Sabtu, 29 Oktober 2016

YOU KNOW, THIS IS CUSTOM.....



Ketika mendarat di bandara Bremen tanggl 10 lalu, saya dan isteri terbebani perasaan sedikit takut.  Mengapa, karena membawa berbagai makanan pesanan Kiki, anak sulung yang tinggal di Edinburgh.  Apa saja?  Ada sambal ikan rowa, daun jeruk, keripik tempe Malang, emping melinjo, abon sapi, dan tentu saja indomie untuk persiapan ketika baru datang di Bremen.  Isteri ngotot membawa sambel ikan rowa, karena itu pesanan Kiki kepasa Camel, menantu kami. Dari Indonesia, kami sudah memutuskan untuk men-declare kepada petugas bea cukaiMengapa saya ingin men-declare barang yang harganya tidak seberapa itu?  Karena jika tidak di-declare dan ketahuan,denda sangat mahal berkali-kali lipat dibanding harga barang itu.  Kalau di-decale dan ternyata tidak boleh, ya dibuang saja.

Kami datang sekitar jam 09 pagi, dan ketika antre pengecekan imigrasi seperti azinya masuk negara lain.  Petugasnya hanya 2 orang, sehingga kami antre sangat panjang, dan celakanya kami dapat urutan yang paling belakang.  Orang-orang yang antre di belakang kami pada lari, ke jalur sebelar-jalur warganegara Uni Eropa, ketika jalur itu kosong.  Oleh karena itu, ketika selesai pengecekan paspor dan akan mengambil barang, tempat pengambilan bagasi sudah sepi. Ban berjalan juga sudah berhenti, dan dua koper besar kami tinggal sendirian di atas ban berjalan yang sudah berhenti itu.

Karena koper cukup berat dan ukurannya besar, maka saya segera mencari troli, sementara isteri menunggu di dekat koper.  Setelah dapat troli dan menaikkan dua koper besar ke atasnya, plus koper kecil yang dibawa ke cabin, saya mengajak isteri menuju pintu untuk penumpang yang membawa barang dan perlu di-declare atau pemeriksaan oeh bea cukai.  Saya melihat masih ada beberapa orang yang ada di situ.  Seperti biasanya, memang koper dibuka dan penumpang diminta menunjukkan barang yang di declare. Kadang-kadang terjadi tanya jawab agak panjang, karena petugas tidak mengenal barang yang dibawa penumpang.

Ketika kami antre, tiba-tiba terdengar suara seperti memanggil. Saya menoleh, ternyata benar.  Petugas bea cukai yang berdiri di depan pintu tanpa declare memanggil kami berdua.  Ya, kami mendorong troli berbalik arah ke petugas itu.   Dia bertanya, apakah kami pertama kali ke Bremen.  Isteri saya menjawab, “no this is the second dan he is for the fifth” (sambil menunjuk saya).  Sambil manggut-manggut, pertugas itu berkata, “you know, this custom”, sambil menunjuk baju seragamnya.  Saya bengong, karena tidak tahu maksudnya.  Kan saya ingin men-declare barang yang saya bawa dan untuk itu akan keluar lewat pintu declare.

Melihat saya bengong, petugas itu kembali berkata, “this is custom-sambil menunjuk baju seragamnya, and this exit gate”.  Sambil masih bingung saya segera mendorong troli keluar pintu yang disediakan untuk penumpang yang tidak perlu men-declare barang. Saya mendorong troli agak cepat dan segera berbelok untuk mencari tempat yang akan kosong untuk istirahat sejenak.

Sampai di luar, saya diskusi dengan isteri.  Kok aneh ya, penumpang yang men-declare barang bawaan malah disuruh langsung keluar.  Pada hal yang lazim terjadi, penumpang yang ingin keluar pintu tanpa declare dan petugas bea cukai curiga, akan disuruh balik dan keluar lewat pintu declare untuk diperiksa barang bawaannya.   Nah, kalau ternyata ada barang bawaan yang tidak boleh masuk, penumpang yang bersangkutan dianggap menyelundupkan barang dan oleh karena itu barangnya dirampas dan penumpang dikenakan denda sangat mahal.  Bahkan jika barangnya membayakan, penumpang bisa diintegorasi panjang.

