Rabu, 23 Juli 2014

ALHAMDULILLAH, DEMOKRASI KITA SEMAKIN DEWASA



Ketika akan mulai Pemilihan Umum saya khawatir kalau-kalau ada kerusuhan.  Paling tidak arak-arakan yang kadang membuat kemacetan dan juga ada peserta yang mengganggu pengguna jalan lainnya.  Seorang teman punya pengalaman mobilnya pesok karena dipukul dengan tongkat kayu oleh peserta kampanye Pileg tahun 2009.  Saya sendiri juga punya pengalaman kena macet akibat arak-arakan, pada hal saya terburu-buru untuk mengikuti suatu acara.
Seorang kawan berpesan agar berhati-hati karena pada Pileg 2014 Partai Penguasa (maksudnya Partai Demokrat) tidak lagi dominan dan karena Pak SBY tidak dapat mencalonkan lagi menjadi presiden, sangat mungkin pertarungan dalam Pileg akan lebih sengit dibanding Pileg 2009.  Sebagai orang yang awam dalam urusan Politik, saya percaya kepada teman tadi.  Oleh karena itu menjelang kampanye dimulai saya sangat berhati-hati.  Saya berusaha tidak lewat di lokasi kampanye dan berusaha sedapat mungkin menghindar dari berpapasan dengan arak-arakan.
Alhamdulillah, ternyata situasi tidak segawat yang saya bayangkan.  Kapanye Pileg 2014 seperti tidak “semeriah” Pilg 2009.  Saya tidak tahu mengapa.  Apa orang sudah jenuh atau bosan.  Apa semangat caleg untuk mengerahkan masa menurun.  Apa “modal” mereka terbatas, sehingga harus berhemat dalam pengerahakan masa.  Jujur saya tidak faham.
Sebahis Pileg selesai, saya berkesempatan ngobrol dengan seorang teman yang faham akan persoalan politil.  Dia bercerita, dalam Pileg yang sengit itu justru persaingan di dalam partai.  Dan bukan antar partai.  Mengapa?  Karena sebenarnya setiap partai sudah tahu ceruk suara masing-masing.  Nah dalam daerah itu, antara caleg dalam satu partai yang justru bersaing.  Akibatnya kampanye tidak terlalu meriah karena hanya disokong oleh individu caleg.  Antar caleg dalam satu partai mengadakan kampanye masing-masing, sehingga tidak terlalu ramai.
Konon juga banyak caleg yang berpikir efisiensi.  Lebih efisien mana kampanye dengan mengerahkan masa di lapangan atau arak-arakan dengan menggunakan dana itu untuk membantu konstituennya.  Bahasa jasarnya mana yang lebih efisien kampanye besar-besaran atau melakukan serangan fajar, serangan siang dan sebagainya.  Dan konon serangan fajar justru lebih efisien.  Saya juga tidak faham, benar tidaknya.  Mungkin justru pembacara lebih tahu.  Namun yang jelas, saya senang karena Pileg berjalan dengan lancar dan aman.
Setelah Pileg selesai dan mulai masuk tahapan Pilpres, saya bertemu dengan kawan dari Bidang Keamanan dengan pangkat yang cukup tinggi.  Beliau bercerita Pilpres nanti akan lebih ramai dibanding Pileg.  Konon dalam Pilpres masing-masing pihak akan berjuang mati-matian.  Dan karena kedua pasangan calon adalah baru (bukan incumbent) dan kebetulan seimbang, maka pertarungan akan sengit.
Saya bertanya, apa bedanya dengan Pileg?  Bukankah dalam Pilpres malah hanya dua pasangan yang akan berkompetisi?  Beliau menjelaskan, dalam Pileg yang bertarung bukan masing-masing caleg secara individual, tetapi dua kelompok yang masing-masing punya masa besar.  Kedua-duanya punya modal besar dan kedua-duanya sangat yakin akan menang.
Mendengar penjelasan teman tadi saya menjadi agak faham dan oleh karena itu lebih hati-hati.  Namun setelah masa kampanye Pilpres berjalan, saya menjadi bertanya-tanya.  Kok tidak semeriah yang saya bayangkan dan seperti yang saya tangkap dari cerita teman tadi.  Spanduk juga tidak terlalu banyak dan bahkan lebih banyak saat Pileg.
Tetapi ada suatu fenomena yang menarik sekaligus membuat saya kawatir, yaitu kedua pihak membuat deklarasi menang.  Saya jadi kawatir lagi, jangan-jangan kalau ternyata kalah dan tentu nanti ada yang kalah, terus terjadi kekrisuhan.  Apalagi, konon di tingkat elit komunikasi dapat mudah dijalin, tetapi masa akar rumput dapat saja beringas.
Ketika pengumuman Pilpres dilakukan, alhamdulillah keadaan aman.  Waktu itu saya pulanh dari acara di Senayan dan pulang ke Surabaya.  Pengamatan saya situasi jalan-jalan aman dan tidak ada fenomena yang mencolok.  Memang di dekat rumah saya, kantir KPU Jawa Timur ada penjagaan aparat keamanan dan juga ada kendaraan aparat keamanan.  Tetapi situasi di sekitarnya sepi, tidak ada tanda-tanda aktivitas masa.  Dan Alhamdulillah, sampai saat artikel ini ditulis saya tidak menangkap gejala-gejala akan terjadi kekisruhan.
Semoga ini menjadi indikator bahwa demokrasi kita semaki dewasa.  Kita boleh berkompetisi dan setiap Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilkada atau pemilihan apa saja.  Namun bekompetisi secara sehat dan ketika sudah ada yang dinyatakan memang, semua pihak dengan lapangan dada menerimanya.  Saya sangat setuju dengan ungkapan, bahwa kalah dalam kompetisi itu juga bermartabat.  Mengakui kekalahan itu juga terhormat.  Yang kalah dan menerima kekalahan dengan lapang dada itu justru sudah membuktikan darma baktinya kepada negara.  Yaitu melalui keikutsertaan dalam Pilpres/Pileg/Pilgub/Pilkada dan lainnya.  Sementara yang menang masih harus membuktikan janji-janjinya selama kampanye dan janjinya untuk mengemban amanah sebagai pemimpin.  Semoga. 

