Rabu, 28 September 2016

KELUAR DARI CAKANG



Senin tanggal 26 September 2016, saya ikut diskusi tentang pendidikan vokasi di Balitbang Dikbud Jakarta.  Saya antusian mengikuti, karena inilah momen yang tepat untuk melakukan “reformasi” pendidikan vokasi di Indonesia.  Mumpung pemimpin tertinggi di negara ini, Presiden Jokowi sedang gandrung dengan pendidikan vokasi.  Oleh karena itu, walaupun hari Minggu saya bertugas di Samarinda, saya memerlukan terbang dari Kaltim ke Jakarta, baru sorenya pulang ke Surabaya.

Ketika memasuki ruang rapat, peserta sudah banyak.  Tampak tokoh-tokoh penting, antara lain Dr. Ananta Kusuma-staf ahli Mendikbud, Dr. Harris Iskandar-Dirjen Paud Dikmas, Ketua BSNP berserta beberapa anggota, wakil dari BNSP Kemnakertrans, Dr. Hendarman-Kepala Pusat Peneltian Kebijakan dan  beberapa stafnya, Dr. Junus dan Dr. Bahrun dari Direktorat PMK, Wakil dari Univ Ahmad Dahlan-Yogyakarta yang konon mendapat tugas khusus dari Mendikbud untuk melakukan kajian Pendididikan Vokasi.  Pada hal saya masuk bersama Dr. Boediono-mantan Ka Balitbang Dibud dan Prof Zamroni dari UNY serta Dr. Totok Suprajitno-Ka Balitbang Dikbud saat ini.

Pak Totok mengantar diskusi dengan menjelaskan bahwa diskusi ini baru pertama dan akan dilakukan secara periodk untuk menggali gagasan untuk menemukan model pendidikan vokasi yang cocok di Indonesia. Jadi diskusi lebih merupakan brainstroming dan tidak dimaksudnya untuk mengambil simpulan.  Setelah itu, Pak Ananta-staf ahli Mendikbud yang ditugasi sebagai Ketua Pokja Pendidikan Vokasi menyampaikan inti pengarahan Presiden, pengarahan Mendikbud dan apa-apa yang sudah dikerjakan oleh Pokja.  Pak Harris yang mendapat giliran berikutnya menyampaikan keluhan karena kursus “tidak dianggap” sebagai bagian pendidikan vokasi.  Pada hal, menurut beliau, kursus memegang peran penting, misalnya kursus bahasa Inggris dan sebagainya.  Semua peserta diundang untuk mengajukan gagasan.

Dalam diskusi semacam itu, semua peserta harus berpikiran terbuka, mengurangi ego sektoral dan berpikir ke depan.  Pengalaman menunjukkan ketika kita ingin melakukan perubahan, banyak orang yang tidak ingin berubah, banyak orang yang “merasa apa yang selama ini dilakukan itulah yang benar”, banyak orang yang tidak ingin “rumahnya” dikotak-katik, apalagi “dimasuki” orang lain.   Sebelum “ketertutupan” seperti itu dapat diatasi akan sulit untuk melakukan perubahan.

Saya sangat gembira karena dugaan saya tersebut salah.  Memang masih terasa banyak peserta yang defensif dengan mengatakan sudah melakukan ini-itu, sudah mencapai ini-itu serta dengan bangga memiliki banyak capaian, namun hampir semua terbuka untuk melakukan perubahan.  Hampir semua peserta merasa bahwa perkembangan iptek telah bergitu masif, sehingga semua harus berubah termasuk pendidikan vokasi. 

Gagasan “warung padang” dalam pendidikan vokasi ternyata direspons cukup baik oleh peserta.  Maksud saya, ke depan dunia kerja itu seperti penggemar warung padang, yang masuk warung dengan keinginan sangat bervariasi.  Ada yang ingin disajikan lauk lengkap, namun juga banyak yang datang ingin makan dengan lauk tertentu saja.  Dalam konteks masak-memasak (tata boga), mungkin ada orang yang ingin belajar memasak semua jenis masakan.  Namun mungkin juga ada yang hanya ingin memasak masakan jenis tertentu, karena hanya itu yang diperlukan dunia kerja yang akan dimasuki.  Memaksa orang seperti itu belajar memasak seluruh jenis masakan akan merupakan pemborosan uang dan umur siswa.