Saya memang beberapa kali membawa barang, keluar bandara lewat pintu declare dan setelah petugas bertanya apa barang yang dibawa, dia mengatakan “please go a head”.  Tetapi itu biasanya saya hanya membawa mie dan saya mengatakan “I bring nudle”.  Nah, kali ini yang kami bawa ada sambal ikan rowa, daun jeruk dan abon sapi”.  Informasi yang saya dapat,  barang dari daging dan tanaman tidak boleh masuk ke Eropa.

Isteri saya mengatakan “mungkin wajah kami culun dan sudah tua, sehingga petugas yakin tidak membawa barang yang membahayakan”.  Atau mungkin orang Melayu, kalau toh membawa barang ya makanan.  Namun, bukankah isteri saya berkerudung dan konon mengundang kecurigaan.  Atau orang Jerman yakin orang Indonesia baik-baik, sehingga tidak perlu dicurigai? Pertanyaan itu sampai saat ini belum mendapat jawaban yang tuntas sampai sekarang.  Untung juga jadi orangtua yang berwajah culun ya.

Kamis, 27 Oktober 2016

MENGAPA KITA TIDAK DIKENAL DI LUAR NEGERI YA?



Tanggal 26 Oktober 2016 kemarin saya diundang oleh Dr. Irene Malcolm, head of Centre for Academic Leadership and Developent, University of Heriot Watt, untuk mengikuti symposium dengan tema “Enhancing Teaching through Innovative Pedagogies and Technology”.  Dalam borsur disebutkan yang akan menjadi keynote speaker adalah Prof Linda Price, head of Technology Enhancement Learning sekaligus professor of educational technology dari Kingston University London dan juga professor of engineer di Lund University Swedia.

Walaupun pada hari itu saya sebenarnya punya acara, saya memutuskan untuk hadir, karena Heriot Watt terkenal sebagai university of applied sciences yang konon sangat kuat di bidang teknologi yang terkait dengan enerji.  Juga terkenal dengan risetnya di bidang renewable energy.  Apalagi, saya diundang khusus oleh Irene dan bukan hanya dari melihat brosus.

Acara dimulai ja 13.00 dengan registrasi dan makan siang (tentu gaya Eropa). Saya memutuskan datang sedikit lebih awal, dengan harapa dapat bertemu dengan beberapa peserta untuk berkenalan dan mencari tahu siapa yang punya minta riset yang sama.  Ketka saya datang, baru ada 3 orang yang berdiri di luar ruang, yaitu Irene, Prof Linda dan seorang perwakilan Heriot Watt di Malaysia.  Jadilah kami ngobrol bertiga, sambil menikmati makan siang.  Saya juga sempat dikenalkan dengan Lindsay, yang punya riset tentang pembelajaran.  Juga sempat ngobrol dengan dosen dari school of textile yang saya lupa namanya.

Ketika pukul 13.40 acara dimulai dan dibuka oleh Professor John Sawkins, deputy vice principal.  Yang mengagetnya ternyata symposium itu wahana menawarkan semacam teaching grant kepada dosen untuk meningkatkan mutu perkuliahan.  Prof Sawkins menjelaskan uangnya tidak banyak, hanya 8.000 punds dan itu untuk seluruh kampus (saya tidak tahu berapa per orang). Yang dipentingkan adalah agar dosen dapat saling bertugas pengalaman tentang apa dan bagaimana mengajar yang baik.  Mendengar itu, dalam hati saya berkata “lha kalau itu, Unesa pernah melakukan dengan teaching grant-tetapi tidak sukses, karena konon dosen menganggap dananya terlalu kecil”.

Setelah sambuatan Prof Sawkins, Dr. Irene Malcolm menjelaskan acara, sambil memperkenalkan tamu dari luar Heriot Watt University, tentu termasuk saya.  Setelah itu, Prof Linda Price menyampaikan keynote speech.  Sebenarnya saya lebih tertarik melihat orangnya, karena cantik-walaupun sudah berumur.  Berambut pirang, dengan gaun merah diatas lutut dan stocking warna hitam, dengan gaya presentasi yang cukup baik.

