Rabu, 27 April 2016

GAWEYAN KETOK WAE MOSOK ORA IS



Judul di atas merupakan ungkapan populer di keluarga masa kecil saya di kampung.  Alharhum Bapak saya yang menggunakan dan seringkali kami menggunakannya untuk hal-hal serius maupun kelakar.  Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira: ”pekerjaan kelihatan saja seharusnya kita bisa”.

Ungkapan itu sering terucap ketika Mbak Kung (almarhum Bapak saya) melihat anak-anaknya atau anak muda lainnya takut tidak berhasil mengerjakan sesuatu atau bahkan ketika beliau sendiri kesulitan mengerjakan sesuatu.  Sepertinya ungkapan itu dimaksudkan untuk memberi semangat bahwa tidak ada pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan asal kita mau belajar dan kerja keras.

Kang Rin, orang muda yang sering membantu kerja di rumah kami, sering meniru ungkapan itu ketika mengerjakan sesuatu dan mendapat kesulitan.  “Mengko dioloke semak, mandak gaweyan ketika wae ora isi” (nanti dikomentari Bapak, lha pekerjaan kelihatan saja tidak dapat menyelesaikan).  Saya juga sering menggunakan ungkapan itu, walaupun dalam hati dan saya ubah “orang bisa mengapa saya tidak bisa”.  Ungkapan itu sering saya gunakan untuk meyakinkan diri sendiri ketika mengerjakan hal-hal yang sulit.  Dengan anak-isteri saya sering berkelajar “mosok anake mbah Samani ngena wae ora iso”. 

Wajarkah Mbah Kung mengutarakan ungkapan itu?  Sungguh menarik untuk didiskusikan.  Beliau hanya tamat Sekolah Ongko Loro zaman Belanda.  Konon hanya itu sekolah yang ada di desa untuk mayarakat awam.  Sekolahnya hanya 2 tahun dan dilaksanakan di rumah Pak Lurah dengan pengantar bahasa Jawa.  Oleh karena itu Mbah Kung tidak lancar ketika berbahasa Indonesia.  Saya tidak tahu pasti lancar atau tidak dalam membaca, tetapi beliau membaca Panyebar Semangat.

Dengan sekolah hanya sampai Ongko Loro, tinggal di desa dengan pekerjaan utama petani tentulah pengetahuan Mbah Kung juga terbatas.  Namun kalau dilihat kehidupan dan pekerjaan keseharian, sayapun sebagai anaknya seringkali terkagum-kagum.  Idenya banyak dan berani sekali melakukan eksperimen dengan idenya itu.

Sebagai petani padi, beliaulah yang pertama kali membuat dan melaknakan penanaman dengan “rengkek” agar jarak antar tanaman padi sama dan teratur.  Setelah itu beliau menciptakan “sorok beroda” untuk menyiangi padi.  Rengkek dan sorok itulah yang sekarang ditiru oleh petani oleh tetangga dan bahkan kampung sekitar.  Beliau yang memulai menanam enceng ketika hujan turun dan kemudian dibajak sehingga menjadi pupuk hijau.

Hampir semua pekerjaan di desa dapat dikerjakan oleh beliau, bertani, menukang kayu, berternak ayam, berdagang kapur dan pekerjaan sederhana lainnya. Ketika berternak ayam petelor beliau menjadi juara 1 lomba peternak kecil yang diadakan oleh Charon Pokpan. Beliau sangat berani berinovasi, misalnya ayam diberi makan daging bekicot dengan analogi bekicot bergisi sehingga diharapkan ayam bertelor banyak.  Ayam diberi makanan daun papaya dengan asumsi supaya tidak mudah terserang penyakit.  Diberi makan campuran kulit kerang yang ditumbuh agar kulit telornya tebal.

Apakah inovasi itu didapat dengan mudah?  Ternyata tidak.  Apakah beliau tidak pernah gagal?  Ternyata sering.  Tetapi tampaknya beliau tidak mudah menyerah.  Misalnya inovasi memberi makan ayam dengan kulit kerang gagal, karena telor ayam menjadi mudah pecah.  Ketika mencoba membuat gilingan padi secara manual juga gagal, karena beras yang dihasilkan pecah-pecah.