Karena peserta tampak terbuka dengan gagasan yang berbeda dengan yang selama ini kita lakukan dan Pak Totok menambahi, jika memang apa yang ingin kita lakukan tidak sesuai dengan undang-undang, justru undang-undangnya yang kita ubah.  Mumpung, kita sedang ingin menyempurbakan Undang-undang Sisdiknas.  Oleh karena itu semua peserta “harus keluar dari cangkang”, artinya saat diskusi seperti ini kita keluar dari “rumah/tupoksi” masing-masing agar dapat melihat masalah degan lebih jernih dan tidak bias oleh kepentingan diri atau lebih kebih kepentingan eksistensi lembaga tempat kerja.  Ada metapora “jangan bertanya tentang air kepada ikan”.  Karena selama ini ikan berada di dalam air, ikan menganggap semua yang seperti itu.  Agar dapat melihat air dengan jernih, ikan harus keluar dari air.

Seperti disampaikan Pak Totok diskusi tidak akan mengambil simpulan.  Namun disepakati perlunya dua hal.  Pertama, perlunya grand design pendidikan vokasi yang dibuat secara utuh, lintas lembaga yang cocok untuk menatap masa depan.  Bagian ini yang lebih tepat menjadi tugas Balitbang Dikbud.  Kedua, perlu juga program yang sifatnya quich yield (segera tampak hasilnya) dan ini lebih cocok dikerjakan oleh Pokja yang diketuai oleh Pak Ananta.  Tentu keduanya dapat saling menjadi masukan.  Prinsip “keluar cangkang” harus tetap dipegang, apalagi saat menyusun grand designnya. Semoga.

Selasa, 20 September 2016

DISCONTINUITY



Saya mendengar pertamakali istilah discontinuity dari Dr. Boedino pada awal tahun 1990an, saat itu beliau sebagai Kepala Balitbang Dikbud.  Dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia susunan John Echols, discontinuity diartikan sebagai keadaan yang terputus, keadaan yang tidak bersambung. Kalau menggunakan istilah sekarang mungkin, ketidaksinambungan.

Pada waktu itu beliau menjelaskan ketidaksinambungan iptek atau konsep karena ada temuan baru yang memiliki nature dengan teknologi sebelumnya.  Karena beliau ekonom, tentu memberi contoh dalam bidang ekonomi.  Waktu itu saya mecoba memahami dengan cara menganalogikan contoh yang beliau berikat dengan bidang saya.  Misalnya penemuan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) yang kemudian menghilangkan mesin uap.  Pompa sentrifugal, yang walaupun fungsinya sama tetapi sangat berbeda dan menggusur pompa plunyer. 

Akhir-akhir ini saya mengamati discontinuity juga terjadi pada program pemerintah, instansi, organisasi ketika pergantian pimpinan.  Istilah yang sering mucul di lapangan adalah “ganti pimpinan ganti kebijakan”. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena seiring dengan perjalanan waktu sangat mungkin terjadi perubahan tantangan, sehingga pemimpin yan baru perlu mengubah kebijakan yang mungkin sudah tidak sesuai lagi.

Namun yang kadang-kadang terjadi dan merisaukan adalah perubahan kebijakan itu terasa tanpa dilandasi kajian yang memadai.  Meminjam referensi pada Policy Analysis, perubahan kebijakan itu tidak dilandasi agenda setting dan policy research yang memadai.  Ada kesan, policy itu muncul dari keinginan pemimpin dan bukan kebutuhan lapangan.  Bahkan terasa, adanya pemimpin yang kalau meminjam istilah yang digunakan oleh Robin Sarma yaitu yang “link leadership to legacy”, keinginan untuk meninggalkan warisan sebagai penciri setelah lengser.  Seringkali program belum tuntas ditinggal dan berpindah ke program baru tanpa adanya kesinambungan.

Dalam referensi tentang tentang organisasi, memang disebutkan kalau sistem di organisasi sudah mapan, maka pergantian pemimpin tidak akan mengubah kebijakan secara drastis, sehingga pemimpin tidak tampak menonjol. Sebaliknya jika sistem di organisasi itu belum mapan, pergantian pemimpin akan menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan yang menonjol.  Dengan bahasa lain, jika organisasinya mapan, yang menonjol sistemnya bukan pemimpinnya.  Sebaliknya jika organisasinya belum mapan, yang menonjol pemimpinannya dan bukan sistemnya.

Apakah organisasi di Indonesia banyak yang belum mapan sistemnya?  Itulah pertanyaan yang mengganjal benak saya beberapa hari ini.  Bukankah kita sudah merdeka 71 tahun?  Bukankah banyak lembaga yang dipimpin para cerdik cendikia?  Bukankah banyak ahli manajemen organisasi yang kita miliki?  Bukankah para pemimpin di pemerintahan pada umumnya sudah mengikuti kursus kepemimpinan?

Apakah fenomena discontinuity hanya terjadi di organisasi kecil?  Ternyata tidak.  Bahkan di organisasi pemerintahan juga banyak terjadi.  Saya kira munculnya gagasan untuk menghidupkan lagi GBHN juga tidak terlepas adanya fenomena discontinuity.  GHBN dianggap mampu sebagai pengikat, siapapun pemimpinannya harus menggunakannya dan diharapkan itu merupakan program jangka panjang yang saling sinambung.