Hanya saja pidatonya, menurut saya, sudah kuno. Prof Price memulai uraiannya dengan menunjukkan gambar/foto yang membandikan dapur jaman kuno dengan dapur sekarang.  Alat mencuci baju jaman kuno dengan mesin cuci modern.  Mobil jama  kuno dan mobil listrik sekarang.  Itu semua untuk mengambarkan “dunia sudah berubah”.  Setelah itu, beliau menunjukkan foto anak-anak sekolah jaman dahulu dan sekarang, yang menurutnya tidak banyak berubah.  Dia memberi uraian panjang lebar untuk meyakinkan “dunia luar sekolah sudah berubah, mengapa dunia pembelajaran tetap saja seperti jaman dahulu”.

Setelah itu, beliau menunjukkan gambar guru yang menghadapi gajah, monyet, ikan dan beberapa binatang lainnya.  Pada gambar itu tertulis, “for fair treatment you have to learn....”. Tampaknya beliau ingin menggambarkan, anak memiliki potensi masing-masing, sehingga tidak cocok prinsip “one fit for all”.  Masih banyak ilustrasi yang ditayangkan.

Ujung-ujungnya beliau menyarankan pergeseran paradigma pendidikan, dari “instruction into learning”, dari “assessment of learning into assessment fo learning”, memperkenalkan problem based learning/project based learning dan authentic assessment.  Memperkenalkan life skills dan seterusnya.  Sekali lagi, dalam hati saya berguman “lha itu sih sudah kami diskusikan beberapa tahun lalu di Indonesia”.

Ketika mendapat kesempatan bertanya, saya tidak bertanya tetapi berbagi pengalaman.  Saya sampaikan bahwa saya pernah menyampaikan paper di TVET International Conference  di Jerman September lalu, tetang Project Based Learning untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis dan kreativitas.  Saya juga menyampaikan paper itu dapat diperoleh online pada conference proceeding.  Mudah-mudahkan dapat memperkaya (enrichment what we are discussing today).

Ketika pulang, naik bus saya merenung.  Sebenarnya kita tidak tertinggal, bahkan sedikit lebih maju dengan negara lain, paling tidak dengan Heriot Watt University.  Mungkin saja, karena Heriot Watt adalah universitas yang fokus pada teknologi, sehingga “tertinggal” dalam bidang pembelajaran.  Namun, bukankah yang menyampaikan itu Prof Linda Price, seorang profesor dari bidang Educational Technology?  Saya jadi teringat, perbandingan antara Ki Hajar Dewantara dengan Benyamin Bloom.  Taksnolomi Bloom yang sering kita kutip itu, pertama kali disampaikan pada tahun 1956.  Konsep itu sangat mirip dengan apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1930, di depan rapat ulang tahun pertama Taman Siswa.  Jadi Ki Hajar 26 tahun lebih dahulu konsep itu.  Tetapi mengapa yang dikenal di dunia internasional adalah Bloom? Dan bukan Ki Hajar?  Mengapa pemikiran kita yang ternyata “lebih maju” dibanding Prof Linda Price, itu tidak dikenal oleh kalangan internasional?

Mungkinkah karena kita kurang menulis dan kalau menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga kalangan internasional tidak dapat membaca?  Jujur saya tidak tahu jawabannya.  Namun paling tidak, menambah keyakinan saya, bahwa orang Indonesia itu setara dengan bangsa lain di dunia.  Toh kita punya Habibie, Nurcholis Majid dan tokoh-tokoh lainnya yang sangat dikagumi dunia internasional.

Rabu, 26 Oktober 2016

KEBUTUHAN ATAU KESADARAN YA?



Ketika membantu bersih-bersih di rumah anak di Edinburgh, saya menemukan botol berisi biji-bijian. Ada beras, ada semacam gandung dan berbagai bijian lain.  Tempatnya botol kaca yang mungkin bekas botol selesai atau sejenis itu.  Saya agak lama mengamati, karena bingung itu bijian apa dan untuk apa disimpan di almari bareng perlengkapan dapur.  Apa untuk dimasak?  Kalau ya, mestinya tidak dicampur seperti itu.  Apa itu sisa?  Jika ya, untuk apa disimpan.