Mbah Kung juga pernah mencoba membuat sandal dari ban mobil.  Pekerjaan yang sukses dalam beberapa tahun kemudian bangkrut ketika muncul sandal jepit.  Mbah Kung juga pernah berdagang gamping, yang pada awalnya sukses tetapi kemudian bangkrut ketika muncul semen PC dan masuk ke desa-desa.

Gambaran di atas itulah yang membuat saya sering merenung, bagaimana Mbah Kung punya ide-ide inovatif dan daya juang untuk mewujudkan gagasan itu, walaupun tidak semuanya berhasil.  Jika proses bertumbuhnya gagasan dan daya juang itu dapat diketahui, rasanya sangat bermanfaat untuk pendidikan kita.  Bukankan pengembangan kreativitas dan daya juang merupakan aspek penting dalam pendidikan kita. Jujur sampai saat ini saya belum mampu mereplikasi dua kemampuan tersebut.

Sabtu, 23 April 2016

REFLEKSI DIRI ALA GUS MUS



Beberapa hari lalu saya menonton Gus Mus di acara Mata Najwa-Metro TV.  Tampaknya Najwa Sihab sengaja ingin menampilkan Gus Mus sebagai sosok utuh, sehingga yang hadir dan diminta pendapat tentang Gus Mus adalah berbagai orang yang tentu memberikan testomoni tentang Gus Mus dari berbagai sudut pandang pula.  Sosok Gus Mus sebagai ulama, sebagai budayawan dan juga sebagai “manusia” sedikit banyak tergambarkan.   
Di akhir acara, Najwa minta Gus Mus membacakan puisinya dengan judul Puisi Islam.  Seingat saya, saya sudah pernah membaca puisi itu, tetapi ketika dibacakan oleh penulisnya saya menjadi tercenung.  Saya merasa baru dapat menangkap makna puisi itu ya saat dibacakan oleh Gus Mus sendiri.  Itupun kalau benar tangkapan saya sebagai orang awam dalam hal puisi.  Ijinkan saya mengutip puisi Gus Mus itu secara utuh.
Islam agamaku nomor satu di dunia
Islam benderaku berkibar di mana-mana
Islam tempat ibadahku mewah bagai istana
Islam tempat sekolahku tak kalah dengan yang lainnya
Islam sorbanku
Islam sajadahku
Islam kitabku
Islam podiumku kelas exclussive yang mengubah cara dunia memandang
Tempat aku menusuk kanan kiri
Islam media massaku
Cahaya komunikasi islami masa kini
Tempat aku menikam saat ini
Islam organisasiku
Islam perusahaanku
Islam yayasanku
Islam istansiku , menara dengan seribu pengeras suara
Islam muktamarku, forum hiruk pikuk tiada tara
Islam pulsaku
Islam warungku hanya menjual makanan sorgawi
Islam supermarketku melayani segala keperluan manusiawi
Islam makananku
Islam teaterku menampilkan karakter-karakter suci
Islam festifalku memeriahkan hari-hari mati
Islam kaosku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semua
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa saja
Tuhan islamkah aku?
Dalam pemahaman saya, kalimat terakhir puisi itu seakan mempertanyakan semua kalimat sebelumnya.  Pada kalimat-kalimat sebelumnya Gus Mus menyodorkan Islam sebagai label kita dalam segala aktivitas, yang tentu dengan segala warna-warninya.  Nah, puisi diakhiri dengan sebuah pertanyaan jika kita punya aktivitas seperti itu apakah kita layak disebut sebagai orang Islam.  Seakan Gus mempertanyakan apakah orang-orang yang mengaku Islam, memiliki berbagai aktivitas berlabel Islam dan bahkan seringkali menyelekean orang  lain yang tidak sefaham, betul-betul dia Islam.  Saya sungguh tidak faham apa yang dimaksud dengan kata “Islamkah aku” oleh Gus Mus.  Apakah masuknya “yang benar-benar Islam dan bukan hanya kulitnya saja”.  Jika itu seperti apa ya indikatornya?  Jujur saya tidak tahu dan moga-moga ada teman yang berkenan memberikan pencerahan.
Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu.  Saya justru ingin menggunakan puisi itu sebagai analogi kehidupan kita sehari-hari.  Rasanya kita sering melihat fenomena seperti itu atau bahkan kita juga termasuk yang melakukannya.  Kita sering mempertanyakan betulkah yang diungkapkan di si Fulan itu akan dilaksanakan.  Atau betulkah apa yang dilakukan di Fulan itu bertujuan mulia seperti yang diomongkan.  Bahkan kita juga dapat mempertanyakan kepada diri sendiri, betulkah apa yang saya lakukan bertujuan mulia seperti yang saya ucapkan?  Jangan-jangan itu semua hanya kedok, karena di balik itu ada tujuan lain.
Merenungkan itu saya teringat seorang teman baik di Unesa yang menyampaikan kelakar berupa pertanyaa sebagai berikut.  Bangsa mana yang sedikit bicara tetapi banyak kerja?  Biasanya teman lain menjawab: bangsa Jepang.  Betul, nah bangsa mana yang banyak bicara dan juga banyak kerja.  Ketika tidak ada yang menjawab kawab tadi menjawab sendiri: bangsa Amerika.  Pertanyaan selanjutnya, bangsa mana yan banyak bicara tetapi sedikit kerja.  Beberapa kawan menjawab; bangsa Indonesia.  Teman tadi mengatakan: bukan, itu bangsa Arab.  Lha kalau kita bangsa Indonesia termasuk apa?  Kalau kita, apa yang dibicarakan dan dikerjakan berbeda.
Tentu itu hanya kelakar dan kita tidak harus menanggapinya dengan serius. Namun ketika kawan tadi mengatakan: kalau bangsa kita, apa yang dikatakan berbeda dengan yang dikerjakan, jangan-jangan seiring dengan puisi Gus Mus di atas.  Mari kita menggunakan puisi Gus Mus untuk cermin untuk melakukan refleksi diri.

