang lebih pandai atau lebih pengalaman dari dia sendiri.  Pemimpin seperti itulah yang oleh Jack dan Suzy Welch disebut dengan strong penchant to surround themselves with better people.

Tidak ada orang yang tidak pernah gagal.  Demikian pula setiap organisasi pernah mengalami kegagalan program.  Setiap orang maupun organisasi juga akan selalu menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.  Pemimpin apalagi pemimpin puncak harus memiliki heavy duty resilience, yaitu kemampuan menghadapi tantangan dan berani bangkit dari kegagalan.  Pemimpin yang  baik harus memaknai kegagalan sebagai pelajaran dan sukses yang tertunda.  Pemimpin yang baik harus memaknai tantangan sebagai peluang untuk sukses.


Jujur saya merasa mendapat pelajaran banyak dari membaca chapter 6 buku berjudul Winning, karya Jack Welch dan Suzy Welch.  Yang ingin mendapatkan gambaran lebih lengkap, silahkan membaca buku aslinya.  Semoga.

Jumat, 17 Januari 2014

BOM WAKTU LPTK

Tanggal 7 Januari 2013 saya diundang oleh Kemdikbud bersama Bappenas untuk ikut diskusi dalam rangka menyusun RPJMN Bidang Pendidikan di Hotel Sultan Jakarta. Hadir pada diskusi itu para tokoh,  antara lain Prof Satryo Brojonegoro (mantan Dirjen Dikti), Prof Sudjarwadi (mantan Rektor UGM), Prof Mulyadi Bur (dosen Unand), Prof Tian Belawati (Rektor UT), Prof Aman Wirakartakusumah (mantan Rektor IPB dan Dubes untuk Unesco), Prof. Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Jakarta), Prof Djoko Suharto (dosen ITB), Prof Chan Basarudin (dosen UI), Prof Mayling Gardiner (dosen UI) dan masih banyak yang lain. Dari pemerintah pusat hadir Dr. Taufik Hanafi (staf ahli Mendikbud), Dr. Subandi (Direktur Pendidikan Bappenas), Dr. Patdono (Sekretaris Ditjen Dikti), Dr. Bambang Indriyanto (Kapuslijak Balitbang Dikbud) dan masih ada beberapa lainnya.  Juga hadir teman-teman dari lembaga multilateral, antara lain Samer Al Samarrai (World Bank), Wolfgang Kubittzki (Asian Development Bank),  Erik Habers (European Union) dan sebagainya.

Dalam diskusi itu, Prof Mayling menyampaikan keriauannya terhadap perkembangan LPTK. Saya jadi ikut risau sehingga malamnya berusaha mencari data yang mutakhir. Saya kaget sekali, karena data di Majalah Dikti Volume 3 Tahun 2013, menunjukkan jumlah LPTK saat ini 429 buah, terdiri dari 46 LPTK Negeri dan 383 LPTK Swasta.  Jumlah mahasiswa mencapai 1.440.770 orang. Pada hal, tahun 2010 LPTK berjumlah 300an.  Jadi ada kenaikkan 100 buah lebih dalam waktu3 tahun atau sekitar 30 setiap tahun atau 3 buah setiap bulan.  Jadi setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru.

Jika jumlah mahasiswa 1,44 juta dapat diperkirakan lulusan sarjana kependidikan sekitar 300.000 orang per tahun.  Informasi dari Dr. Abi Sujak (Sekretaris BPSDM Kemdikbud), keperluan guru hanya sekitar 40.000 orang per tahun.  Akan terjadi over supply  yang sangat besar.  Padahal 100an LPTK baru yang didirikan tahun 2010-2013 tentu belum memiliki mahasiswa penuh dan baru akan mulai meluluskan beberpa tahun kedepan.  Jadi dalam beberapa tahun ke depan jumlah lulusan LPTK akan bertambah banyak.  Mungkin itu yang menjadi keriauan Prof Mayling.