SARAN UNTUK HAFIZ KECIL MUSA



Saya beberapa kali menyaksikan Hafiz kecil Musa dan kawan-kawannya dalam acara televisi.  Namun baru hari ini membaca bagaimana dia belajar menghafal Al Qur’an, perilaku keseharian, dan harapan dia maupun orangtuanya.  Jawa Pos 21 Juli memuatnya secara cukup lengkap.  Ternyata dia mulai menghafal Al Qur’an mulau usia 2 tahun dan pada usia 4 tahun sudah dapat membaca Al Qur’an.  Juni lalu dia menuntas hafalannya.  Surat terakhir yang dihafalkan adalah Al Isra’ dan An Nahl.   Orangtuanya sendiri yang membimbingnya.  Sungguh luar biasa.

Walaupun sudah hafiz di usia belum genap 6 tahun, keseharian musa ternyata tidak jauh berbeda dengan teman seusianya.  Dia juga senang bermain dan bercita-cita menjadi pilot.  Sang orantua membebaskan akan berprofesi apa besuk.  Hanya saja untuk menjaga hafalannya, sang orangtua merencanakan Musa ikut homeschooling.

Saya bukan psikolog sehingga tidak faham karaterstik psikologi anak seperti Musa.  Namun saya menduga Musa adalah anak cerdas dan sangat mungkin punya IQ diatas rata-rata.   Sebagai orang yang lama mengajar, saya berpikir anak dengan IQ rata-rata akan sangat sulit menghafal 30 juz Al Qur’an.  Apalagi itu diselesaikan ketika berusia belum genap 6 tahun.

Saya teringat diskusi saya dengan Prof Imam Suprayoga manta rektor UIN Malang.  Beliau bercerita beberapa lulusan terbaiknya hafal Al Qur’an, pada hal mereka dari program studi “umum”, ada yang dari Fisika, Ekonomi, Teknik dan sebagainya.  Yang menarik mereka itu lulus dengan predikat cum laude.  Jadi kata kuncinya adalah mereka itu mahasiswa cerdas dan pekerja keras. Sehingga hasil belajarnya optimal, baik dari prestasi keilmuan pada bidangnya (cum laude) dan dalam bidang keagamaan (hafiz).

Jika kita percaya kalau Musa adalah anak cerdas, sangat mungkin akan berprestasi baik ketika sekolah dan bukan tidak mungkin akan berprestasi cemerlang dalam kariernya.  Terkait dengan itu, ijinkan saya mengajuan saran.  Pertama, rencana Sang Ayah untuk memasukkan Musa dalam home schooling dengan alasan untuk menjaga hafalannya perlu dipertimbangkan kembali.   Pengalaman di UIN Malang menunjukkan bahwa belajar “ilmu umum” tidak menyebabkan mahasiswa lupa belajar agama.  Di beberapa kampus umum (non IAIN/UIN) semangat mahasiswa belajar agama juga cukup tinggi.

