Senin, 28 April 2014

PENELITIAN UNTUK PENGEMBANAN PENDIDIKAN KARAKTER

Disampaikan pada Seminar Nasional dan Gelar Penelitian Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Negeri Yogyakarta Ke-50, Tanggal 21-22 April 2014

Pendahuluan

Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, pada Konggres Taman Siswa Pertama Tahun 1930 menyatakan dengan jelas bahwa pendidikan adalah daya upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.  Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup mereka (Dewantara, 2004: hal 14-15).

Jadi menurut Ki Hajar Dewantara karakter (juga disebut dengan budi pekerti, akhlaq) merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan.  Pemikiran tersebut sangat dekat dengan konsep Bloom yang mengataskan pendidikan pada dasarnya mengembangkan tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (1984).  Namun Ki Hajar Dewantara memberi catatan penting yang tidak disebut oleh Bloom, yaitu bahwa ketiga ranah tersebut harus dikembangkan secara seimbang dan terintegrasi.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Kalau kita cermati delapan aspek atau komponen yang ingin dicapai dalam pendidikan nasional itu, minimal empat diantaranya lebih dekat denga karakter.

Kalau kita menelaah sejarah pendidikan di awal peradaban, pendidikan itu dilakukan di padepokan, di pesantren atau tempat lain semacam itu dan pendidikan karakter merupakan tujuan utama.  Pendidikan pada masa itu lebih menekankan kepada “bekal hidup” atau “ilmu kehidupan” yang menekankan kepada budi pekerti dan hal-hal yang terkait dengan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta, hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam.   Dalam dunia pewayangan biasanya digambarkan sebagai wejangan sang begawan kepada ksatria yang sedang berguru kepadanya.  Wejangan seperti itu lebih banyak berisi nilai-nilai kehidupan.  Dan tentu saja “olah kanuragan” yang dalam dunia pewayangan merupakan salah satu modal berperang membela kebenaran atau menghadapi musuh (Samani, 2013).

Dari uraian diatas dengan jelas terlihat bahwa seharusnya pendidikan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan. Telaah historis, telaah filosofis dan telaag yuridis menunjukan dukungan kuat terhadap pemikiran tersebut.  Oleh karena itu ketika pada tahun 2009 pemerintah menggemakan pendidikan karakter, sebenarnya yang terjadi adalah pengarusutamaan (mainstreaming) sesuatu yang selama itu agak terlupakan.  Gerakan pendidikan karakter bukanlah pemunculan konsep atau pemikiran baru dalam pendidikan, namun merupakan koreksi atau pelurusan terhadap pelaksanaan pendidikan yang dirasa tidak cocok dengan konsep dasar pendidikan Indonesia.


Pengalaman sebagai Guru Paling Baik.

Jika secara historis, filosofis dan yuridis kita mengakui pentingnya aspek karakter dalam pendidikan dan ternyata itu agak terlupakan sehingga harus digemakan kembali. Oleh karena itu kita harus mengkaji mengapa dimasa lalu hal itu terpinggirkan.  Kajian itu sangat penting untuk menemukan jawaban mengapa terpinggirkan sekaligus menemukan solusi agar ketika digemakan tidak mengalami nasib yang sama dengan sebelumnya.

Kita punya pengalaman melaksanakan pendidikan karakter, atau paling tidak dekat dengan karakter, yaitu Pendidian Budi Pekerti di sekolah dan Penataran P4.  Di masa lalu, dalam rapor siswa SD tercantum sejenis matapelajaran Budi Pekerti.  Disebut matapelajaran karena dicantumkan sederet dengan matapelajaran, misalnya Bahasa Indonesia, Matematika dan sebagainya.  “Matapelajaran” Budi Pekerti itu juga diberikan skor penilaian (angka) seperti matapelajaran lainnya.

DI jenjang SMP dan SMA/SMK istilah tersebut berubah menjadi Kelakuan, Kerajinan dan Kebersihan, yang juga dicantumkan sederet dengan matapelajaran lain, dengan diberi judul Kelompok Lain-lain.  Kelakukan, Kerajinan dan Kebersihan juga diberi skor penilaian, namun tidak berupa angka melainkan Baik/Sedang/Kurang.

Masih perlu diteliti bagaimana praktek pembelajaran “matapelajaran” Budi Pekerti dan “matapelajaran” Kelakuan, Kerajinan dan Kebersihan.  Bagaimana dampaknya terhadap perilaku siswa setelah mereka lulus dan terjun di masyarakat.  Orang-orang yang saat ini berusia 50 tahun ke atas adalah hasil pendidikan dengan pola tersebut.  Kita harus jujur mengatakan perilaku masyarakat kita ternyata belum bagus, walaupun dahulu mendapatkan  matapelajaran Budi Pekerti di SD dan pelajaran Kelakuan, Kerajinan dan kebersihan di SMP dan SMA/SMK. 

Juga perlu diteliti kapan “matapelajaran” Budi Pekerti tersebut dihapus.  Akhir-akhir ini ada perdebatan antara dua pandangan.  Satu pihak ingin mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, pihak lain mengatakan tidak perlu karena sudah masuk terintegrasi kedalam matapelajaran Agama, PPKn dan BK.  Kita perlu menemukan apakah ada perbedaan karakter lulusan, antara yang menggunakan kurikulum dengan “matapelajaran” Budi Pekerti dan yang diganti dengan Kelakuan, Kerajian dan Kebersihan.  Jika ternyata keduanya tidak berbeda, sebenarnya kita tidak perlu mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti, toh hasilnya sama saja.  Demikian pula jika lulusan yang menggunakan kurikulum baru lebih baik.  Sebaliknya jika lulusan dengan menggunakan “matapelajaran” Budi Pekerti lebih baik karakternya, ada baiknya mengembalikan “matapelajaran” Budi Pekerti.