Fenomena discontunity rasanya perlu segera dicarikan jalan keluar, karena dampaknya cukup serius.  Seringkali perkembangan organisasi/lembaga hanya melngkar-lingkar tanpa banyak bergerak, karena pemimpin yang baru selalu memuliai hal yang baru dan meninggalkan apa yang telah dimulai oleh pemimpin sebelumnya.  Nah, karena masa jabatan pemimpin yang pada umumnya tidak lama, semua inovasi atau pogram tidak selesai dengan tuntas.  Jadinya semua menjadi setengah-setengah.

Sabtu, 17 September 2016

PENGUATAN PENDIDIKAN VOKASI




Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, Prof Muhadjir Effendi ingin merevitalisasi pendidikan vokasi.  Konon itu merupakan amanah dari Presiden Jokowi yang memang memiliki perhatian terhadap pendidikan vokasi sebagai penyiapan tenaga kerja terampil tingkat menengah.  Ketika beliau melawat ke Jerman, salah satu oleh-olehnya adalah kerjasama dalam pendidikan vokasi.  Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk iur pemikiran terhadap program tersebut.

Sebenarnya istilah baku dalam UU Sisdiknas untuk vocational education and training (VET) pada tingkat menengah adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan pelatihan kejuruan (Kursus Keterampilan).  Istilah pendidikan vokasi digunakan untuk post secondary education (pendidikan atau latihan bagi lulusan sekolah menengah), misalnya politeknik dan akademi komunitas.  Penggunaan istilah itu dimuat pada penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas.

Saya menduga, Presiden tidak tahu penggunaan istilah itu, sehingga walaupun yang ingin direvitalisasi itu SMK dan Kursus, beliau menggunakan istilah pendidikan vokasi.  Atau mungkin juga yang akan direvitalisasi tidak hanya SMK dan Kursus Keterampilan tetapi juga Politeknik dan Akademi Komunitas.  Toh SMK, Kursus Keterampilan, Politeknik dan Akademi Komunitas semuanya menyiapkan SDM terampil.

Jujur, saya tidak tahu sejarah penggunaan istilah itu, karena sejauh yang saya tahu dalam bahasa Inggris hanya dikenal satu istilah, yaitu VET atau TVET (Technical and Vocational Education and Training) di Eropa, TAFE (Teachnical and Further Education) di Australia dan Vocational Training di Amerika Serikat.  Oleh karena itu, kita sering bingung saat harus menterjemahkan SMK dan Kursus Keterampilan ke dalam bahasa Inggris.  Ketika ditunjuk sebagai ketua delegasi ke Korea Selatan 31 Agustus s.d 5 September 2016, saya terpaksa bertanya kepada Ibu Puji, Kasubdit di Direktorat PSMK, tentang istilah baku Dit PSMK dalam bahasa Inggris.  Ternyata “Directorate of Techninal and Vocational Education and Training”.  Jadi SMK diterjemahkan menjadi TVET, seperti istilah yang biasa digunakan di Eropa.

Secara konsep, pendidikan vokasi bertugas menyiapkan siswa/peserta didik untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu.  Oleh karena itu kesesuain kompetensi yang dihasilkan (supply) dan kompetensi yang diperlukan oleh dunia kerja (demand) sangat penting. Tidak hanya jenis, tetapi juga level (tingkat), jumlah dan kualitas.  Ketidaksesuaian antara supply dan demand, akan membuat lulusannya menjadi korban. Mengapa begitu?  Lulusan SMK dan Kursus Keterapilan itu sudah diberi label khusus yang terkait dengan kejuruan/ keterampilannya, sehingga idealnya harus berkerja sesuai dengan bidang kejuruan itu.

Ada baiknya kita melakukan tracer kecil-kecilan lulusan SMK.  Misalnya berapa persen lulusan SMK Tata Boga yang berkerja di bidang yang relevan.  Sisanya bekerja di mana dan mengapa tidak bekerja di bidang yang relevan. Jika sebagian lulusan bekerja di bidang yang relevan, secara sederhana kita dapat mengatakan pendidikan di SMK itu efektif.  Apalagi jika penghasilan lulusan yang bekerja di bidang kejuruan yang relevan itu bagus, sehingga secara pendidikan kejuruan dapat dikatakan efisien.  Sebaliknya jika hanya sedikit yang bekerja yang relevan dan apalagi berarti tidak efektif dan tidak efisien.  SMK adalah “sekolah mahal”, sehingga sayang kalau banyak lulusanya tidak bekerja pada bidang kejuruan yang relevan.  Bahkan jika hal itu terjadi orang dapat mengatakan terjadi pemborosan.