Rabu, 20 April 2016

LULUSAN IPA BANYAK YANG MEMILIH SOSHUM



Judul di atas diambil dari berita di Jawa Pos tanggal 17 April 2016.  Pada sambungannya di halaman berlakang, judulnya diubah menjadi “Dan banyak yang diterima”.  Sore harinya saya mendapat banyak SMS, WA maupun telepon mempertanyakan mengapa seperti itu. Sebenarnya fenomena itu yang sudah lama terjadi, tetapi baru kali ini ada koran yang memuat. 

Dalam satu rapat pantia SBMPTN beberapa tahun lalu fenomena itu juga pernah didiskusikan bahkan melebar sampai ketidakselarasan penjurusan di SMA dengan SBMPTN.  Dalam diskusi itu terungkap kalau penjurusan di SMA lebih merupakan klasifikasi kemampuan siswa.  Siswa yang nilai MIPA-nya (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) bagus masuk ke jurusan IPA, sedangkan yang kurang bagus masuk ke jurusan IPS dan atau Bahasa.  Sepanjang informasi yang saya peroleh sangat jarang sekolah yang mendasarkan penjurusan itu atas dasar bakat dan minat siswa.

Apa pola itu baru sekarang terjadi?  Tidak.  Anak sulung saya yang sekolah di salah satu SMA Kompleks Surabaya awal tahun 2000 pernah mengalami hal menarik.  Saat itu penjurusan dimulai di kelas 2.  Nah anak saya naik ke kelas 2 IPA, karena nilai untuk matapelajaran MIPA memang baik. Namun dia minta pindah ke IPS, karena dia lebih tertarik ke hal-hal yang bersifat seni dan aktif di kegiatan sosial.  Inginnya dia nanti akan kuliah di Psikologi atau Komunikasi.  Ketika menyampaikan keinginan itu kepada wali kelas, justru ditertawakan dan dikomentari “kamu aneh, lainnya merengek pindah dari IPS ke IPA kok malah minta pindah dari IPA ke IPS”. Tampaknya nilai matapelajaran IPS, Bahasa dan Kesenian tampaknya tidak begitu menjadi pertimbangan. 