LPTK adalah perguruan tinggi  “khusus” yang  menyiapkan lulusannya menjadi  guru dan atau menekuni bidang pendidikan.  Walaupun tidak menutup kemungkinan lulusan  LPTK memasuki profesi lain, tetapi dari pengalaman sebagian besar mereka menekuni bidang pendidikan.  Apalagi sebagian besar mahasiswa  LPTK biasanya perempuan yang tentunya tidak  selincah laki-laki untuk mengembara kesana-kemari.

Besuk paginya saya diundang lagi untuk diskusi tentang masalah guru di Bappenas.  Kerisauan Prof Mayling ternyata menjadi satu topik bahasan yang panjang.  Dimulai dari data bahwa sejak tahun 2009 jumlah guru meningkat secara signifikan.  Sementara jumlah siswa tidak seperti itu.  Rasio guru-murid di SD konon mencapai 1 : 16,  sedangkan untuk SMA mencapai 1 : 12.  Jauh melampaui ketentuan dalam SPM (Standar Pelayanan Minimal) Kemdikbud yang menyebut 1 : 30.  Di pihak lain, masih banyak sekolah yang kekurangan guru.  Khususnya di daerah terpencil. Pengalaman melaksanakan SM3T di kabupaten Sumba Timur dan Talaud, masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru.

Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi dan bagaimana cara memecahkannya. Mari kita analisis penyebabnya terlebih dahulu, sehingga dapat ditemukan pemecahan yang tepat.

Tampaknya “hukum ekonomi” berjalan dalam perkembangan jumlah guru maupun LPTK.  Sejak sertifikasi guru (sergur) dilaksanakan tahun 2007 dan kemudian tahun 2008 mulai ada guru yang memperoleh tunjangan profesi, maka profesi guru “naik daun”.  Banyak orang  ingin menjadi guru. Sekolah-sekolah menambah guru.  Sekolah swasta yang semula “hemat” dalam mengangkat guru tetap, kemudian menambah guru dengan maksud agar mereka dapat ikut sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi.

Ketika profesi guru naik daun, peminat masuk LPTK meningkat signifikan.  Di Unesa, jumlah pelamar calon  mahasiswa meningkat tajam sejak tahun 2010.  Pada tahun 2013, rasio pelamar dan yang diterima sudah mencapai 1 : 20.  Artinya satu kursi direbut oleh 20 orang pelamar.  Bahkan untuk program studi tertentu, rasio mencapai 1 : 40.

Nah, ketika fenomena itu muncul, keinginan untuk membuka LPTK juga muncul. Itulah sebabnya jumlah LPTK  juga meningkat tajam.  Bahkan LPTK yang sudah ada juga meningkatkan daya tampung.  Artinya jumlah  mahasiswa di program studi yang sudah ada ditambah.  Universitas yang semula tidak memiliki program studi kependidikan, juga membuka program studi kependidikan.  Dan itu tidak hanya berlaku untuk PTS.  Tahun 2008 jumlah LPTK Negeri hanya 33 buah dan sekarang menjadi  46.  Memang ada PTN baru yang pada umumnya punya LPTK.  Namun jumlah PTN baru hanya 4 buah.  Jadi ada 9 PTN “lama” yang semula tidak memiliki program studi kependidikan kemudian membukanya.

Pengangkatan guru baru ternyata juga bermasalah.  Banyak kabupaten di daerah terpencil yang melaporkan kesulitan mendapatkan pelamar, sehingga akhirnya menerima guru yang bukan lulusan LPTK atau bahkan hanya lulusan SMA. Tampaknya lulusan LPTK yang berlebih itu juga tidak tertarik untuk menjadi guru di daerah terpencil.  Padahal, guru di pedesaan biasanya ingin juga pindah ke kota kabupaten, setelah cukup lama mengabdi di sekolah di pedesaaan.  Biasanya dengan alasan untuk dapat menunggui anaknya yang sekolah di tingkat SMA yang hanya ada di kota.

Jika seperti itu masalahnya, perlu ditemukan solusi yang komprehensif.  Bagaimana agar supply-demand diatur termasuk penempatannya. Jika kita hanya mengurangi supply dengan mengurangi LPTK dikawatirkan kabupaten terpencil kesulitan guru.  Jika jumlah LPTK sangat banyak, dikhawatirkan terjadi over supply yang tidak terkendali. Jika kabupaten terpencil tidak  memperoleh supply guru baru dikhawatirkan tetap terjadi pengangkatan guru yang bukan lulusan LPTK, sehingga memerlukan pendidikan lagi.

Intinya bagaimana kita memiliki pola pendidikan calon guru yang mutunya bagus, tidak over suppy, tetapi penempatan dalam dilakukan dengan mulus, sehingga sekolah-sekolah di daerah terpencil mendapatkan guru.  Tampaknya pasal 23 ayat (1) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dapat menjadi pintu pemecahkan.  Pasal itu mengamanatkan agar pendidikan guru dilakukan dengan ikatan dinas dan berasrama.  Dengan ikatan dinas, penempatan guru dapat dilaksanakan dengan baik, karena lulusan terikat kontrak.  Dengan adanya asrama, pembinaan calon guru khususnya tentang karakter dapat dilaksanakan secara intensif.


Pertanyaannya apa tidak mahal?  Mari kita hitung.  Jika informasi Dr. Abi Sujak dijadikan pijakan dan komposisi guru SD sama dengan jumlah guru SMP, SMA dan SMK, maka kebutuhan guru baru sekitar 20.000 orang untuk SD dan 20.000 orang untuk SMP, SMA dan SMK.  Menurut ketentuan Pendidikan Profesi Guru (PPG) SD selama 1 sementer, sedangkan untuk guru SMP/SMA/SMK 2 sementer.  Jadi pendanaan PPG untuk 40.000 guru baru tersebut 60.000 orang semester.  Jika SPP di PPG dianggap sama dengan S2 sekitar 6 juta per orang per semester, berarti diperlukan biaya untuk SPP sebesar 60.000 x 6 juta atau 360 milyar.  Jika biaya hidup mahasiswa PPG diasumsikan sama dengan SPP, biaya total yang diperlukan sebesar 720 milyar rupiah/tahun.  Rasanya cukup kecil untuk memastikan kita memperoleh guru yang bagus dan dapat didistribusi ke seluruh pelosok tanah air.  Semoga.

Rabu, 08 Januari 2014

MBAK YOS

Seperti saya sebutkan terdahulu, saya ke Taiwan setelah selesai mengikuti acara Confucius Institute International Conference di Beijing.  Minggu sore, sebelum penutupan acara selesai saya berangkat ke Taipei, karena besuknya Senin pagi sudah ada acara acara di NTNU (National Taiwan Normal University).  Saya sampai di Taipei sekitar pukul 23.30 malam dan dijemput oleh Pak Eppy bersama 2 orang staf dari University of Taipei.   Sampai di hotel sudah sekitar jam 00.30.  Jadi langsung masuk hotel dan tidur.  Namun ketika check in, saya sempat bertanya apakah ada sarapan dan dijawab petugasnya “ada”.  Saya bertanya apakah ada makanan yang tidak mengandung babi, dijawab “akan disiapkan telor ceplok”.  Hal itu saya tanyakan, karena informasi yang saya dapat tidak mudah mendapatkan makanan yang tidak mengandung babi di Taiwan.  Apalagi hotel tempat saya menginap termasuk hotel kecil.

Besuk paginya saya benar-benar mendapatkan telor ceplok.  Ketika saya menyodorkan nomor kamar, petugas restoran langsung memberi saya satu telor ceplok.  Lumayan, dapat dimakan bersama roti bakar.  Sayangnya layanan telor ceplok hanya berjalan satu hari.  Hari kedua, ketika sarapan saya tanyakan ternyata tidak ada.  Petugas restoran juga susah diajak komunikasi, karena tidak lancar berbahasa Inggris.  Ya, akhirnya hanya makan roti bakar dengan diolesi selai.