Jika diasumsikan penghilangan matapelajaran “Budi Pekerti” karena substansinya sudah dimasukkan ke matapelajaran Agama, PPKn dan Bimbingan Konseling, maka juga dilakukan kajian apa isi matapelajaran tersebut, bagaimana pelaksanaan di sekolah dan juga bagaimana mengevaluasi ketercapaiannya.   Bukankah banyak masyarakat yang mengeluhkan perilaku anak muda (termasuk siswa/mahasiswa) yang tentunya produk dari kurikulum yang sekarang ini berlaku.

Pengalaman kurang menyenangkan kedua  pendidikan karakter di masa lalu adalah Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)  di era Orde Baru.   Di era itu setiap pejabat, profesi bahkan siswa dan mahasiswa diwajibkan mengikuti Penataran P4, tetapi dampaknya tidak begitu terasa.  Jika semua siswa/mahasiswa/karyawan baru/pejabat di berbagai level harus mengikuti Penataran P4, maka dapat diduga semua pejabat dan tokoh penting saat ini pernah mengikuti Penataran P4.  Dengan kata lain, semestinya mereka dipengaruhi oleh hasil Penataran P4.

Jika demikian perlu dikaji secara mendalam apa isi Penataran P4, bagaimana metoda yang diterapkan dan mengapa pejabat dan tokoh penting yang pernah mengikuti, banyak dari mereka yang perilakunya dikeluhkan oleh masyarakat.  Apakah kontribusi Penataran P4 yang tidak signifikan atau ada faktor lain yang lebih dominan dalam memperngaruhi perilaku mereka.

Sebagai catatan, penelitian terhadap “matapelajaran” Budi Pekerti, Penataran P4 dan efektivitas matapelajaran Agama, PPKn dan BK dalam membangun karakter, harus memperhatikan faktor lain di luar sekolah yang juga berpengaruh kuat terhadap perilaku siswa/mahasiswa/masyarakat.  Sebagaimana dikeluhkan oleh guru-guru, banyak kejadian di luar sekolah membuat siswa/mahasiswa tidak mematuhi prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan di sekolah.  Tayangan televisi, berita di koran, perilaku tokoh tidak kalah kuat pengaruhnya dibanding pelajaran di sekolah.

Pola penilaian pendidikan di sekolah dan universitas juga perlu dikaji.  Sebagaimana difahami biasanya teaching for the test terjadi di sekolah dan universitas.  Artinya guru dan dosen cenderung mengajarkan apa-apa yang nanti akan diuji di akhir semester dan diakhir pendidikan.  Sebagai contoh, guru cenderung mengajar materi yang di-UN-kan, karena prestasi guru banyak diukur dengan nilai UN siswanya.  Jika karakter tidak diukur dan tidak mendapat perhatian dalam penentuan kenaikan kelas atau kelulusan, biasanya guru dan dosen tidak terdorong untuk mengajarkannya. 



Apa Nilai-nilai Karakter Utama Kita?

Jika kita ingin menumbuhkan karakter, maka langkah pertama adalah memastikan apa nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan.  Setelah dipastikan, setiap nilai perlu didefinisikan atau diberi penjelasan agar semua pihak memiliki pengertian yang sama, minimal tidak jauh berbeda.  Akan lebih baik jika diberi contoh penerapan dalam kehidupan keseharian, sehingga masyarakat mudah memahaminya,

Dari dokumen rapor, kita pernah punya pengalaman memiliki tiga nilai utama, yaitu kelakukan, kerajinan dan kebersihan.  P4 memiliki butir sebanya 36 buah yang dijabarkan dari 5 sila Pancasila.  Diskusi panjang di Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 mengusulkan empat karakter dasar yang perlu mendapat penekanan, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli (Depdiknas, 2010-a). 

Dari negara lain, Character First (www.characterfirst.com/abuotus/qualitis) mengajukan 49 aspek karakter, yaitu alertness, attentiveness, availability, benevolence, boldness, cautiousness, compassion, contentment, creativity, decisiveness, deference, dependability, determination, diligence, discernment, discretion, endurance, enthusiasm, faith, flexibility, forgiveness, generosity, gentleness, gratefulness, honor, hospitality, humanity, initiative, joyfulness, justice, loyalty, meekness, obedience, orderliness, patience, persuasiveness, punctuality, resourcefulness,  responsibility, security, self-control, sensitivity, thoroughness, thriftiness, tolerance, truthfulness, virtue, wisdom

Sementara itu, Amerika Serikat  hanya mengambil dua nilai-nilai karakter, yaitu respect dan responsibility (Linckona, 1991).  Tampaknya dua aspek itu kemudian dijabarkan menjadi bentuk-bentuk perilaku.  Membuang sampah di tempatnya merupakan bentuk jabaran dari tanggung jawab.  Membeli tiket kereta api, walaupu hampir tidak pernah ada pemeriksaan oleh petugas adalah bentuk tanggung jawab. Tidak merokok di tempat umum merupakan bentuk menghargai hak orang lain.  Tidak menerombol suatu antrian adalah bentuk penghargaan orang lain.