Di samping punya kelebihan, home schooling juga punya kekurangan, yaitu sedikitnya kesempatan anak yang bersosialisasi dengan kawan-kawan di luar keluarga atau tetangga.  Pada hal bergaul dengan teman yang heterogen akan menjadi pengalaman hidup dan bekal hidup yang penting bagi anak-anak.  Bukankah pada saat dewasa, Musa juga akan bergaul dengan banyak orang yang sangat mungkin heterogen karateristiknya.

Memang saat ini mucul bentuk home schooling yang dilakukan oleh lembaga tertentu.  Namun menurut saya, lembaga seperti itu bukan lagi home schooling dalam konsep yang sebenarnya.  Tetapi hanya “cara” menghindari pendidikan formal dan akhirnya mirip seperti kursus.

Kedua, saya sangat gembira membaca bahwa Sang Ayah membebaskan Musa untuk akan menjadi apa atau berprofesi apa setelah dewasa.   Sangat bijaksana, karena anak harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.  Bahkan menurut Jawa Pos, Musa ingin menjadi pilot.  Nah, karena ingin menjadi pilot sebaiknya Musa juga mendapatkan pendidikan yang cocok untuk masuk pendidikan pilot.

Namun karena cita-cita anak biasanya berubah-ubah, ada baiknya orang tua Musa mencermati kesenangan Musa atau jika perlu membawa ke psikolog untuk mendapatkan gambaran, profesi apa yang sesuai dengan bakat dan minat Musa.   Hal itu sangat bagus agar Musa tidak keliru memilih jalur pendidikan.

Ketiga, sangat baik kalau setelah dewasa Musa tidak menjadi ustad atau guru Agama Islam.  Mengapa?  Kalau Musa menjadi ustad atau guru Agama Islam tentu bagus, karena telah hafal AL Qur’an.  Bahkan mungkin akan menjadi ustad atau guru Agama Islam yang tersohor.  Namun, seandainya Musa besuk menjadi Bupati/Walikota atau Gubernur atau Kapolda atau Pangdam atau CEO perusahaan besar atau menjadi pengusaha besar, mungkin dampaknya kepada masyarakat jauh lebih besar.  Saya membayangkan kalau ada Walikota yang hafal Al Qur’an, tetapi setiap kebijakan yang diambil akan diwarnai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur’an.  Tentu dia tidak mudah tergelincir pada tindakan yang negatif, karena teringat akan nilai-nilai dalam Al Qur’an.   Demikian pula jika yang bersangkutan menjadi pejabat pengambil kebijakan penting dalam berbangsa dan bernegara.  Semoga.

Minggu, 13 Juli 2014

HAK SAYA DAN HAK ORANG LAIN



Tanggal 13 Juli 2014 saya ke Jakarta mengikuti rapat SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Hotel Sari Pasific Jl. Thamrin Jakarta Pusat.  Saya dari Surabaya naik Garuda pukul 11.10 dan tiba di bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.30.  Karena hari Minggu tampaknya bandara tidak terlalu sibuk, sehingg begitu keluar bandara langsung dapat taksi Express.  Namun baru sampai di Hotel Sari Pasific pada pukul 14.35.  Jadi bandara Soekarno Hatta-jalan Thamrin ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam.

Apa waktu tempuh tersebut sangat lama?  Sebenarnya tidak, karena biasanya memang sekitar 1,5 jam.  Hanya saja ada pengalaman yang ingin dibagi, yaitu situasi perjalanan.  Perjalanan dari bandara sampai bundaran Semanggi lancar, tetapi begitu masuk jalan Sudirman langsung macet.  Saya dan pak sopir bertanya-tanya, ada apa ya?  Taksi sampai di Semanggi sekitar pukul 13.15, berarti baru saja selesai Car Free Day.  Harinya juga Minggu sehingga biasanya tidak macet.  Apa karena hujan?  Toh hujan tidak deras dan hanya rintik-rintik.

Sekitar pukul 14.20 taksi baru sampai di bunderan Hotel Indonesia yang ternyata ada demonstrasi mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza.  Saya kurang faham siapa atau organisasi apa yang melakukan demonstrasi.  Perjalanan taksi dari bundaran Semanggi sampai bundaran Hotel Indonesia 1 jam 5 menit.  Bukan main, karena jaraknya paling hanya 1,5 KM.

