Sabtu, 31 Desember 2016

INTELECTUAL SENSITIVITY



Waktu melaksanakan tugas sebagai visiting scholar di Bremen University bulan Oktober lalu, saya sempat kaget dan agak tersinggung.  Ketika itu kami sedang diskusi bebas dengan beberapa teman.  Dr. Ing. Joachim Ditrich, orang Jerman yang pernah lama bekerja di Indonesia mengatakan kebanyakan dosen di Indonesia tidak memiliki intelectual sensitivity (kepekaan intelektual} yang baik.  Mungkin karena merasa sudah sebagai teman baik, Pak Ditrich ngomong apa adanya sesuai dengan pengalaman bertahun-tahun bekerja di universitas di Indonesa.  Walaupun demikian saya tetap kaget dan agak tersinggung.

Apakah yang dimaksud oleh Pak Ditrich sebagai kepekaan intelektual?  Mendengarkan ungkapan Pak Ditrich dan juga Pak Pekka (Dr. Pekka Kamarainen), orang Indonesia kurang terangsang untuk mempertanyakan segala sesuatu yang dihadapi. Orang Indonesia cenderung menerima begitu saja data dan informasi yang diterima, walaupun data dan informasi itu bagi orang Barat ganjil.

Walaupun tersinggung, dalam hati saya juga membenarkan.  Pengalaman membimbing penelitian tesis dan disertasi, saya sering menjumpai mahasuswa yang tidak merasa kalau data yang diperoleh atau hasil analisisnya aneh.  Banyak juga yang tidak melihat adanya dua faktor atau dua variabel yang tampak saling terkait.  Ketika membaca data statistik yang sangat kaya informasi, mereka juga tidak terdorong untuk mencermati dan mengaitkan satu dengan lainnya.

Setelah saya renungkan, mungkinkah itu karena budaya kita?  Mungkinkah itu karena pendidikan kita?  Memang budaya kita tidak  mendorong anak anak untuk memertanyakan apa yang di lihat.  Kita seringkali merasa terganggu ketika ada anak kecil yang selalu bertanya ini dan itu.  Cucu saya, si Freya yang baru berumur 20 bulan selalu ngomong “apa itu?”.  Setiap melihay sesuatu yang baru selalu mengucapkan kata “apa itu”. Walaupun sadar itu perkembangan penting bagi anak, seringkali kita kehabisan kata-kata untuk menjawab.  Bahkan ada orang yang memberi respons “jangan tanya melulu”.

Dalam keberagamaan kita, khususnya di keluarga saya, juga terbiasa harus yakin dan bahkan tabu untuk mempertanyakan. Aturannya atau keterangan sudah begitu, tidak usah kita pertanyakan, karena akal kita ini kan terbatas. Itulah jawaban yang sering saya dapat di masa kecil ketika mempertanyakan ini dan itu.

Saya tidak bermaksud menilai budaya kita atau pola keberagamaan kita, karena merasa tidak punya kompetensi di bidang itu.  Yang ingin saya diskusikan, apakah kebiasaan seperti itu yang membuat kita kurang memiliki kepekaan intelektual sebagaimana disinyalir oleh Pak Ditrich.  Saya ingin membandingkan dengan kebiasaan orang Barat yang memiliki skeptisitas tinggi dan selalu mempertanyakan apa yang dilihat.

Apakah itu terkait dengan pendidikan kita yang kurang mengarah ke berpikir tingkat tinggi (high order thinking)?  Dua pertanyaan yang berkait erat dengan berpikir tingkat tinggi adalah mengapa (why) dan bagaimana (how).  Jujur kita harus mengakui dua jenis pertanyaan itu belum terbiasa dterapkan dalam pendidikan kita.  Pendidikan kita cenderung menerapkan pertanyaan yang terkait dengan  “apa”, “dimana”, “kapan” dan “berapa”.  Contoh paling mudah adalah dengan membandingkan soal-soal UN kita dengan soal-soal PISA.  Soal-soal UN kita cenderung ke empat jenis pertanyaan itu, semenara soal-soal PISA cenderung ke dua jenis pertanyaan sebelumnya.

Mungkin pertanyaan berikutnya, apakah intelektual sensitivity itu penting bagi anak bangsa ini? Jika ya, bagaimana mengembangkannya?  Menurut saya penting, paing tidak untuk membuat anak bangsa ini terdorong untuk mencermati fenomena di sekitar kita.  Misalnya mengapa tiba-tiba di Bima banjir besar?  Mengapa taksi uber dan grab menggilas taksi yang sebelumnya sudah mapan?  Mengapa kita selalu impor kedele pada hal kita pemakan tempe dan tahu sepanjang zaman?

Memang tidak semua pertanyaan itu dapat kita jawab, karena kita tidak memiliki keahlian di bidang itu.  Namun jika kita tidak mempertanyakan tentu kita tidak akan ernah terdorong untuk mencari jawabnya.  Semoga.

Jumat, 23 Desember 2016

SIAPA YANG INDIVIDUALIS?



Pagi ini, sekitar pukul 04.45 saya mengatar anak laki-laki ke terminal bus Purabaya.  Dia mau ke Malang menjemput isterinya yang sudah beberapa hari berlibur di Malang.  Mumpung long weekend, jadi berangkat Sabtu dan akan kembali ke Surabaya Senin mendatang.  Sepagi itu belum ada angkot atau bus kota yang lewat, sementara mau naik taksi mahal.  Jadinya, yaa terpaksa sebagai ayah saya mengantarkan.

Sesampai di terminal banyak sekali mobil yang mengantar.  Sayangnya ada beberapa mobil pegantar yang parkir seenaknya sehingga mengganggu mobil yang datang, termasuk mobil kami.  Sepertinya sang sopir dan kerabatnya ngobrol di depan mobil sambil merokok. Anak laki-laki nggerundel “dasar nggak punya otak, tidak merasa mengganggu orang lain”.  Saya diam saja, karena sudah tahu perilaku keseharian dia.  Mungkin terlalu lama dia tinggal di Auatralia, sehingga terbiasa berkehidupan teratur.  Kalau menyopir dia sangat taat aturan, tidak pernah menggunakan bahu jalan saat di jalan tol, tidak pernah nyerobot lampu lalu lintas, tidak pernah parkir di tempat yang dilarang dan kalau akan parkir selalu nengok kanan-kiri untuk melihat apakah mengganggu orang lain.

Sambil nyopir pulang, saya berpikir siapa yang lebih individualis, orang Barat atau kita?  Apa ya definisi individualis itu?  Orang yang tadi parkir mobil sembarangan itu karena induvialis atau kurang mengerti aturan?  Kita seringkali mengatakan orang Barat itu individualis, sedangkan orang Indonesia tidak gotong royong.  Apakah itu betul ya?

Jika indivialis itu dimaknai ketidakmuan urusan pribadi diganggu atau bahkan diketahui orang lain, memang orang Barat itu individualis.  Jangan menanyakan umur kepada orang Barat.  Jangan menanyakan isteri atau suami kepada orang Barat. Kecuali kita sudah akrab atau dia bercerita lebih dahulu.  Mengapa?  Mereka menganggap itu urusan pribadi.  Kalau kita menanyakan dan dia merasa terganggu dengan pertanyaan kita, dia akan menjawab “that’s not your business” (itu bukan urusanmu).  Bahkan nilai ujian itu dimaknai sebagai urusan pribadi, sehingga hanya yang bersangkutan yang boleh tahu.

Jika individualis dimaknai sebagai ketidakmuan hak pribadinya diganggu, maka orang Barat tergolong individualis.  Jangan menyerbot antrean di Barat, karena itu dianggap mengganggu hak pribadi orang lain.  Jangan merokok di sembarang tempat, karena itu dianggap mengganggu hak oarng yang tidak mau terganggu kita merokok.  Jangan berbicara keras di dalam bus umum atau tram umum, karena dianggap mengganggu mereka yang ingin membaca atau tidur.

Tetapi cobalah minta bantuan kepada orang Barat, mereka akan senang hati membantu.  Tentu yang ringan-ringan, misalnya menanyakan alamat, membantu memegangkan barang ketika kita akan menggendong anak, membantu ketika kita turun bus atau kereta dan sebagainya.  Hanya saja kita harus minta tolong, karena jika kita tidak minta tolong mereka tidak akan membantu, takut dianggap menganggap kita tidak mampu.

Itulah sedikit gambaran perilaku orang Barat yang saya ketahui dan terkait dengan individualis atau bukan.  Nah bagaimana dengan perilaku orang Indonesia pada umumnya?  Kita merasa senang kalau dibantu ketika kerepotan. Apalagi jika ada orang yang langsung membantu tanpa kita minta.  Kita merasa orang seperti itu orang yang perhatian kepada orang lain.  Kita juga senang jika ada orang yang menanyakan keadaan keluarga, anak dan isteri kita.  Kita tidak merasa terganggu oleh pertanyaan seperti itu.  Jadi kita tidak merasa punya urusan pribadi yang begitu “tertutup” seperti orang Barat.

Gambaran di atas menunjukkan, sepertinya pemisahan domain privat (urusan pribadi) dengan domain publik (urusan umum) tidak terlaku ketat bagi orang Indonesia.  Dan itu mungkin merembet ke hal-hal lain.  Misalnya banyak orang Indonesia enak saja merokok di lingkungan orang banyak. Kita juga sering menyaksikan adanya orang nerombol antrean.  Kita hampir setiap hari mendengar Radio SS yang menyiarkan adanya mobil yang menggunakan bahu jalan tol.  Kita juga menyaksikan banyaknya mobil berhenti pada tempat yang ada larangan berhenti (tanda S disilang).

Apakah itu karena mereka tidak tahu aturan harus antre?  Apakah itu karena tidak tahu dilarang berhenti di lokasi dengan tada huruf S disilang?   Saya menduga mereka tahu, tetapi tidak merasa harus mematuhinya.  Mungkin juga merasa itu harus dilakukan demi ini dan itu.  Dan merasa itu wilayah publik yang dia juga punya hak.  Tampaknya dan ini dugaan saya, indivualis atau tidak ternyata terkait dengan bagaimana pemahaman yang bersangkutan tentang hak dan kuwajiban.