Soemarno Soedarsono (2009), seorang purnawirawan jenderal dan dosen Lemhanas menyatakan lima nilai-nilai jatidiri yang penting adalah beriman dan bertakwa serta berbudi pekerti luhur; memiliki pengetahuan dan keterampilan; sehat jasmani dan rohani; memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri; dan memiliki rasa tangung jawab dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

Apakah kita harus menggunakan nilai-nilai karakter yang sama untuk dikembangkan di keluarga maupun lembaga pendidikan?  Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal, baik bersumber dari agama, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya.  Tahun 2011 Balitbang Dikbud bekerjasama dengan Tim Unesa melakukan penelitian Peta Variabel Profil Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas.  Hasilnya sungguh mengejutkan.  Setiap daerah memiliki rujukan untuk mengembangkan pendidikan karakter, berupa legenda/dongeng, kidung/nyanyian, ungkapan-ungkapan kata bijak, lukisan dan simbul-simbul, upacara ritual dan sebagainya.  Rujukan yang berbeda-beda tetapi seringkali mengungkapkan nilai-nilai karakter yang hampir sama (Balibang Dikbud, 2011).

Mirip dengan hasil penelitian Balitbang Dikbud,  Yuni Sri Rahayu dkk (2102) dalam buku Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia, menyajikan berbagai contoh nilai-nilai karakter di berbagai daerah/suku/budaya Indonesia.  Dan ternyata nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi sumber moral masyarakat setempat, termasuk di sekolah.

Studi Depdiknas (2010-b) terhadap sekolah/lembaga pendidikan yan sukses mengembangkan pendidikan karakter, menemukan bahwa nilai-nilai karakter yang dikembangkan tidak sama tepat.  Rujukannya juga berbeda-beda.  Ada dari nilai-nilai agama, ada pula yang dari filosofi kehidupan, dan ada pula yang merujuk kepada Pancasila.  Yudi Latif (2014) juga menulis buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.  Buku itu menggambarkan betapa banyak teladan perilaku berkarakter dari orang-orang Indonesia, yang berlainan suku, agama, profesi dan masa kehidupan.

Namun jika kita cermati nilai-nilai karakter yang dikembangkan oleh daerah, sekolah, maupun yang dicontohkan dalam buku Yudi Latif, dengan sumber rujukan yang berbeda-beda, ternyata memiliki kemiripan dalam implementasi di kehidupan keseharian. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat universalitas karakter, yaitu karakter dasar yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat, apapaun agamanya, adat istiadatnya dan dimanapun mereka tinggal.

Oleh karena itu, pada saat Indonesia menggemakan kembali pendidikan karakter, perlu segera diteliti dan dikembangkan nilai-nilai karakter dasar apa yang harus dikembangkan di sekolah dan lembaga pendidikan.  Sebaiknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat.  Nilai-nilai karakter kemudian dapat dijabarkan ke dalam bentuk perilaku keseharian sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat.  Misalnya kita menggunakan empat nilai yang dimuat di Buku Induk Pendidikan Karakter, yaitu jujur, cerdas, tangguh dan peduli, maka setiap  nilai-nilai dasar karakter tersebut dijabarkan menjadi contoh-contoh perilaku yang menggambarkan perwujudannya.

Penelitian tersebut diharapkan dapat menemukan solusi dari perbedaan cara pandang karakter yang selama ini berkembang.  Beberapa ahli berpendapat bahwa pendidikan karakter pada dasarnya terkait “perilaku baik kepada sesama”, misalnya jujur, santun, berempati, tanggung jawab dan sebagainya.  Beberapa ahli lain berpendapat, karakter tidak hanya itu, tetapi juga yang terkait dengan sikap pengembangan diri, misalnya kerja keras, kreatif dan sebagainya.

Penelitian pendidikan karakter sebagainya melibatkan Pusat Studi Pendidikan Karakter atau pusat studi yang dekat dengan itu  di berbagai universitas.  Sebagai penghasil guru, LPTK sebaiknya juga dilibatkan dengan pesan nilai-nilai karakter itu juga dikembangkan di LPTK dan dipesankan agar setelah lulus dan mengajar, nilai-nilai itu dikembangkan di sekolah tempat para lulusan mengajar.


Strategi Implementasi Pendidikan Karakter

Konsep Penataran P4 sebenarnya sangat bagus. P4 memiliki kepanjangan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.  Jadi menurut konsep P4, Pancasila tidak boleh hanya diketahui dan difahami, tetapi harus dihayati sebagai nilai-nilai kehidupan dan diamalkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari.

Konsep itu mirip dengan yang diajukan oleh Lickona (1992) bahwa pendidikan moral harus sampai perbuatan.  Menurut Lickona pendidikan karakter memiliki tiga aspek yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action.  Pendidikan karakter melalui tahap “orang tahu/faham” tentang suatu nilai-nilai  tertentu, selanjutnya “orang merasa wajib” melakukan, dan ujungnya orang tersebut betul-betul melakukan dalam kehidupan sehari-hari.  Lickona mengatakan bahwa pendidikan karakter harus sampai pada bentuk moral action, yaitu orang betaul-betul melaksanakan apa yang diketahui dan apa yang diyakini.

Istilah penghayatan dalam P4 tampaknya sangat mirip dengan moral feeling dalam konsep Linckona, yaitu bukan sekedar tahu dan faham, tetapi sampai pada rasa keharusan untuk melakukan karakter yang telah diyakini.  Istilah pengalaman pada P4 sangat mirip dengan istilah moral action dalam konsep Lickona, yaitu sampai melaksanakan karakter yang diyakini.