Sampai di hotel saya merenungkan demonstrasi di bunderan Hotel Indonesia.   Tentang substansi demonstrasi saya setuju, karena ingin menginformasikan kepada publik tentang peristiwa Gaza, sekaligus ingin membangun solidaritas untuk membantu masyarakat Gaza yang sedang menderita.  Memang sudah sewajarnya kita menyuarakan kepedulian dan berupaya ikut membantu korban Gaza.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah memang caranya harus melalui demonstrasi yang membuat jalan macet.  Saya mencoba menghitung secara kasar, berapa buah mobil yang terjebak macet. Jika panjang jalan antara Semanggi-bundara Hotel Indonesia sekitar 15.000 meter (1,5 KM) dan setiap mobil dalam keadaan macet berjarak 2 m plus panjang mobil 3 m, berarti sepanjang 15.000 meter terdapat 3.000 deretan mobil.  Karena terdapat 4 lajur, berarti ada 12.000 buah mobil yang secara bersama-sama terjebak macet.  Jika kemacetan terjadi selama 3 jam dan setiap mobil menempuh jalan tersebut dalam waktu 1 jam berarti di jalur Semanggi-Hotel Indonesia terdapat 36.000 buah mobil.

Tentu ada jalur berlawanan, yaitu dari tugu Monas kea rah Hotel Indonesia yang juga terkena macet.  Anggap saja jumlahnya sama, berarti ada 72.000 buah mobil yang terjebak macet.  Jika itu ditambah denga mobil dari arah Timur, yaitu dari Jl. Imam Bonjol dan dari arah Tanah Abang, jumlah mobil yang terjebak macet dapat mencapat 100.000 buah.
Kalau selama macet setiap mobil menghabiskan bensin 1 liter, berarti kemacetan di sekitar Hotel Indonesia pada tanggal 13 Juli 2014 menghabis bensin 100.000 liter.  Jika harga premium dianggap Rp 6.500,- berarti selama demosntrasi tersebut terhamburkan Rp 650.000.000,- atau 650 juta rupiah.  Itu belum termasuk kerugian potensial akibat ribuan orang yang terlambat mengikuti suatu acara.  Kerugian yang sangat besar yang mungkin tidak terpikirkan oleh mereka yang melaksanakan demonstrasi.

Mungkin para demonstran mengatakan “adalah hak saya untuk menyampaikan pendapat, toh tujuannya baik”.  Namun mereka lupa bahwa “orang lain juga punya hak untuk tidak terganggu oleh implementasi hak kita”.  Masyarakat punya hak untuk melewati jalan umum dan tidak diganggu oleh demosntrasi.  Masyarakat luas juga punya hak untuk tidak dirugikan 650 juta rupiah akibat bensin yang terbuang karena adanya mobil yang kena macet.

Seandainya dana 650 juta tersebut disumbangkan ke saudara kita yang sedang menderita di Jalur Gaza rasanya jauh lebih bermanfaat.  Apalagi jika ditambah dengan kerugian potensial mereka yang terpaksa terlambat mengikuti acara.  Saya menduga orang lebih senang menyumbang ketika aktvitasnya tidak terganggu disbanding dimintai sumbangan ketika mereka kena macet akibat demonstrasi.  Apakah tidak ada cara lain untuk menggalang solidaritas Gaza selain demonstrasi yang membuat kemacetan?  Besar mana manfaat dan mudarat dari demonstrasi seperti itu?  Rasanya kita perlu memikirkan. 

Saya jadi teringat oleh ungkapan almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid), bahwa perilaku kita di jalanan menunjukkan tingkat budaya kita. Ketika di jalan, kita merasa sebagai orang yang paling penting untuk minta prioritas dan minta orang lain mengalah.  Pejabat menggunakan fore reader untuk menyibak jalan agar perjalanannya lancer.  Mereka yang kaya juga dapat menyewa fore reader saat punya hajat, misalnya pernikahan.  Oknum sopir truk dan bus seringkali menggunakan jalan seenaknya, toh kendaraan kecil tidak akan melawan.  Mereka yang naik motor banyak yang menyelinap dan memotong kendaraan lain, karena ingin cepat sampai.  Pengguna angkutan umum juga berhenti di segala tempat karena tidak mau berjalan jauh. 

Beberapa hari lalu, Oki Asokawati yang menjadi tamu acara Tafsir Al Mishbah bersama Prof Quraish Shihab menanyakan kebiasaan sebagian peserta Majelis Taklim yang membuang sampah sembarangan, pada hal sudah tahu kebersihan sebagian dari iman.  Pak Quraish Shibab menjelaskan, itulah orang yang cara beragamanya baru sampai di pikiran tetapi belum sampai di hati.  Sampai pemahaman tetapi belum sampai dorongan untuk melaksanakan.  Mungkin kalau menggunakan istilah Thomas Lickona dalam bukunya Educating Character, orang seperti itu baru sampai tahap moral knowing belum sampai moral feeling apalagi moral action.  Mungkinkah para keadaan para demonstran seperti yang disinyalir oleh Pak Quraish Shihab dan Lickona?  Semoga tidak.  Semoga hanya karena mereka terdorong keinginan untuk menunjukkan eksistensi sebagai pembela keadilan, sehingga lupa mengganggu hak orang lain.  Semoga.