Sabtu, 30 Desember 2017

TELITI SEBELUM MEMBELI



Minggu lalu saya mempresentasikan hasil UKM PPG (Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru) di hadapan Panitian Pengarah.  Sebagaimana diketahui Panitian Nasional UKM PPG terdiri dari tiga level, yaitu pembina, pengarah dan pelaksana.  Pembina adalah para menteri yang terkait dengan guru, pengarah adalah para dirjen, direktur yang terkait dengan guru dan beberapa rektor LPTK sebagai perwakilan lembaga penyelenggara PPG.  Semua kebijakan diputuskan oleh Panitia Pengarah, sehingga sebagai ketua Panitia Pelaksana saya harus mempresentasikan analisis hasil UKM PPG disertai beberapa rekomendasi.  Panitia Pengarahlah yang menentukan keputusannya.

Ketika saya selesai melakukan presentasi, Prof Intan Ahmad (Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristek Dikti) sebagai ketua Panitia Pengarah mencoba mencari pola dari data yang kami sajikan.  Ternyata tidak ketemu dan kemudian berkomentar “saya tidak menemukan polanya ya”.   Pertanyaan khas seorang akademisi (beliau guru besar Biologi ITB), yang selalu mencari pola dari data yang dihadapi.  Dengan pola itu dapat dilakukan analisis lanjutan secara substansi untuk memahami apa di balik data itu.

Saya juga tercenung mendapat pertanyaan Pak Intan.  Sambil menunggu respon anggota Panitia Pengarah lainnya, saya minta Mas Alfath (Tim Ahli IT dan Unnnes) untuk mencoba mengolah data secara cepat, dengan mengelompokkan peserta UKM PPG berdasarkan asal S1-nya.  Artinya dari mana peserta UKM PPG itu lulus S1.  Setelah itu dilakukan analisis berapa tingkat kelulusannya.  Logikanya, jika S1-nya berkualitas tentu pelung sukses di PPG, termasuk lulus UKM PPG besar.  Toh PPG hanya satu tahun dan itu lebih difokuskan kepada latihan menjadi guru, sehingga penguasaan teori lebih mengandalkan ketika S1.

Tidak sampai 45 menit Mas Alfath selesai dan sungguh mencerahkan hasilnya.  Ketika LPTK asal S1 peserta UKM PPG diranking berdasar tingkat kelulusannya, tampak sekali kalau lulusan LPTK “bagus” tingkat kelulusannya sangat tinggi.  Tingkat kelulusan pada LPTK ranking 1 s.d 10 ternyata hampir 80% (angka pastinya 79,31%).  Jadi tidak tingginya tingkat kelulusan UKM PPG karena “ditarik ke bawah” oleh LPTK yang “kurang baik”, sehingga rata-rata hanya 49%.

Tampaknya LPTK yang tergolong “bagus” masih didominasi oleh LPTK negeri.  Sampai ranking 20 hanya satu buat LPTK swasta yang memang selama ini dikenal sebagai PTS berkualitas bagus bahkan sejajar dengan universitas “besar”.  Pada ranking bawah yang tingkat kelulusanya rendah (di bawah 10%) didominasi oleh LPTK swasta yang selama ini belum bagus mutunya.

Mengingat PPG adalah satu-satunya pintu untuk memperoleh sertifikat pendidik, dan sertifikat pendidik adalah syarat untuk menjadi guru, maka kualitas S1 LPTK menjadi penting difahami oleh siapa saja yang ingin menjadi guru.  Jangan sampai masuk LPTK yang kualitasnya kurang baik, sehingga sulit untuk lulus UKM PPG.  Pada hal aturan di UKM PPG, peserta yang tidak lulus hanya memiliki kesempatan mengulang sebanyak 4 kali selama 2 tahun.  Jika sudah mengulang 4 kali dan tidak lulus, kesempatan memperoleh sertifikat pendidikan tertutup.

Oleh karena itu, lulusan SMA/SMK/MA yang ingin jadi guru harus hati-hati memilih LPTK.  Sebelum mendaftar ada baiknya mencari tahu berapa alumni LPTK tersebut yang sudah berhasil lulus PPG dan memperoleh sertifikat pendidik.  Jangan sampai tergoda oleh iklam atau iming-iming itu dan itu yang kemudian menyesal di kemudian hari.  Sebaiknya fihak Kemenristek Dikti juga memberikan panduan bagaimana lulusan SMA/SMK/MA mengetahui kualitas LPTK baik negeri maupun swasta.  Ibarat ke pasar, teliti sebelum membeli itu penting bagi lulusan SMA/SMK/MA dan Dinas Pasar harus memberi informasi mana dagangan yang baik dan mana yang kurang baik.

Selasa, 26 Desember 2017

PETA KONSEP



Semester genap ini saya mendapat tugas mengampu MKPD (matakuliah penunjang disertasi) untuk Leadership bersama Prof Ali Imron dari Universitas Negeri Malang.  Tentu kami harus berbagi waktu dan memutuskan Prof Ali Imron yang memilih waktu lebih dahulu, karena beliau dari luar kota.  Saya memanfaatkan jadwa kuliah ketika beliau tidak ke Surabaya.

Saat pertama kali masuk kelas, saya kaget karena yang ikut kuliah banyak sekali, yaitu 10 orang.  Lazimnya peserta MKPD hanya 2-4 orang, karena hanya mereka yang penelitian disertasinya terkait dengan MKPD tersebut.  Dalam pikiran saya, hanya mahasiswa yang penelitiannya terkait dengan kepemimpinan yang ikut matakuliah MKPD-Leadership.  Agak aneh kalau dalam satu angkatan sampai 10 orang yang memiliki penelitian terkait dengan hal yang sama.

Saya sempat menanyakan hal itu kepada para mahasiswa, tetapi sepertinya mereka memiliki berbagai alasan.  Ketika masing-masing mahasiswa saya minta menyebutkan topik penelitian disertasinya, ternyata hanya satu orang yang penelitiannnya benar-benar tentang kepemimpinan pendidikan dan satu orang lagi sedikit terkait.  Lantas mengapa mereka ikut MKPD-Leadership?  Alasanya macam-macam.  Ada yang mengatakan topik penelitian yang tadi disebutkan masih belum pasti dan saat inipun masih sedang mencari-cari.  Ada yang mengatakan memang semua mahasiswa mengikuti semua matakuliah MKPD, baik yang Leadership, Planning, maupun yang Audit.

Karena peserta pada umumnya dosen, guru senior dan pejabat di beberapa lembaga pendidikan, saya menyampaikan bahwa pendekatan kuliah di pascasarjana apalagi di level S3 itu andragogi.  Mahasiswa diyakini sudah mengetahui kebutuhan untuk kuliah, mengetahui pengetahuan apa yang diperlukan dan tugas dosen adalah mendampingi agar mahasiswa lebih mudah memperoleh pengetahuan itu.  Namun kalau mahasiswa peserta MKPD belum tahu apa yang ingin diketahui, tentu menjadi repot.

Melihat kondisi itu, saya menjadi ragu “seberapa bekal pengetahuan mahasiswa tentang teori leadership, khususunya kepemimpinan pendidikan”. Biasanya hanya mereka yang disertasinya terkait dengan itu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, satu demi satu saya minta menjelaskan peta konsep yang mereka ketahui tentang teori kepemimpinan pendidikan.   Saya terkejut lagi, mereka tidak dapat menjelaskan dengan baik.  Mereka menyebutkan sepotong-sepotong dan cenderung mencampuradukan teori dengan teknik penerapan. 

Saya dibuat bingung oleh keadaan itu.  Sepanjang yang saya fahami, MKPD dirancang untuk membantu mahasiswa mempelajari konsep dan teori yang terkait dengan topik penelitian disertasi yang sedang atau akan dilakukan.  Bentuk kuliah lebih fokus mereview berbagai jurnal mutakhir yang relevan, sehingga menemukan state of the art bidang kajian itu.  Asumsinya mereka sudah “memegang peta konsep teorinya” yang didapat ketika kuliah sebelumnya dan diperdalam ketika menyusun rancangan penelitian.

Karena bingung, pada pertemuan berikutnya saya bawakan buku “Leadership: Theory & Practice” tulisan Peter G. Nirthouse, dan saya sampaikan buku ini sebenarnya buku untuk level S2, bukan untuk S3.  Apa mereka pernah membaca?  Ternyata belum.  Memang yang saya tunjukkan yang edisi ke-7 terbitan 2016, namun toh sudah ada edisi sebelumnya.  Dan mereka belum pernah membaca.  Saya pancing apakah pernah membaca teori authentic leadership?  Ternyata juga belum.   Lantas buku apa yang mereka baca?