Konsep P4 dan Lickono tersebut sangat bagus, sekaligus mengandung beberapa konskwesi dalam proses pembelajaran pendidikan karakter.  Pertama, jika harus sampai pengalaman maka proses pembelajaran dan pengukuan hasil belajar harus juga sampai pengalaman.  Artinya harus diciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan bahkan mendorong siswa mengamalkan nilai-nilai karakter.  Jika nilai kejujuran yang sedang dikembangkan, maka situasi belajar harus menjadi wahana siswa membuktikan dirinya jujur.  Jika nilai-nilai tangguh yang dikembangkan, situasi belajar yang menjadi wahana siswa menunjukkan bahwa dirinya tanggung dan tidak mudah menyerah.  Jika nilai-nilai peduli yang ingin dikembangkan, maka proses pembelajaran harus memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan perilaku peduli kepada orang lain.

Kedua, karena tujuan pendidikan karakter ujungnya adalah perilaku keseharian, maka itulah yang menjadu bentuk hasil belajar.  Konskwensinya evaluasi hasil belajar juga harus sampai perilaku.  Dengan demikian pola ujian tulis dan lisan tidak cukup untuk menilai hasil belajar pendidikan karakter.  Evaluasi harus disertai bentuk observasi perilaku.  Pengetahuan dapat diui dengan tes tertulis.  Penghayatan (moral feeling) mungkin dapat dievaluasi dengan kuesioner.  Pengamalan (moral action) harus dievaluasi melalui perilaku sehari-hari.

Ketiga, perlu keteladanan.  Ketika diharapkan sampai pada penghayatan, apalagi sampai pengamalan, maka keteladanan menjadi kunci penting.  Seperti kata beberapa pakar, karakter tidak dapat diajarkan tetapi ditularkan.  Ketika siswa (maupun masyarakat umum) melihat pimpinan/tokoh/orang panutan melakukan sesuatu secara ajek, maka akan tumbuh untuk menirunya.  Apalagi jika sebelumnya sudah faham bahwa itu perwujudan nilai-nilai kehidupan, maka akan tumbuh penghayatan, yaitu rasa bahwa itu sesuatu yang baik dan rasa harus melakukannya.

Ke empat, konsistensi dalam waktu cukup lama.  Untuk menumbuhkan penghayatan sebagaimana disebutkan pada butir ketiga, ternyata memerlukan waktu lama.  Artinya para tokoh/penutan harus secara konsisten dan cukup lama melakukan perbuatan yang akan ditiru oleh siswa.  Ketika konsistenan tokoh panutan akan menjadi boomerang bagi pendidikan karakter.  Konon, kegagalan Penataran P4 bersumber pada hal ini.  Peserta Penataran P4 dihadapkan pada kenyatanaan tokoh-tokoh dibalik penataran tersebut tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara konsisten.

Kelima, budaya sekolah menjadi kunci terpenting.  Ada kelakar, orang Indonesia kalau di Singapura juga dapat antree dengan tertib.  Warga Surabaya ketika berkunjung ke Tunjungan Plaza (mall bersar) juga tidak membuang sampah sembarangan.  Mengapa?  Karena situasi setempat membuat orang berbuat seperti itu.  Jika sekolah memiliki budaya bersih, tertib, santun, maka siswa pelan-pelan akan terdorong untuk menyesuaikan diri dan secara bertahap akan menjadi kebiasaan hidupnya.

Proses pembiasaan dan pemberian teladan yang paling efektif dapat menjadi topik penelitian yang sangat menarik.  Diperlukan penelitian pengembangan untuk menemukan pola keteladanan dan model budaya sekolah yang dengan cepat tetapi juga permanen dalam membangun sikap hidup siswa.  Sikap yang bersumber dari keyakina hati bahwa itu harus dilakukan, sebagai bentuk tanggung jawab kehidupan.

Meminjam istilah Al Gazali (Samani, 2011) dalam setiap aktivitas manusia, hati ibarat raja yang menentukan “apa yang yang harus dikerjakan”, otak ibarat perdana menteri yang mengatur “bagaimana itu harus dikerjakan” dan tangan itu ibarat tentara yang “melaksanakan perintah otak”.  Jika metapora Al Gazali tersebut digunakan, akan tampak sekali betapa pentingnya karakter, karena menentukan apa yang dilakukan seseorang.  Dan karakter itu bersumber dari penghayatan (moral feeling) terhadap nilai-nilai yang diyakini.


Penutup

Beberapa pengamat sosial mengatakan bahwa problem pokok yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah moral.  Moral masyarakat dan bangsa yang cenderung seenaknya sendiri, mencari untung dengan jalan pintas dan sebagainya.  Selama moral itu belum dapat diperbaiki, apapaun aturan yang dibuat, seketat apapaun pengawasan yang dilakukan tetap saja bobol.  Mengapa?  Karena banyak orang yang akan mencari cara untuk mengakali aturan dan pengawasan.  Dan celakanya, para pembuat aturan dan pengawas juga ikut melakukannya.

Oleh karena itu pengarusutamaan pendidikan karakter merupakan pilihan bagus pada momen yang tepat.  Namun demikian, agar tidak mengulang kegagalan pendidikan Budi Pekerti dan Penataran P4, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui mengapa dua model pendidikan karakter tersebut tidak sukses dan sekaligus menemukan model yang lebih efektif dan cocok dengan era sekarang.