Saya bertanya kepada teman-teman yang sedang kuliah di Taiwan, apakah ada makanan Indonesia yang tidak jauh dari hotel.  Ternyata ada.  Pemilik warungnya bernama Mbak Yos, orang dari Magetan.  Kata teman-teman, jika terpaksa boleh membayar dengan uang rupiah.  Saya sangat gembira dan hari itu juga minta diantar ke warung Mbak Yos.  Sudah beberapa hari tidak merasakan masakan Indonesia.

Ternyata warung Mbak Yos merupakan toko dan merangkap warung.  Saya menduga awalnya merupakan toko, tetapi kemudian juga menjual makanan (nasi).  Di dalam toko itu ada 4 meja makan dengan masing-masing meja makan ada 4 kursi.  Pola penyajian mirip swalayan.  Pembeli mengambil sendiri, baik nasi maupun lauknya.  Lauknya mirip “makanan rumah” di Jawa.  Ada sayur terong, sayur tahu, sayur kangkung, tempe orek-orek, bali daging, tempe goreng dan sebagainya.  Rasanya, menurut saya sama dengan masakan di Jawa.

Sambil makan, saya memperhatikan Mbak Yos.  Saya menduga usianya sekitar 30an.  Beliau memakai celana jean dan berkaos lengan pendek.  Rambutnya diikat.  Berlulit kuning dan agak pendiam, tetapi memberi kesan cerdas dan cekatan dalam bekerja.  Dari obrolan singkat, saya menangkap kesan Mbak Yos adalah pekerja keras dan berkemauan keras.

Info yang saya dapat, pada awalnya Mbak Yos adalah TKW yang dipekerjakan menjaga toko.  Tidak tahu ceritanya, akhirnya Mbak Yos menikah dengan orang Taiwan dan mengelola toko kecil yang merangkap sebagai warung makan.  Isi tokonya sangat “berbau” Indonesia.  Hampir semua barang yang dijual berasal dari Indonesia.  Mbak Yos juga menjual tempe mentah yang dibuat sendiri.  Dan kabarnya laris.

Saya bertanya, siapa yang membeli tempe mentah itu.  Dijawab, kebanyakan orang Indonesia, tetapi juga ada orang Malaysia dan juga orang Taiwan.  Kedele mudah didapat di Taiwan, tetapi ragi harus dikirim dari Indonesia.  Demikian pula yang makan di warung Mbak Yos, juga ada orang-orang non Indonesia.  Artinya, makanan Indonesia (atau masakan rumahan Jawa) dapat diterima oleh orang Malaysia dan orang Taiwan.

Ketika saya makan, Mbak Yos menerima tilpun dengan berbahasa Indonesia campur bahwa Jawa.  Sepertinya tentang pengiriman barang yang harus dikirim ke tempat lain.  Ternyata, warung Mbak Yos sudah punya “cabang” yang ditunggui adiknya.   Bukan main.  Saya sangat bangga.  Ada orang Indonesia (mantan TKW lagi) berhasil memulai usaha di Taiwan.

Saya sempat bertemu dengan suami Mbak Yos.  Namun sulit untuk berkomunikasi, karena berliau tidak dapat berbahasa Indonesia maupun Inggris.  Sementara saya tidak dapat berhasa China.  Namun, sepotong-sepotong, beliau bisa berhasa Jawa.  Misalnya, bilang matur nuwun.  Dia juga bilang kalau bulan depan akan ke Indonesia.  Kesan saya, suami Mbak Yos ramah.

Di toko yang merangkap warung itu hanya Mbak Yos dan suaminya yang menangani.  Tidak ada orang lain.  Mengamati aktivitas mereka berdua selama 3 kali makan di situ, saya menangkap kesan Mbak Yos yang lebih memegang peran.   Misalnya, ketika Mbak Yos akan berangkat belanja berpesan ini dan itu (saya tidak faham karena dengan bahasa China).  Demikian pula ketika Mbak Yos sedang masak di toko bagian belakang, meminta ini dan itu kepada suaminya.  Namun, tampak sekali keduanya kompak bekerja.