Memang akhirnya terbukti.  Saat S1 anak saya mengambil bidang Manajemen Komunikasi yang isinya merupakan perpaduan antara sosial dan seni.  Setelah malang melintang di pekerjaan, kemudian mengambil S2 di bidang Lingkungan dengan peminatan food security.  Agak berat karena banyak matakuliah yang termasuk kelompok MIPA dan itu tidak pernah didapat di SMA IPS maupun S1 Manajemen Komunikasi.  Namun kerja keras dan mungkin potensi bidang MIPA yang cukup toh dia dapat lulus dengan baik dan sekarang aktif di kegiatan NGO bidang food security.  Tampaknya potensi seni dan aktivis sosial tidak dikenali atau tidak mendapat perhatian saat penjurusan di SMA.  Bahwa nilainya untuk matapelajaran MIPA bagus bukan karena minatnya, melainkan karena kemampuan dasarnya baik.

Tahun lalu keponakan saya, anak kedua adik bungsu saya, juga mengalami hal yang sangat menarik.  Ketika pendaftaran SMA keponakan saya ikut tes psikologi dan atas dasar tes itu keponakan saya dimasukkan di jurusan IPS.  Namun karena si anak lebih tertarik IPA dan bapaknya menyampaikan hal itu ke Kepala Sekolah, oleh sekolah keponakan saya diberi peluang untuk semacam uji coba kelas IPA dan nanti akan dilihat hasilnya.  Ketika uji coba berjalan setengah sementer, wali kelas dan kepala sekolahnya bingung karena nilai bidang MIPA dan IPS seimbang.  Yang menarik kepala sekolahnya berkomentar “kok nilai Biologi rendah, kalau sampai akhir sementer seperti itu akan dimasukkan ke IPS”.

Untungnya ada hal “ajaib” terjadi.  Ketika hasil tes psikologi per siswa dikirim oleh lembaga pengetes dan dibagikan kepada masing-masing siswa diketahui bahwa hasil tes keponakan saya cenderung ke IPA. Ternyata lembaga itu melakukan kesalahan saat melakukan tabulasi hasil tes psikologi, sehingga keponakan saya yang hasilnya cenderung ke MIPA-Engineering dimasukan ke IPS.  Akhirnya walaupun nilai Biologi tetap kurang baik, keponakan saya  dimasukkan  kelas IPA.  Tampaknya nilai Biologi yang kurang baik menjadi pertimbangan untuk memasukkan ke IPS, pada hal nilai mapel IPS juga kurang baik. 

Jadi kenapa banyak lulusan IPA memilih Soshum dan banyak yang diterima bukan karena salah pilih, tetapi karena mereka memang “anak pintar”, sehingga dapat masuk kelas IPA.  Teman-teman saya yang lulusan Psikologi, Ekonomi dan bahkan bahasa Indonesia dengan prestasi menonjol ternyata banyak yang lulusan SMA IPA.  Jadi mereka yang lulusan IPA mendaftar ke Soshum dan diterima bukan karena matapelajaran IPA-nya, tetapi karena mereka memang anak pintar.

Penelitian yang memandingkan lulusan SMA dan SMK mungkin dapat menjadi tambahan penjelasan.  Ada studi yang menyimpulkan lulusan SMA lebih baik kinerjanya dan kariernya dibanding lulusan STM (sekarang disebut SMK Bidang Rekayasa).  Nah, ketika datanya dikoreksi dengan NEM mereka saat SMP, ternyata kinerja dan karier mereka tidak berbeda.  Jika NEM SMP dapat dimaknai sebagai indikator “pintarnya” seseorang, berarti setelah dikoreksi dengan analisis kovariat, perbandingan lulusan SMA dan STM sudah disamakan kepintarannya dan hasilnya tidak beda.  Jadi perbedaan kinerja dan karier bukan karena asal sekolah tetapi karena kepintarannya.

Nama Soshum dalam SBMPTN adalah istilah yang baru digunakan mulai tahun 2012 atau 2013 untuk menggantikan istilah IPS.  Seingat saya penggunaan istilah Soshum sebagai solusi terhadap fenomena ketidaksesuaikan penjurusan di SMA dengan tes di UMPTN atau yang sekarang disebut SBMPTN.  Di SMA ada tiga jurusan yaitu IPA, IPS dan Bahasa, tetapi di waktu lalu UMPTN hanya punya dua pilihan program yaitu IPA dan IPS.  Nah akhirnya istilah IPS diubah menjadi Soshum yang merupakan “gabungan” IPS dan Bahasa.