Daftar Pustaka

Balitbang Dikbud. 2011. Peta Variabel Profil Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas:   Laporan Penelitian bersama Universitas Negeri Surabaya.   Jakarta: Balibang Dikbud.
Bloom, Benyamin S. 1984. Taxonomy of Educational Objectives. Boston, MA: Allyn and Bacon.
Depdiknas. 2010-a. Grand Design Pendidikan Karakter.  Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2010-b. Pengalaman Inspirarif dari 10 Sekolah. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional.
Dewantara, Ki Hajar. 2004.  Karya K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Latif, Yudi. 2014. Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Bandung: Penerbit Mizan.
Lickona, Thomas. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.  New York: Bantam Books.
Rahayu, Yuni S. dkk. 2012.  Jejang Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia.  Surabaya: Unesa University Press.
Samani, Muchlas dan Haryanto. 2011. Pendidikan Karakter: Konsep dan Model. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Samani, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter: Pilar Utama Kurikulum 2013.  Makalah disampaikan pada Rakor dan Evaluasi Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud, Tanggal 17-18 Oktober 2013.

Schulman, Michael and Eva Mekler.  1985. Binging Up A Moral Child:  A New Approach Teaching Your Child to be Kind, Just and Responsible.  Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company Inc.

Minggu, 27 April 2014

FEONEMA LAIN DARI JIS

Mingu-mingu ini kita disuguhi berita tentang peristiwa pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS).  Pada awalnya hanya seorang siswa TK yang mengalami, tetapi kemudian muncul pengakuan lain.  Yang dijadikan tersangka, semua hanya 3 orang petugas kebersihan, tetapi kemudian bertambah menjadi 5 orang.  Media juga memberitakan bahwa JIS pernah memiliki guru yang menjadi buronan FBI karena masalah pedofilia.  Bahkan ada yang menduga Wakil Kepala Sekolah JIS juga terlibat.  Namun yang bersangkutan keburu pulang ke negaranya.

Tulisan ini tidak akan membahas, peristiwa itu tetapi akan mencermati sisi lainnya.  Menurut lama resminya, diketahui kalau JIS merupakan sekolah internasional yang tua, bahkan mungkin tertua di Indonesia.  JIS didirikan tahun 1951 oleh para pekerja PBB dengan nama JES (Joint Embassy School).  JES pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak expatriate (orang asing yang bekerja di Indonesia).  Sepertinya pendirian JES didukung oleh Kedubes Amerika Serikat, Inggris, Australia dan kemudian menyusul Yugoslavia.  Baru pada tahun 1978 namanya berubah menjadi Jakarta International School (JIS).

Saat ini JIS memiliki TK, SD, SMP dan SMA, dengan jumlah siswa sekitar 2.400 orang dengan guru 250 orang.  Dengan bangga lama JIS menyebutkan bahwa siswanya berasal dari 60 warga negara. Tentu ada orang Indonesianya.  Untuk tingkat SMA (High School) JIS memiliki 906 orang siswa, yang terdiri dari 20% dari Amerika Serikat, 18% dari Korea Selatan, 16 % dari Indonesia, lainnya berasal dari 45 negara.  Juga tidak ada informasi pasti berapa siswa SMP, kecuali daya tampung yang disebutkan SMP 600 siswa dan SMA 900 siswa.  Jika totalnya 2400 siswa dapat diduga siswa SD sekitar 900 orang dan TK sekitar 100 orang.

Laman JIS menyebutkan bahwa bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Inggris dan untuk jenjang SMA siswa dapat menembuh IB (International Baccalaureate) Diploma. JIS diakreditasi oleh Council of International School dan Western Association of Schools and Colleges.

Membaca penjelasan di laman tersebut dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, JIS adalah Sekolah Perwakilah Negara Asing, sebagaimana dimaksud oleh pasal 64 UU Sisdiknas.  Mungkin tidak efisien kalau masing-masing mendirikan, akhirnya tiga negara (Amerika Serikat, Inggris dan Australia) mendirikan bareng-bareng dan kemudian Yugoslavia bergabung.   Sangat mungkin pada awalnya siswa JIS (mungkin masih bernama JES) adalah anak-anak WNA.

Kita tidak tahu sejak kapan JIS menerima siswa orang Indonesia.  Mungkin setelah berganti nama dari JES menjadi JIS, jadi sejak tahun 1978.  Karena menerima siswa WNI, maka sangat mungkin JIS berubah status menjadi Lembaga Pendidikan Asing yang menyelenggarakan pedidikan di Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh pasal 65 ayat (1) UU Sisdiknas.

Jika dugaan itu betul, maka JIS seharusnya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia dan mengikutsertakan pendidik dan pengelola WNI (ayat 3).  Disamping itu JIS harus memberikan matapelajaran Agama dan Kewarganegaraan bagi siswa WNI (ayat 2).

Berangkat dari data-data diatas, paling tidak ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan JIS.  Pertama, tampaknya JIS diminati oleh masyarakat kalangan atas.  Dari informasi yang ada, sebagian besar siswa JIS yang WNI adalah anak-anak keluarga kaya dan banyak yang keturan campuran (ayahnya orang asing dan ibunya orang Indonesia atau sebaliknya).   Nama “besar” JIS sepertinya menjadi magnet atau seakan-akan menjadi jaminan mutu pendidikannya.

