Minggu, 26 April 2015

BERPIKIR KRITIS BEDA DENGAN BERPIKIR NEGATIF



Suatu saat saat saya pernah terlibat diskusi dengan beberapa aktivis mahasiswa.  Saat itu sedang hangat gagasan untuk merapikan kantin di kampus.  Saya menjelaskan kantin di kampus itu tidak menyewa, tidak membayar air dan tidak membayar listrik.  Jadi semuanya ditanggung oleh Unesa. Jadi kantin tersebut sebenarnya disubsidi oleh Unesa.   Jadi mahasiswa yang tidak ikut makan di kantin ikut menyubsidi kantin itu. Di samping itu beberapa kantin juga tidak rapi dan tidak bersih.
Terjadilah diskusi hangat.  Wajar saja setiap orang kan punya pikiran yang tidak tepat sama, sehingga tentu ada perbedaan cara memancang suatu gagasan.  Yang mengagetkan, beberapa minggu berikutnya ada demo yang intinya tidak setuju dengan gagasan menertibkan kantin di kampus.  Nah, ketika diundang diajak diskusi muncul pernyataan “kita harus berpikir kritis dan menolak kebijakan penutupan kantin di fakultas”.
Kejadian seperti itu ternyata sering terjadi.  Kesan saya berpikir kritis itu harus tidak setuju atau berseberangan dengan pemikiran atau kebijakan yang sedang berjalan.  Bahkan ada kesan mengkritisi suatu pemikiran atau kebijakan itu artinya mencari kekeliruan atau mencari kesalahan.  Jadi orang kritis selalu tidak setuju dengan pemikiran yang ada dan tidak setuju dengan kebijakan yang ada.  Apa memang begitu?
Secara teoritik berpikir kritis haruslah reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to beleive or no.  Ada yang mendefisikan critical thinking is mode of thinking about any subject, content problem-in which the thinker improves the quality of his or her  thinking by skillfully taking change of the structure inherent in thinking and impossing intellectual standard upon them.  Jadi berpikir kritis itu tidak harus menolak pemikiran yang sedang berkembang.  Berpikir kritis tidak harus menjadikan seseorang “no man” yang selalu menyatakan tidak setuju.
Bahwa berpikir kritis itu tidak begitu saja percaya dengan pemikiran yang ada atau kebijakan yang ada sangat betul.  Berangkat dari ketidakpercayaan itu kemudian melakukan analisis, mencari data/pemikiran pembanding, sehingga akhirnya dapat memutuskan apakah menyetujui atau tidak menyetujui terhadap pemikiran atau kebijakan yang sedang ditelaah.
Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir kritis meliput enam tahap, yaitu: (1) interprstasi, (2) analisis, (3) evaluasi, (4) inferensi, (5) penyelasan, dan (6) regulasi diri.  Pada tahap interprestasi, seseorang melakukan pencermatan sampai memahami betul makna sesungguhnya dari pemikiran atau kebijakan yang dikritisi.  Tahap ini antara lain dapat mecakup kategorisasi, dekoding dan klarifikasi.
Pada tahap analisis, dilakukan analisis terhadap landasan filosofis, yuridis, dan teoritis yang digunakan oleh pemikiran atau kebijakan tersebut.  Tahap inilah yang paling pokok, agar simpulan dari analisis tidak bias oleh subyektivitas tertentu. 
Pada tahap evaluasi dilakukan pembandingan hasil analisis tersebut dengan standar yang relevan.  Pemilihan standar harus utuh dan obyekif sehingga patokan yang digunakan sebagai pengukur hasil analisis tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap inferensi dilakukan kajian ulang terhadap berbagai data.  Dengan kata lain berbagai data dan informasi dipertanyakan atau dicek lagi validitasnya.  Dicek pula apakah masih ada alternatif lain yang belum dipertimbangkan.
Pada tahap penjelasan disusun simpulan apakah kita setuju atau tidak setuju atau setuju dengan catatan terhadap pemikiran atau kebijakan yang sedang dikritisi.  Sedangkan tahap regulasi diri adalah penilaian atau pengedalia diri sendiri setelah simpulan dihasilkan.
Kalau ke enam tahap dilakukan dengan baik, saya yakin kita tidak akan menjadi “no man” atau menjadi “pokoknya beda” terhadap pemikiran atau kebijakan yang dikritisi.  Sebaliknya kita juga tidak akan menjadi “yes man”.  Jadi berpikir kritis itu tidak sama dengan berpikir negatif.

Tidak ada komentar: