Jumat, 26 Februari 2016

PENELITIAN PENGEMBANGAN DAPAT DENGAN KUALITATIF?



Apa penelitian pengembangan (developmental research) dapat dilaksanakan dengan kualitatif?  Pertanyaan itu yang mengganjal di benak saya beberapa minggu ini. Sekitar sebulan lalu, saya ditugasi membaca 2 draft disertasi.  Keduanya menyebut jenis penelitiannya penelitian kualitatif, sedangkan desainnya penelitian pengembangan.  Saya jadi bingung.  Mungkin pembaca dapat memberi pencerahan.

Sejauh yang saya ketahui, penelitian kualitatif itu filosofinya naturalistik.  Artinya lapangan (kancah) haruslah natural. Oleh karena itu kehadiran peneliti tidak boleh membuat keadaan lapangan berubah.  Karena dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama, maka peneliti haruslah  “menyatu” dengan lapangan dan bukan menjadi “orang asing” disitu.  Untuk itu peneliti harus cukup lama di lapangan dan oleh orang-orang di lapangan sudah dianggap kawan, sehingga orang-orang di lapangan akan berbuat apa adanya (natural) walaupun peneliti disitu.

Observasi partisipasi yang sering didorongkan dalam penelitian kualitatif maksudnya, peneliti ikut-ikut kegiatan orang-orang dilapangan sambil mengamati.  Dengan begitu, orang-orang di lapangan akan menganggap peneliti sebagai temannya.  “Maling hanya mau bicara apa adanya dengan sesama maling”, mungkin prinsip itu yang digunakan.

Sementara penelitian pengembangan secara sengaja peneliti hadir untuk melakukan perubahan. Peneliti hadir untuk mengembangkan sesuatu, misalnya mengembangkan model pembelajaran.  Jadi peneliti akan difahami sebagai “orang luar” oleh lapangan.  Pertanyaan yang muncul, “apakah orang-orang luar akan berbuat apa adanya di depan peneliti”.  Secara logika tidak.

Yang menurut saya juga riskan adalah, obyektivitas peneliti.  Karena yang diamati, ditanyakan dan sebagainya adalah “hasil karyanya sendiri” sangat mungkin peneliti akan subyektif.  Tentu ada trianggulasi, tetapi bagaimanapun subyektivitas akan terjadi.  Saya jadi ingat prinsip di kedokteran yang sering saya dengar.  Dokter itu tidak boleh mengobati isteri dan anaknya sendiri.  Konon ditakutkan ada ikatan emosional, sehingga subyektif.

Itu yang saya fahami selama ini.  Saya berharap ada pembaca yang memberi pencerahan, sehingga kebingunan saya hilang atau paling tidak terkurangi. Semoga.

Rabu, 10 Februari 2016

TEORINYA SIH SUDAH TAHU



Tanggal 10 Februari 2016 saya terlibat diskusi untuk menyemurnaan PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) mahasiswa calon guru di LPTK.  Saat itu Bu Dian, dosen UIN Sunan Gunung Jati, mempresentasikan hasil kunjungannya selama 2 bulan ke Michigan State University (MSU). Beliau menyampaikan PPL di MSU 25 tahun lalu yang katanya mirip dengan apa yang kita lakukan saat ini.  Setelah itu belia menyampaikan seperti apa model PPL yang dilaksanakan di MSU saat ini.    

Setelah itu giliran Bu Nensi dari Universitas Negeri Makasar (UNM) mempresentasikan hasil kerja timnya.  Selama Bu Nensi bersama timnya menyusun model PPL yang diharapkan dilaksanakan di PPG.  Di awal presentasi Bu Nensi mengatakan apa yang disampaikan oleh Bu Dian hampir persis dengan apa yang dirancang timnya.  Jadi apa yang dikerjakan di MSU persis dengan apa yang dirancang timnya Bu Nensi.  Mendengar itu, beberapa teman menanggapi jangan-jangan MSU meniru timnya Bu Nensi.

Semula saya agak ragu.  Namun setelah Bu Nensi selesai presentasi dan saya bandingkan dengan presentasi Bu Dian, ternyata apa yang dikatakan Bu Nensi bahwa keduanya hampir sama memang benar. Saya ingin mengatakan lebih 90% apa yang dilaksanakan di MSU sama dengan apa yang dirancang oleh timnya Bu Nensi.  Memang ada perbedaan, tetapi ternyata itu lebih pada istilah yang digunakan dan situasi sekolah yang berbeda.

Kalau begitu mengapa PPL kita sering dikatakan tidak bagus?   Ternyata lebih pada implementasinya.  Panduan PPG ternyata sudah cukup rinci dan baik.  Namun belum diimplementasikan secara sungguh-sungguh.  Beberapa teman mengatakan, sebenarnya kita sudah tahu teorinya dan bahkan sudah “nglontok”. Hanya saja kita kedodoran atau mungkin tidak serius dalam melaksanakan.

Saya jadi teringat diskusi saya dengan dokter Tommy, dokter bedah digestif, yang melakukan operasi batu empedu Lala, anaka bontot saya.  Ketika operasi Lala dipasangi slang berbentuk T untuk membuang cairan empedu, sementara saluran aslinya belum sembuh.  Nah, ketika itu saya baca pada slang plastik itu tertulis “made in Germany”.  Saya bertanya kepada dokter Tommy, apakah Indonesia tidak bisa membuat itu, kok harus impor dari Jerman.  Saya juga menceritakan hal itu dengan Pak Nuh yang profesor Elektromedik lulusan Perancis.

Jawaban dokter Tommy dan Pak Nuh kurang lebih sama.  Secara teori dan bahkan pada tahap eksperimen sebenarnya teman-teman dari ITS dan perguruan lain bisa membuat barang-barang seperti itu.  Masalahnya kita kurang sungguh-sungguh ketika mengerjakan, sehingga tidak memenuhi aspek presisi, hygiene dan sebagainya.

Mendapatkan jawaban itu, saya teringat kejadian sekian tahun lalu.  Saat itu saya mendapat penjelasan seorang teman yang menjadi bos perusahaan konsultan.  Perusahaan itu memperkerjaan beberapa arsitek dari Phillipines. Ketika saya tanya, apakah mereka lebih pandai arsitek dari Indonesia?  Beliau menjawab, sebenarnya arsitek Indonesia tidak kalah pandai, tetapi sayangnya dalam bekerja kurang serius.  Akibatnya produktivitas kerja arsitek Indonesia lebih rendah dibanding rekannya dari Phillipines.

Apakah itu gejala umum atau hanya arsitek di Surabaya dan dosen LPTK?  Saya tidak tahu.  Konon orang Indonesia itu juga termasuk tenaga kerja yang rajin ketika bekerja di negara lain.  Konon perkebunan di New Zeland senang sekali dengan orang Indonesia yang bekerja sebagai pemetik anggur, karena dikenal rajin dan jujur.

Nah, sepertinya ada ketidaksamaan.  Dosen dan arsitek (menurut bbrp teman) umumnya kurang sungguh-sungguh dalam bekerja, sementara orang Indonesia rajin dan jujur ketika bekerja di negara lain?  Apakah itu paralel dengan pendapat yang mengatakan para imigran biasanya kerja keras, walaupun di tempat asalnya agak malas?  Mungkin perlu kajian yang agak serius, sehingga kita dapat menemukan fakta yang sesungguhnya.  Dan yang lebih penting dapat menemukan cara untuk mendorong orang Indonesia, apapun profesinya, menjadi pekerja keras dan sungguh-sungguh dalam bekerja.

KREATIVITAS, KEBEBASAN DAN ETIKA



Pernahkan Anda berkunjung ke perguruan tinggi seni, misalnya Sekolah Tinggi Seni atau Akademi Seni atau Institut Seni?  Atau Jurusan atau Program Studi Seni di Universitas tertentu, misalnya Senirupa ITB atau bahkan yang berbau pendidikan seperti program studi Seni di Unesa?  Jika pernah, apa perbedaan dengan perguruan tinggi lain atau dengan program studi lain di ITB dan di Unesa?

Pengalaman saya, yang segera membedakan adalah gaya mereka dalam berpakaian atau katakanlah berpenampilan.  Mungkin saya yang tidak faham tentang seni dan tidak terbiasa dengan situasi itu, sehingga segera merasakan.  Biasanya mahasiswa (atau ada dosennya) yang menurut saya berpenampilan nyentrik.  Banyak diantara mereka yang berambut panjang dengan berbagai model, celama jean belel, seringkali berkaos yang juga belel, bersandal dan sebagainya.

Apakah itu aneh?  Bagi seniman ( dan mahasiswa seni), teman-teman yang sudah terbiasa bergaul dengan mereka tentu tidak aneh.  Aneh hanya bagi mereka yang belum faham, seperti saya.   Apakah itu salah? Menurut saya tidak, wong berpakaian itu hak masing-masing.  Apakah seniman (mahasiswa seni) harus berpenampilan begitu?  Saya tidak faham.  Saya pernah menanyakan hal itu kepada Pak Budi Darma (budayawan dan mantan Rektor Unesa) juga tidak mendapatkan jawaban yang jelas.  Kesan saya beliau menyerahkan kepada masing-masing.

Pada tulisan pendek ini saya tidak ingin mendiskusikan itu.  Tetapi justru apa yang saya dengarkan dalam diskusi tentang hubungan kreativitas dan kebebasan.  Diskusi itu diawali dengan keinginan untuk menemukan bagaimana model pembelajaran yang mampu mengembangkan kreativitas.  Keinginan itu dipicu oleh hasil studi yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting di abad 21. Nah, konon seniman adalah profesi yang menuntut kreativitas tinggi.  Mungkinkah ada kaitan cara berpenampilan dengan kreativitas?

Beberapa literatur menyebut kreativitas mencakup empat dimensi yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration.  Dari ke empat itu aspek yang  paling sulit dikembangkan adalah oroginaliy.  Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Namun seorang teman mengatakan hal itu terkait dengan kehidupan kita yang penuh dengan aturan dan kurang memberi kebebasan untuk berpikir beda.  Aturan-aturan yang ketat konon menyebabkan kreativitas sulit berkembang. Teman tadi mengatakan, kreativitas khususnya aspek orisinalitas memerlukan ruang kebebasan yang cukup.

Apakah kebebasan itu yang diterapkan di perguruan tinggi seni, sehingga cara berpakaian mahasiswa yang khas?  Apakah kebebasan itu memang sengaja dirancang agar kreativitas mahasiswa seni tumbuh baik?  Apakah mahasiswa jurusan lain yang juga memerlukan kreativitas tinggi, misalnya desain produk, multimedia dan sebagainya tidak memerlukan kebebasan seperti mahasiswa seni?  Jujur saya tidak tahu jawabnya.

Merenungkan itu, saya jadi teringat dua pertanyaan.  Pertama, pertanyaan mengapa banyak pedagang hebat tidak berlatar belakang sarjana ekonomi, penulis novel handal tidak berlatar belakang sarjana sastra, banyak guru yang hebat bukan lulusan LPTK.  Seorang teman mengatakan, jangan-jangan perkuliahan S1 Ekonomi, S1 Sastra, S1 LPTK terlalu banyak aturan, sehingga mahasiswa terbelenggu aturan dan tidak tumbuh kreativitasnya.  Apa itu betul?  Saya tidak tahu, mungkin pembaca yang dapat menjawabnya.

Kedua, apakah kebebasan harus diberikan tanpa batas?  Jika harus ada, apa pembatasnya? Menurut saya, tidak ada kebebasan tanpa batas, karena kita hidup bermasyarakat.  Kebebasan kita dibatasi oleh kebebesan orang lain.  Artinya, jangan sampai kebebasan kita menabrak kebebasan orang lain.  Misalnya, kita bebas merokok, tetapi jangan sampai hal itu mengganggu orang lain yang juga punya kebebasan tidak ditanggu oleh asap rokok.  Jadi etika merupakan pembatas kebebasan kita.  Kita bebas melakukan apapun tetapi janga sampai melanggar etika yang berlaku di masyarakat dimana kita berada.