Sangat mungkin JIS menjadi contoh sekaligus pemicu munculnya sekolah bertaraf internasional lainnya di Indonesia.  Sebagaimana diketahui, sebelum pemerintah memunculkan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah swasta yang menyatakan diri bertaraf internasional.  Umumnya menggunakan kurikulum asing, berbiaya mahal dan siswanya berasal dari keluarga kaya.  Dan sekolah seperti itu memiliki banyak peminat, sehingga muncul di berbagai kota besar.

Kedua, tampaknya pemerintah “kecolongan”.  Walaupun tidak tahu kapan JIS mulai menerima siswa WNI tetapi saya yakin itu sudah lama.  Seingat saya pada akhir tahun 1990an sudah ada anak-anak WNI (biasanya keluarga berada) yang sekolah di JIS.  Dengan demikian, semestinya sejak itu atau sejak terbinta UU Sisdiknas (2003) JIS terkena aturan pasal 65 ayat (2) dan ayat (3).  Namun tampaknya pemerintah belum sempat mengevaluasinya.

Dari laman resmi, tidak tampak kalau pengelolaan JS melibatkan WNI. Kepala Sekolah JIS adalah Timothy Carr, Head of Business Development: Vivien Brelsford, Deputy Head of School:  Stephen Druggan.  Dari nama tersebut, termasuk nama-nama Kepala Sekolah SD, SMP dan SMA tidak tampak nama orang Indonesia.   Laman JIS tidak memuat nama-nama guru, sehingga kita tidak tahu apakah melibatkan guru WNI atau tidak.

Laman JIS tidak memuat kurikulum yang digunakan.  Namun kalau kita perhatian bahwa ada pilihan IB untuk SMA dan akreditasinya mengikuti Council of International School dan Western Association of Schools and Colleges, dapat diduga kalau JIS tidak menggunakan kurikulum nasional Indonesia.  Apakah siswa WNI mendapat pelajaran Agama dan Kewarganegaraan sebagaimana diamanatkan pasay 65 ayat (2) UU Sisdiknas.

Ketika diwawancarai, Kepala Pusat Informasi Kemdikbud juga tidak dapat memastikan dan masih akan mengecek.  Kita belum tahu apakah secara periodik JIS dievaluasi atau tidak.  Terungkapnya TK JIS tidak memiliki ijin semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah kecolongan, paling tidak lupa tidak melakukan evaluasi secara periodik.

Ketiga,  tampaknya negara besar dibalik JIS juga menjadi salah satu faktor.   Laman JIS memang tidak menjelaskan, sebenarnya JIS itu “induknya” dimana.  Kalau mengacu pasal 65 ayat (1) yang boleh menyelenggarakan pendidikan di Indonesia adalah Lembaga Pendidikan yang diakui atau terakreditasi di negaranya.  Semestinya JIS punya lembaga induk yang diakui atau terakreditasi di negaranya. Informasi yang beredar “lembaga induk” JIS ada di Amerika Serikat.  Dan itu diperkuat ketika Dubes Amerika untuk Indonesia ikut memberi komentar tentang kasus JIS.  Nah, karena JIS dari Amerika membuat masyarakat yakin mutunya bagus dan membuat pemerintah juga yakin tidak perlu melakukan pemantauan secara ketat.

Belajar dari itu, mari kita gunakan prinsip “jangan melihat buku dari sampulnya”.  Dapatnya sampulnya bagus tetapi ternyata isinya kurang bagus.  Semoga peristiwa JIS menjadi pelajaran bagi kita semua.

Jumat, 25 April 2014

DEMOKRASI MAKIN DEWASA DI UNESA

Tanggal 23 April 20014 dilaksanakan pemilihan Rektor Unesa periode 2014-2018.  Alhamdulillah berjalan lancar, dengan dihadiri Dr. Patdono Suwignyo, Sekretaris Ditjen Dikti, sebagai kuasa Mendikbud dan Ibu Ani Nurdiani Azizah, SH. MSi, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemdikbud.  Memang ada riak-riak kecil, tetapi menurut saya masih dalam taraf kewajaran.  Apalagi jika diingat sejarah pemilihan rektor empat tahun lalu yang cukup panas.

Meskipun yakin pilihan rektor akan lancar dan aman, secara jujur saya deg-degan sejak pendaftaran calon ditutup dan menghasilkan tiga calon, yaitu Prof Nurhasan, Prof Warsono dan Prof Yatim Riyanto.  Mengapa?  Karena empat tahun lalu, ketika saya ikut kompetisi, konon situasi cukup mencekam.  Bahkan menjelang pemilihan dilaksanakan ada keributan antar kelompok mahasiswa. Saya mengatakan konon, karena sehari-hari saya di Jakarta melaksanakan tugas sebagai Direktur Ketengaan Ditjen Dikti, sehingga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 

Sepertinya sudah menjadi pola, jika ada kelompok elit yang berbeda pendapat, kemudian melibatkan oranh awam yang dapat disuruh-suruh.  Sebagai contoh, jika dalam pilkada dan ada peserta yang tidak puas, kemudian  terjadi demonstrasi yang kadang-kadang anarkhis.  Hal yang sama juga terjadi jika ada perselisihan antara dua kelompok elit.  Sepertinya, sang elit yang tidak puas atau sedang bersengketa, kemudian mendorong atau menggerakkan masyarakat untuk berdemo.  Yang disuruh atau diprovokasi untuk berdemo biasanya masyarakat awam yang kadang-kadang tidak faham apa yang didemokan. 

Di perguruan tinggi (secara umum, tidak hanya di Unesa), mahasiswa adalah bagian sivitas akademika yang paling mudah diprovokasi.  Jadi dapat difahami kalau demonstrasi mahasiswa biasanya diwarnai oleh pemikiran kelompok elit yang sedang berkompetisi atau berbeda pendapat.  Saya tidak mengatakan mereka disuruh, mahasiswa kok disuruh-suruh, tetapi diwarnai pemikirannya.  Artinya, diberi atau mendapat informasi sehingga berpikiran sejalan dengan elit yang sedang berkompetisi atau berbeda pendapat.

Memahami fenomena seperti itu, sejak awal saya mendorong mahasiswa untuk belajar berdemokrasi yang sehat dan matang.  Kompetisi adalah keniscayaan, karena setiap hari kita berkompetisi.  Bahkan kata para ahli, awal pertumbuhan manusia juga melalui proses kompetisi, yaitu ketika ribuan sel sperma berkompetisi mencapai ovum untuk dibuahi (mohon maaf kalau istilahnya keliru). 

Yang penting berkompetisi secara sehat dan bersamaan dengan itu tidak lupa melakukan sinergi dan bekerjasama.  Dalam satu kelompok kerjasamapun harus terjadi kompetisi.  Misalnya ketika sekelompok mahasiswa mengerjakan tugas kelompok, mereka juga berkompetisi untuk mengerjakan tugasnya masing-masing, agar hasilnya paling baik.  Juga berkompetisi dalam bersinergi.  Maksudnya berkompetisi bagaimana menemukan cara bekerjasama yang paling efektif.

Saya juga mendorong mahasiswa untuk belajar berpikir kritis dan konseptual.  Maksudnya agar mahasiswa dapat berpikir jernih dan tidak mudah digiring pemikiran tertentu.  Bukan berari yang menggiring pemikirannya keliru.  Mahasiswa juga tidak boleh begitu saja menolak pemikiran yang disodorkan.  Tetapi mahasiswa harus menelaah dan mengkritisi konsep atau pemikiran yang disodorkan, sebelum menerima atau menolak pemikiran tokoh tertentu.  Sering saya menggunakan kelakar, jangan sampai mahasiswa “menerima atau menolak pemikiran sebelum membaca konsepnya”.  Kita pelajari pemikiran orang lain dengan kritis dan jernih, kemudian kita merumuskan pemikiran sendiri.  Pemikiran kita dapat sama namun juga dapat pula berbeda dengan pemikiran yang sedang kita pelajari.

Orang yang berdemo karena disuruh-suruh, biasanya dilupakan atau dipinggirkan setelah demo selesai dan mendapatkan hasil.  Hasil demonstrasi biasanya dinikmati kalangan elit yang menjadi actor intelektualnya.  Yang rame-rame di lapangan biasanya hanya pelengkap atau bahkan menjadi penonton, ketika semuanya sudah selesai dan berjalan normal.  Cerita itu sering saya sampaikan kepada para aktivis mahasiswa.

Sebelum penjaringan calon rektor dimulai, sebaiknya dirumuskan kriteria untuk rektor 2014-2018.    Jika kriteria sudah dirumuskan dan disepakati, biarlah para dosen berkaca apakah cocok dengan kriteria tersebut.  Jika merasa cocok, silahkan mulai mempersiapkan diri menjadi calon.   Jika kurang cocok sebaiknya menyadari bahkan tidak cocok untuk Rektor Unesa 2014-2018.

Tidak cocok bukan berarti kurang kompeten, tetapi memiliki kompetensi yang berbeda dengan yang diperlukan.  Mungkin yang bersangkutan lebih cocok menjadi dirjen, menteri, gubernur, dekan dan sebagainya.  Tidak cocok untuk Rektor Unesa 2014-2018, tetapi mungkin cocok untuk posisi yang lain dan mungkin lebih tinggi.  Bukankah setiap jabatan memerlukan kompetensi yang berbeda-beda.

Saat diundang disksui oleh BEM UNesa, saya mengajukan tiga kriteria, yaitu (1) standing akademik, (2) integritas, dan (3) kemampuan menjalin kerjasama internasional.  Tentu orang lain boleh memiliki kriteria berbeda dengan yang saya ajukan.  Nah, jika ajuan-ajuan kriteria itu dapat didiskusikan dan disepakati, kriteria itu disodorkan kepada semua pihak untuk bercermin sebelum memutuskan untuk mencalonkan diri.  Juga dapat disodorkan kepada berbagai pihak untuk dijadikan pertimbangan ketika mengikuti proses polling maupun oleh anggota Senat Unesa ketika harus memilih calon rektor.

Namun tampaknya tradisi itu belum terbangun.  Mahasiswa sebenarnya sudah memulai itu dengan serangkaian diskusi.  Namun belum berani merumuskan menjadi ajuan.  Di kalangan dosen justru yang belum tumbuh.  Saya belum mendengar ada diskusi untuk merumuskan kriteria calon rektor.  Mungkin masih memerlukan waktu untuk membiasakan bahwa setiap seleksi memerlukan kriteria. 

Sebenarnya hal itu dapat dianalogikan dengan lomba lukir, lomba nyanyi, lomba tari  dan sebagainya.  Juri lomba-lomba tersebut selalu memegang kriteria penilaian yang biasanya dalam bentuk format yang dibakukan oleh panitia. Mengapa?  Jika tidak ada format penilaian, juri akan melakukan penilaian berdasarkan feeling-nya masing-masing.  Nah, dapat dibayangkan kalau mahasiswa, dosen dan karyawan mengikuti polling tanpa faham kriteria seperti apa hasilnya.  Demikian pula jika anggota senat melakukan pemilihan dengan memahami kriteria calon rektor, seperti apa hasilnya.