Karena tidak menemukan jawabannya, saya bertanya kepada Kiki-anak saya, untuk apa bijian-bijian itu.   Jawabannya dan penjelasannya sungguh mengagetkan.  Biji-bijian untuk dipersiapkan untuk makanan burung ketika musim dingin (winter) tiba. Di musin itu sangat sedikit pohon yang berbuah, sementara tanah akan banyak salju.  Dahulu ketika belum banyak perumahan dan masih banyak pohon-pohon besar, burung masih dapat mencari buah-buahan dari pohon seperti itu.  Sekarang pohon besar sudah banyak berkurang, karena ditebang dan lahannya untuk perumahan.  Oleh karena itu, agar burung tidak mati kelaparan pada musim dingin, orang pada memberian makanan.  Sambil menunjuk ke rumah sebelah, Kiki menunjukkan bahkan tetangga sebelah memiliki tempat untuk menaruh makanan burung itu.  Mirip kandang merpati, dengan tinggi sekitar 1,5 meter, lebih kecil dan tidak punya dinding.

Mendengar penjelasan itu, isteri saya berkomentar “di rumah tenggilis juga da tampah yang digantung di lantai atas dan disitu diletakkan nasi basi”.   Memang itu benar, namun rasanya alasannya berbeda.   Di kampung saya, Tenggilis Mejoyo Surabaya, mungkin banyak orang yang menjemur nasi basi dan membiarkannya dimakan burung.  Namun saya menduga, tujuannya bukan memberi makan burung, tetapi agar nasi basi dapat dimanfaatkan.  Sedangkan di Edinburgh, orang yang menaruh makanan burung di luar rumah bertujuan agar di musin dingin burung tetap mendapatkan makanan, sehingga tidak mati kelaparan.

Selesai itu, saya mencoba mengingat kejadian di kampung saya, pedesaa pinggiran Ponorogo, tahun 1960 akhir atau tahun 1970an.  Waktu itu hama tikus merajalela dan merusak segala macam tumbuhan yang ditanam petani.  Padi, kedele, jagung hampir tidak ada yang panen.  Kemudian muncul pestisida, yang kalau tidak salah nama endrin.  Petani berusaha membasmi tikus dengan racun itu. Caranya endrin dicampur dengan berbagai bahan atau makanan yang diyakini disenangi tikus.  Seingat saya, tikus memang berkurang, tetapi burung-burung juga banyak yang mati.  Mungkin ikut makan racun yang sebenarnya untuk tikus.  Seingat saya, waktu itu burung perkutut, derkulu, dan burung-burung lain yang biasanya banyak bertebangan di kebun hampir tidak ada lagi.  Kicau burung yang biasanya ramai di pagi hari juga sangat jarang terdengar.

Saya tidak tahu pasti bagaimana persaan masyarakat saat itu.  Seingat saya, kami-orang di pedesaan itu, juga tidak pernah memikirkan. Tidak merasa kehilangan atau risau denga tidak banyaknya burung di sekitar rumah.  Memang kami sering “rasan-rasan” tentang burung yang banyak mati karena makan racun tikus.  Namun seingat saya, kami tidak pernah risau dan tidak merasa bersalah dengan kejadian itu.

Baru sekitar awal tahun 1990an ketika burung kembali banyak, saya gembira ketika di RT kampung kami ada larangan menembak burung.  Saya pikir ada kemajuan pemikiran, agar burung tidak habis lagi.  Lebih gembira lagi, ketika larangan seperti itu sekarang banyak diterapkan di berbagai lokasi dan kampus.  Tampaknya kehadiran burung di sekitar rumah telah menjadi kenikmatan yang dibutuhkan orang-orang di kampung, baik di Ponorogo maupun Surabaya atau daerah lain.

Kembali pada fenomena memberi makan burung pada musim dingin di Edinburgh, itu karena masyarakat memerlukan kehadiran burung sebagai bentuk kenyamanan lingkungan atau karena kesadaran masyarakat untuk memberi makan burung agar mereka tidak mati kelaparan di musim dingin.  Pada alasan pertama, burung difahami sebagai bentuk hiburan yang harus ada, sedangkan yang kedua burung difahami sebagai makhuk yang harus dijaga kehidupannya.  Jujur saya tidak tahu.