Dalam diskursus perencanaan pendidikan, pola pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia menerapkan manpower planning approch, sehingga pertanyaan berikut ini menjadi pertanyaan dasar yang harus diperoleh jawabannya. Berapa jumlah tenaga kerja untuk kejuruan itu dan seperti apa kompetensi yang harus dimiliki untuk bekerja di bidang kejuruan itu?  Tanpa jawaban terhadap pertanyaan, rancangan pendidikan kejuruan sulit untuk dilakukan.  Oleh karena itu, kerjasama sinergis antara dunia kerja dan dunia pendidikan sangat penting.  Dan ternyata mudah dilakukan, sehingga memerlukan kerja keras untuk melakukannya.

Di Indonesia, penyiapan tenaga kerja terampil tingkat menengah dilakukan oleh SMK, Kursus Keterampilan di bawah Pendidikan Masyarakat dan Kursus Keterampilan di bawah Kementerian Tenaga Kerja.  Ketiganya perlu dikoordinasikan dan disinergikan agar memiliki standar kompetesi yang sama dan berbagi peran agar tidak tumpang tindih.  Sekat-sekat birokrasi antara lembaga “pemilik” ketiga jenis pendidikan/pelatihan kejuruan itu perlu dilonggarkan.

Terkait dengan pelonggaran itu, gagasan MEME (multi entry-multi exit) yang pernah dimunculkan di Direktorat SMK perlu dibuka kembali.  Jika konsep MEME digunakan, pendidikan kejuruan dapat dikemas dalam sistem modular.  Setiap modul memiliki capaian kompetensi tertentu dan orang yang telah mencapai itu berhak mendapatkan sertifikat kompetensi.  Suatu jenjang dan atau jenis pendidikan atau pelatihan dapat merupakan penggabungan beberapa mudul, sehingga seseorang yang telah memiliki sertifikat kompetensi yang dipersyaratkan berhak mendapatkan ijasah atau diploma pendidikan atau pelatihan itu.  Dengan pola RPL, mereka yang kurang sertifikat dapat menempuhnya untuk memperoleh ijasah atau diploma yang diinginkan. MEME yang didukung dengan pola modular di SMK akan memudahkan integrasi antara SMK, Kursus Keterampilan di bawah Dikmas maupun di Kementerian Tenaga Kerja. 

Belajar dari Korea Selatan, di sama dibentuk KRIVET (Korea Research Institute for Vocational Education and Training), sebuah lembaga riset di bawah Kantor Perdana Menteri.  Krivetlah yang merancang pendidikan dan latihan vokasi di Korea Selatan. SMK dan kurus keterampilan wajib menggunakan rancangan Krivet sehingga, jumlah, jenis dan kualitas lulusan pendidikan dan latihan kejuruan standar, sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

Terkait dengan kompetensi yang diperlukan, ada beberapa pengalaman menarik.  Sekitar bulan Juni 2016, BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) mengundang orang dunia industri (DUDI) untuk memberi masukan tentang SKL (standar kompetensi lulusan).  Hadir 2 orang, yaitu dari Astra mewakili DUDI bidang rekayasa dan dari Carefour mewakili DUDI bidang bisnis. Pendapat keduanya sangat menarik dan hampir sama.  Keduanya mengatakan, jika total kompetensi yang diperlukan karyawan itu 100, proporsi sikap kerja 70, keterampilan 30.  Jika karyawan memililiki sikap kerja bagus dan mau belajar, melatihkan keterampilan tidak perlu lama.

Pendapat tersebut mirip dengan pendapat HRD sebuah perusahaan besar di Bontang yang mengatakan, ketika merekrut calon karyawan yang dipentingkan sikap dan kemampuan dasar.  Dengan sikap dan kemampuan yang bagus, karyawan baru akan diberi pelatihan keterampilan dan itu tidak perlu waktu lama. Seingat saya, Prof Boediono, waktu itu sebagai Wakil Presiden, pernah berpidato di UWA-Perth Australia, mengatakan bahwa salah satu kelemahan pendidikan kita adalag generic skills, yang isinya sikap dan kemampuan dasar.

Ketika kita ingin merevitalisasi SMK, penelitian David Newhouse dan Daniel Suryajaya (2011) yang diterbitkan Bank Dunia dengan judul The Value of Vocational Education: High School Type and Labour Market Outcomes in Indonesia.  Penelitian itu menunjukkan kalau “penghargaan” DUDI terhadap lulusan SMK menurun.  Jika dianalisis lebih jauh, pembukaan SMK baru, baik swasta maupun negeri, tidak dibarengi dengan penyiapan guru dan sarana sekolah (khususnya sarana praktek) yang memadai, sehingga mutu lulusan SMK yang baru tersebut kurang bagus.  Akibatnya “penghargaan” DUDI menurun.