Namun saya juga percaya kalau dosen Unesa semakin rasional, sehingga tidak mudah digiring dalam pemikiran tertentu.  Apalagi hampir semua dosen Unesa minimal berpendidikan S2 dan juga sudah banyak yang S3.   Apapun bidang ilmunya, saya yakin seseorang yang berpendidikan S2 apalagi S3, pasti mampu berpikir rasional, kritis dan jernih.  Jika toh masih ada penggiringan dan dosen tidak berani menolak, saya menduga dalam hati mereka  mengatakan “ya” tetapi sebenarnya “tidak setuju”.

Menurut seorang teman yang mendalami ilmu politik, demokrasi akan berjalan baik jika masyarakatnya well educated dan well informed.  Dengan pendidikan yang baik, orang akan dapat berpikir kritis dan jernih, sehingga tidak mudah digiring oleh pemikiran tertentu.  Akhirnya orang dapat memiliki pemikiran dan pilihannya sendiri.  Dengan dimilikinya informasi yang bagus, berarti orang memiliki bahan pertimbangan dalam menganalisis atau memilih.

Masyarakat Unesa, khususnya dosen tentunya termasuk orang-orang yang well educated (berpendidikan baik).  Mahasiswa juga sudah memiliki bekal pendidikan yang memadai dan sedang memperkuat basis ilmu pengetahuannya, sehingga saya yakin mereka telah memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan jernih.  Jadi yang diperlukan adalah tersedianya informasi yang cukup dan mutakhir.  Tantangan Unesa ke depan dan kriteria calon rektor yang cocok memimpin untuk menghadapi situasi tersebut merupakan informasi penting yang harus dimiliki dosen, karyawan dan mahasiswa.

Banyak teman dan mahasiswa yang bertanya diantara tiga calon rektor, mana yang menurut saya paling cocok.  Saya selalu menjawab, sebagai rektor saya harus netral.  Ketiga calon adalah “adik-adik” saya dan semuanya guru besar yang tentu sudah teruji. Oleh karena itu saya tidak pernah hadir ketika diundang pertemuan yang terkait dengan percalonan rektor.  Bukan berarti saya golput.  Saya tetap akan memilih sesuai kriteria yang saya percayai, tetapi saya tidak boleh menggiring orang lain untuk memilih calon tertentu.

Dengan posisi sebagai rektor, sebenarnya saya menghadapi problem yang melekat dalam proses pemilihan rektor mendatang.  Jika yang terpilih calon A, sangat mungkin calon B dan C marah.  Jika yang terpilih calon B, calon A dan C yang marah.  Jika calon C yang terpilih, calon A dan B yang marah.  Mengapa?  Karena yang tidak terpilih menduga, saya mendorong Mendikbud memberikan suaranya kepada calon yang terpilih.  Beberapa teman-teman dekat berkomentar itu risiko jabatan. 

Pemilihan rektor sudah berjalan dengan lancar.  Saya yakin dan tetap berharap semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada.  Dalam demokrasi, kita boleh berbeda pendapat, berdiskusi dan bahkan berdebat.  Namun jika yang berwenang sudah mengambil keputusan, kita harus mengikuti keputusan tersebut.  Kita boleh punya pilihan yang berbeda, namun ketika proses pemilihan sudah berlangsung sesuai ketentuan dan sudah ada calon rektor terpilih, maka kita harus menerima hasil tersebut dengan lapang dada.

Saya mengenal baik Pak Nurhasan dan Pak Yatim, sehingga saya yakin beliau berdua menerima baik hasil pilihan rektor.  Bahkan sebelum pemilihan saya sering melihat para calon berkelakar dan mengatakan, siapapun yang nanti terpilih akan yang lain akan mendukung.  Saya juga yakin para anggota Senat Unesa adalah para guru besar dan dosen terpilih yang selalu berpikir rasional dan dewasa dalam berdemokrasi, sehingga menerima hasil pilihan rektor dengan lapang dada.

Sambutan Pak Patdono menjelang pemberian suara sangat bagus dan cocok untuk direnungkan. Beliau mengatakan, setelah pemilihan dilakukan dan hasilnya diketahui, semua pihak harus dapat menerimanya.   Setelah itu semua pihak harus mendukung siapapun yang terpilih untuk melanjutkan pengembangan Unesa.  Jangan sampai timbul ketegangan dan gangguan yang dapat menyebabkan pengembangan Unesa stagnan apalagi mundur.

Oleh karena itu setelah calon terpilih dilantik, sebaiknya kita semua mendukung dengan membantu menyusun konsep program apa sebaiknya untuk empat tahun mendatang.  Kondisi empat tahun ke depan tentu berbeda dengan empat tahun lalu, sehingga rektor baru memerlukan program baru sebagai kelanjutan program sebelumnya.

Seperti yang sudah sampaikan di berbagai kesempatan, tantangan empat tahun ke depan tidak lebih ringan.  Unesa sudah pasti mendapatkan bantuan IDB sebesar 392 juta dolar atau sekitar 430 milyar rupiah (1 dolar = 11 ribu rp).  Dengan demikian masalah dana untuk membangun tidak lagi menjadi kendala.  Tantangan utama menurut saya adalah pengembangan budaya akademik yang sampai saat ini belum tumbuh dengan baik.  Kedua, kerjasama internasional yang masih harus dipacu, untuk mendukung Unesa “naik kelas”.   Semoga.