Ketika malam di hote saya merenung.  Apa kunci sukses Mbak Yos, mantan TKW dari desa di Magetan sukses membuka usaha di rantau.  Saya bukan ahli bisnis, sehingga hanya dapat menduga-duga.  Ijinkan saya berbagi dugaan itu.  Pertama, Mbak Yos punya kemauan kuat, kerja keras dan percaya diri.  Tentu beliau juga cerdas.  Saya menduga itu yang membuat Mbak Yos berani membuka usaha.  Kedua, Mbak Yos memiliki insting bisnis yang cukup tajam.  Tokonya diberi nama dengan bahasa Indonesia.  Sayang saya lupa namanya.  Yang dijual di toko itu barang-barang Indonesia.  Makanan yang dijual juga masakan tradisional Indonesia (Jawa).  Mungkin Mbak Yos faham, di Taiwan terdapat 20.000 orang Indonesia dan di dalamnya termasuk 2.000 mahasiswa Indonesia yang kuliah di Taiwan. Mereka merupakan pasar bagus untuk barang dan makanan Indonesia. Ketiga, dalam skala tertentu Mbak Yos faham manajemen.  Dari tilpun yang saya dengar, instruksi Mbak Yos kepada adiknya yang ditugasi menjaga cabang warungnya, tampak sekali beliau faham bagaimana mengelola warung.


Semoga kita belajar dari perjalanan Mbak Yos.  Seandainya beliau ke Indonesia, sangat baik kalau diundang untuk “mengajar” para calon TKW/TKI dan bahkan siswa/mahasiswa. Semoga.  

Minggu, 05 Januari 2014

MENGAPA KULIAH DI TAIWAN BEGITU MURAH?

Sepulang dari Beijing mengikuti Confucius Institute International Conference, saya ke Taiwan. Acara pokoknya untuk menandatangani Mou dengan Univesity of Taipei dan memberi kuliah umum di universitas tersebut.  Saya minta tolong, mbak Silfi staf Kantor Urusan Internasional Unesa agar saya dapat mengunjungi universitas lainnya.  Khususnya tempat beberapa dosen Unesa sedang kuliah.  Rasanya rugi kalau jauh-jauh ke Taiwan hanya mengunjungi satu universitas.

Untuk yang kedua kalinya saya harus berterima kasih kepada Mbak Silfi, karena dapat mengatur sehingga saya dapat mengunjungi National Taiwan Normal University (NTNU) dan National Taiwan University of Sains and Technology (NTUST).  Di NTNU memang ada seorang dosen Unesa yang sedang menempuh S3, yaitu Ibu Rooselyna dari Jurusan Matematika.  Di NTUST ada dua orang dosen Unesa yang sedang menempuh S3, yaitu Pak Eppy dari Jurusan Elektro dan Pak Yogi dari Jurusan Sipil.

Di NTNU saya bertemu “orang penting”, yaitu Prof. Fou Lai Lin.  Beliau guru besar senior (chair professor) dalam bidang Pendidikan Matematika dan kebetulan supervisor Bu Rooselyna.  Beliau mantan direktur yang menangani peningkatan kompetensi guru Matematika di Taiwan.  Beliau adalah pengembang dan sekaligus penanggung jawab program Lightening Program for Teachers in Taiwan.

Saya tertegun mendengar penjelasan Prof. Lin tentang program tersebut.  Pada intinya, setiap dosen di Jurusan Matematika NTNU dipasangkan dengan sekelompok guru Matematika dari beberapa sekolah.  Pasangan tersebut bertugas mengupayakan agar pembelajaran Matematika di sekolah berjalan efektif dan siswa dapat belajar dengan termotivasi.  Setiap bulan pasangan tersebut berkumpul untuk membahas apa yang terjadi, melakukan refleksi dan menyempurnakan kegiatan mendatang.  Mirip Penelitian Tindakan Kelas.  Bedanya kegiatan tersebut dilakukan secara terus menerus dan itu bagian dari tugas dari dosen maupun guru.  Bahan banding yang sangat bagus bagi kita.