Rabu, 21 Desember 2016

KUE DONAT TERBALIK



Charles Handy, seorang ekonom dari Inggris pernah mengenalkan teori kue donat terbalik (inverted doughnut theory) untuk dunia pendidikan.  Kita tentu tahu bentuk kue donat, yang mirip gelang.  Sebuah bundaran dengan tengahnya berlubang.  Nah, maunya Charles Handy yang isi justru bagian tengah dari kue donat itu.  Mungkin kita sulit membayangkan seperti apa bentuknya.  Jadinya ya, mirip bentuk kue biasa yaitu bentuk kue bundar degan ketebalan sekitar 1 cm.

Charles Handy membayangkan bagian tengah itu yang merupakan inti, core atau bagian paling mendasar.  Sementara bagian pinggir itu adalah periperal, kembangan atau orang Jawa menyebutnya sebagai emperan.  Ibarat rumah, mungkin bagian pokok itu termasuk kamar tidur, dapar dan kamar mandi, yaitu bagian rumah yang harus ada agar rumah dapat  berfungsi sebagai tempat tinggal.  Yang termasuk bagian periperal itu mungkin teras, gudang dan halaman yang memang dapat menambar cantik rumah tetapi dalam keadaan kepepet dapat dihilangkan atau ditunda pembangunannya.

Nah, menurut Charles Handy, diskusi atau bahkan kebijakan pendidikan seringkali hanya “menyentuh” atau “mengotak-atik” bagian periperal dan tidak sampai menelaah bagian ini.  Orang kampung saya bilang, yang dibahas itu hanya kembangannya dan bukan pokok permasalahannya. Akhirnya perbaikan yang dilakukan tidak sampai menyelesaikan permasalahan mendasar pendidikan.  Yang terjadi tambal sulam, karena tidak menyentuh hakekat dibalik masalah yang terjadi.

Apakah sinyalemen Charles Handy juga terjadi di Indonesia?  Apakah fullday school yang kapan hari rame itu inti atau periperal?  Apakah UN yang sempat menunjukkan ketidakkompakan Kabinet itu inti atau periperal?  Apakah revitalisasi pendidikan vokasi itu inti atau periperal?  Apakah pemindahan kewenangan pendidikan menengah dari kabupeten/kota ke propinsi yang sempat membuat Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur “umek” itu inti atau periperal?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita mencermati fenomena berikut ini.  Beberapa bulan lalu, saya terlibat dalam satu diskusi di BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dihadiri oleh utusan dari Astra dan Carefour sebagai wakil DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk menggali kompetensi yang diperlukan DUDI.  Dua orang utusan DUDI itu sama-sama menyebutkan bahwa yang paling utama bagi DUDI adalah karakter.  Dari 100% prasyarat, minimal 60% itu terkait dengan karakter, 25% kemampuan berpikir logis dan belajar dan 15% terkail dengan keterampilan.  Ungkapan itu sangat mirip dengan apa yang disampaikan seorang teman HRD dari sebuah perusahaan raksasa di Bontang.  Teman tadi mengatakan, kalau soal keterampilan, perusahaan dapat melatih dengan cepat.  Namun kelakuan dan kemampuan bernalar harus sudah dimiliki ketika seseorang mulai bekerja.

Tanggal 13 Desember lalu, Reinald Kasali menyajikan tulisannya di Jawa Pos, kalau tidak salam berjudul “Job on Demand”.  Tulisan itu menunjukkan perubahan yang sangat besar di dunia kerja dan ternyata itu tidak mampu diikuti oleh sekolah/universitas.   Ketika saya mendiskusikan tulisan itu dengan beberapa kawan, Pak Shakib dari Al Hikmah bercerita kalau anaknya yang lulusan Teknik Elektro di ITS, saat mengikuti Manajemen Trainee di sebuah perusahaan besar justru diarahkan menekuni bidang marketing.  Manajemen trainee selama sekitar 1 tahun itu ternyata digunakan oleh perusahaan untuk menemukan potensi peserta dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan perusahaan.   Sering sekali, calon karyawan itu justru didorong untuk menekuni bidang yang jauh dari ijasah S1nya.

Fenomena seperti itu mungkin yang meyebabkan Tony Wagner komplain melalui bukunya “The Global Achievement Gap” yang intinya mengatakan sekolah-sekolah terbaikpun tidak dapat menyiapkan lulusannya untuk memiliki kompetensi yang diperlukan oleh DUDI. Akibatnta DUDI harus melakukan pelatihan yang mahal.  Mungkin fenomena itu yang merisaukan Jorgen Moller, dalam bukunya “How Asia Can Shape the World”.  Dalam buku itu Moller secara khusus membedah pendidikan di Asia dan mengatakan pendidikan dapat menjadi kartu as tetapi juga dapat menjadi kartu mati (aces or duds) ketika Asia akan menjadi lokomotif perkembangan dunia.

Nah, apakah saat ini kita sudah membahas inti pendidikan?  Atau kita baru membahas hal-hal yang periperal?  Mari kira renungkan.