Di NTUST saya sempat bertemu dengan president (rektor) NTUST, Prof. Ching Jong Liao.  Namun yang menarik ketika mengunjungi SUS-SON Research Center.  Sebuah gedung yang dikhususkan untuk melakukan riset multidisplin yang mengarah kepada penemuan produk baru.  Di center tersebut saya diperlihatkan  berbagai temuan dan patennya.  Misalnya model joint (sambungan kerangka) yang sekarang diterapkan di gedung 101 (gedung tertinggi kedua di dunia).  Juga ada temuan “beton ringan” yang memiliki kekuatan cukup besar, tetapi sangat ringan.  Juga ada kaca yang dapat menyerap panas sekaligus menghasilkan listrik.  Kaca tersebut dapat menapis udara luar dengan suhu 38 derajat menjadi suhu kamar 20 derajat.  Saya lupa berapa energi listrik yang dihasilkan.

Yang paling menarik adalah eksperimen untuk “mengumpulkan cahaya”.   Sebuah papan kaca yang permukaannya dirancang mirip prisma atau apa, agar cahaya yang mengenainya “terkumpul” dan dialirkan melalui sebuah “saluran khusus”, kemudian digunakan untuk menerangi ruangan.  Sungguh mengagumkan.  Memang masih dalam tahap penelitian, tetapi kalau itu berhasil akan merupakan temuan yang fantastis.  Dan memang hasil awal sudah menakjubkan.  Saya sendiri tidak faham bagaimana hal itu dapat dilakukan.  Mungkin teman-teman dari Fisika yang lebih mengerti.  Anehnya di NTUST, riset tersebut dilakukan oleh orang dari Teknik Sipil.

Ketika Prof. Chao Lung Hwang, direktur center tersebut menerangkan, saya bertanya bagaimana di waktu malam.  Kan tidak ada cahaya matahari.  Beliau menjawab, saat ini sedang dipikirkan bagaimana dapat “menyimpan cahaya”.  Saya tambah penasaran dan bertanya, mungkinkah cahaya yang telah disimpin itu dapat dikirim dari satu tempat ke tempat lain.   Beliau tertarik dengan pertanyaan saya dan tampak berpikir sejenak.  Saya menyambung, kalau itu dapat dilakukan, kita dapat memasang alat sepanjang katulistiwa dan cahaya dikumpulkan.  Bukankah katulistiwa memiliki siang yang relatif tetap dan panjang.  Dan jika alatnya dipasang sepanjang katulistiwa, berarti produk cahaya akan konstan sepanjang waktu.

Di University of Taipei, saya menandatangani MoU dengan president University of Taipei, Prof. Hsia Ling Tai.   Wanita, mantan Menteri Olahraga dan lebih suka dipanggil Tena.  Pada saat jamuan makan siang, tampak sekali Prof Hsia atau Tena sangat supel.  Kami ngobrol tentang bermacam-macam hal.  Termasuk berapa gaji rektor di Indonesia dan presidemt universitas di Taiwan.  Wow ternyata jauh berbeda.  Beliau juga siap ketika saya tawari diundang ke Unesa.  Apalagi, beliau tahu kalau dalam rombongan ikut Dekan FIK, Pak Agus Haryanto.

Selesai makan siang, sesuai jadwal saya memberi kuliah umum bagi mahasiswa Pascasarjana dan dipandu oleh Prof. Jun Yii Hsieh, direktur International Office.   Karena mahasiswanya berasal dari berbagai jurusan dan saya baru pertama ke University of Taipei, saya menyampaikan gagasan Rekonstruksi Pendidikan Menyongsong Era Cyber.  Tanggapan mahasiswa sangat bagus.  Ketika saya sampaikan bahwa isi perkuliahan dan bahkan penjurusan di universitas sudah tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman, Prof. Jun sangat tertarik.  Beliau minta saya mengajukan gagasan, kemampuan apa yang penting ke depan.  Ujung-ujungnya, beliau minta suatu saat saya datang lagi untuk memberi kuliah.

Diluar pengalaman di atas, ada sesuatu yang lebih menarik, yaitu kuliah di Taiwan sangat murah.  Informasi yang saya terima, di NTUST yang membidangi teknologi uang kuliah jenjang S2 hanya sekitar 23 juta per semester.  Itu sudah termasuk segalanya.  Semua bahan praktikum dapat diperoleh.  Bahkan University of Taipei, menawari gratis uang kuliah untuk jenjang S2.  Jadi wajar, kalau di Taiwan ada sekitar 2.000 mahasiswa dari Indonesia.

Saya penasaran bagaimana bisa begitu murah kuliah di Taiwan?  Rasanya 23 juta untuk S2 bidang Teknologi dengan pengertian semua bahan praktikum tersedia, lebih murah dibanding di Indonesia.   Saya tidak menemukan jawaban mengapa bisa begitu. Jawaban yang saya peroleh standar, karena disubsidi pemerintah.  Bukankah PTN di Indonesia juga disubsidi oleh pemerintah.  Mungkinkah, Taiwan menerapkan prinsip seperti New Zeland untuk jenjang S3.  Mahasiswa diharuskan melakukan penelitian yang merupakan bagian dari proyek riset dosennya.  Dengan begitu, sambil kuliah mahasiswa menjadi asisten riset gratis bagi dosen.

Dari sudut pandang lain dan teringat akan upaya China menghegomoni dunia melalui Confucius Institut, mungkinkah Taiwan sedang menjalankan program menarik simpati dunia melalui kuliah murah tersebut?  Jujur saya tidak tahu.  Jika iya, merupakan bahan pelajaran yang menarik untuk kita, bangsa Indonesia. Semoga.

MENGAPA ANAK KITA JATUH DI PISA?

Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2012 telah diumumkan dan Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari 65 negara yang ikut.  Hanya satu peringkat di atas Peru sebagai juru kunci.  Sementara negara-negara Asia Timur berjaya. Shanghai menduduki peringkat pertama, disusul berturut-turut Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.

Sebenarnya hasil itu tidak terlalu mengagetkan, karena selama ini memang Indonesia selalu berada di peringkat bawah dalam PISA.  Tahun 2009, posisi Indonesia pada peringkat 57 dengan skor Membaca 402, Matematika 371 dan IPA 383.  Tahun 2012 skor tersebut menjadi, Membaca 396, Matematika 375, dan IPA 382.   Jadi perubahannya hanya sedikit.
  
Pertanyaannya mengapa skor PISA anak-anak kita sangat rendah?  Bukankah anak-anak SMP kita (usia yang ikut PISA) sukses dalam UN.  Nilainya juga sangat bagus.  Apakah materi UN berbeda dengan PISA? Apakah kurikulum Indonesia sangat berbeda dengan kurikulum Shanghai, Singapura, Hongkong,  Taiwan dan Korea Selatan.

Sebelum membahas itu, ada baiknya diketahui hasil analisis terhadap UN.  Tahun 2012, Unesa mengkaji hasil UN SMA tahun 2009, 2010 dan 2011.  Simpulannya sangat menarik.  Sebagian besar peserta jeblok pada soal-soal yang termasuk dalam kategori analisis.  Termasuk untuk matapelajaran Bahasa Indonesia.  Hasil itu sejalan dengan kajian terhadap tes masuk PTN yang menyimpulkan bahwa sebagian peserta jatuh pada soal IPA Terpadu, yang memang memerlukan kemampaun analisis cukup tinggi.

Apa hubungannya dengan tes PISA?  Karena PISA menguji kemampuan berpikir analisis dan problem solving.  Kemampuan yang disebut high order thinking (bepikir tingkat tinggi) dan mencakup kemampuan analisis, sintesis, evaluasi dan kreativitas.  Data terhadap hasil PISA, UN maupun tes masuk PTN, konsisten menunjukkan kalau kemampuan berpikir tingkat tinggi anak kita lemah.

Lantas mengapa mereka sukses menempuh UN?  Karena sebagian besar soal-soal UN kita berkisar pada low order thinking (kemampuan berpikir tingkat bawah)  yaitu menghafal, memahami dan menerapkan.  Hanya sebagian kecil yang masuk high order thinking.  Kajian terhadap UN SMA 2009, 2010 dan 2011 tampak sekali mereka sukses pada soal-soal low order thinking tetapi gagal di high order thinking.

Pertanyaan berikut yang menarik mengapa PISA fokus kepada high order thinking sementara UN pada low order thinking?  Tentu hanya perancang PISA dan perancang UN yang dapat menjawabnya.  Namun dapat diduga bahwa perancang PISA menerapkan prinsip pendidikan era teknologi.  Di era ini yang diperlukan adalah kemampuan problem solving secara kreatif dan untuk itu diperlukan kemampuan berpikir analisis, kritis dan kreatif.  Pola kerja mekanistik, walaupun itu rumit dapat dilakukan oleh mesin, sehingga tidak lagi penting.

Sementara kita tampak terperangkap pada pola pikir mekanistik.  Memang soal-soal kita seringkali berupa perhitungan yang rumit dan memerlukan ketelitian tinggi.  Namun itu pekerjaan mekanistik yang dapat dikerjakan oleh komputer.  Sementara hal-hal yang bersifat analisis kreatif belum mendapat perhatian cukup.

Apakah high order thinking dapat diajarkan pada siswa setingkat SMP?  Pertanyaan itu pernah mengganggu saya beberapa tahun lalu.  Bukankah menurut Piaget kemampuan berpikir abstrak baru dimulai ketika anak berusia 13 tahun bahkan 15 tahun?   Ternyata bisa.  Saat berkunjung ke sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan Belanda saya menyaksikan bahwa siswa SD dapat diajari berpikir tingkat tinggi.  Kepada anak SD Kelas 1 ditunjukkan gitar dan biola.  Kepada mereka ditanyakan apa persamaan dan perbedaannya.

Memang sederhana, tetapi anak-anak belajar berpikir analisis dan kritis.  Misalnya persamaan biola dan gitar adalah sama-sama punya senar, sama-sama mengeluarkan suara.  Bedanya jumlah senar gitar berbeda dengan jumlah senar biola.  Gitar lebih besar dibanding biola. Dan sebagainya.

Kepada siswa Kelas 4 dibagikan bacaan cerita dan selembar kertas yang memiliki dua kolom.  Kolom kiri bertuliskan “Saya tidak faham, karena…..”, sedangkan kolom kanan bertuliskan “Saya tidak setuju, karena…”.  Siswa diminta membaca  cerita dan menuliskan bagian mana yang tidak faham dan menyebutkan alasannya.  Siswa juga diminta menyebutkan bagian yang tidak setuju dan menyebutkan alasannya.  Sungguh mengagetkan, ternyata anak Kelas 4 dapat mengerjakan dengan baik.  Tentu isi cerita sesuai dengan usia anak SD Kelas 4.  Jadi kepada siswa SD dapat diajarkan kemampuan high order thinking.

Semoga Kurikulum 2013 memberi penekanan pengembangan high order thinking, karena itulah kemampuan yang diperlukan di masa depan.  Semoga Kurikulum 2013 dapat mengentas kita dari perangkap paradigma bahwa high order thinking baru dapat di SMA.  Semoga UN untuk Kurikulum 2013 memberi porsi cukup untuk high order thinking, sehingga hasilnya parallel dengan PISA yang telah menjadi acuan internasional.  Dengan begitu peringkat kita pada PISA tidak lagi berada pada nomor buncit.