Saya jelaskan, dari pengalaman banyak mahasiswa gelagapan ketika ujian dan ditanya grand theory yang digunakan dan bagaimana kaitannya dengan teori lain.  Akhirnya saya dan mahasiswa sepakat membedah buku Peter G. Northouse itu dan kemudian membuat peta konsep yang diuraian pada buku itu.  Harapannya mahasiwa dapat menggandengkan trait theory, skill theory.....tranformational leadership theory, sampai pada psychodynamic theory.

Apa yang menarik dalam proses perkuliahan tersebut?  Mahasiswa tidak mengalami kesulitan memahami berbagai teori yang diuraikan dalam buku tersebut. Bahkan mahasiswa dapat mengaitkan teori yang mereka baca dengan praktek kepemimpinan yang dia pernah ikuti (beberapa mahasiswa merupakan pejabat) maupun yang dibaca di buku pelatihan.  Namun ketika saya minta mengaitkan satu teori dengan teori lainnya mereka kebingunan.  Misalnya bagaimana mengatikan dengan behavioral theory dalam kepemimpinan dengan kepemimpinan situasional,  Bagaimana mengaitkan path-goal theory dengan adhaptive leadership theory.

Apakah itu gejala umum atau hanya pada mahasiswa peserta kuliah MKPD yang saya dan Prof Ali Imron ampu?  Saya tidak tahu.  Tetapi menurut saya fenomena itu serius.  Kalau mahasiswa S3 belum mampu membuat peta konsep dari bidang ilmu yang dipelajari tentu merupakan masalah serius.  Pemahaman sepotong-sepotong yang lepas tentu saja tidak cukup.  “Tumpukan” pengetahuan yang tidak dapat dipetakan ibarat puzle yang berserakan tanpa membentuk sesuatu wujud yang utuh”.   Mungkinkah itu merupaka kekeliriuan belajar kita selama ini?  Atau para guru dan dosen memang tidak mengajarkannya kepada siswa dan mahasiswa?   Sesuatu yang perlu kita renungkan.

Jumat, 15 Desember 2017

KKM-NBL-STANDARD SETTING



Sejak kemarin lusa sampai pagi ini di WAB teman-teman Vokasi sedang ramai mendiskusikan KKM (kriteria ketintasan minimal).  Beberapa hari lalu ada perdebatan seru ketika menentukan NBL (nilai batas kelulusan) suatu pendidikan profesi.   Seperti biasanya, diskusi berjalan seru, bercampur antara argumentasi teoritik, praktik lapangan dan pendapat pribadi.

Ada teman yang membandingkan KKM dan NBL dengan alat ukur di dunia keteknikan.  Mengapa kita tidak memiliki alat ukur dan kriteria standar seperti di dunia keteknikan?  Di dunia keteknikan kita punya alat untuk mengukur panjang (meteran), suhu (termoteter) dan sebagainya.  Kita juga punya kriteria penggunakan alat, misalnya untuk pelumas mesin sepeda motor honda, diperlukan oli dengan kekentalan sekian.

Mengapa untk KKM dan NBL seperti ruwet?  Ya, karena: (1) kita tidak atau belum memiliki alat ukur yang standardized seperti termometer, meteran yang terkalibrasi, (2) kita tidak atau belum punya kriteria baku seperti apa kinerja/kemampuan minimal siswa/mahasiswa yang dianggap menguasai bidang/sub bidang keahlian tertentu.

Saya sering membandingkan dengan dunia keteknikan yang relatif telah memiliki keduanya. Kita memiliki termometer untuk mengukur suhu dan bahkan berbagai jenis termometer yang masing-masing dirancang untuk mengukur suhu benda tertentu.  Kita punya timbangan untuk mengukur berat dan bahkan banyak jenis timbangan yang masing-masing dirancang untuk mengukur benda tertentu.  Untuk memastikan kelayakannya (masih standar), alat ukur tersebut dapat dikalibari dan untuk itu ada lembaga yang bertugas melakukannya.

Pada mobil ada indikator suhu, kecepatan dan putaran mesin.  Biasanya pada indikator tersebut ada garis atau batas berwarna merah yang artinya jika suhu mencapai itu, putaran mesin mecapai itu, kecepatan mobil mencapai itu, sudah melewati batas aman, sehingga harus dihindari.   Batas aman itu menunjukkan mesin atau desain mobil sudah tidak mampu menahan suhu/putaran/kecepatan itu.

Jadi untuk menentukan KKM diperlukan dua tahapan penting.  Pertama, tentu disusun tes yang ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensinya.  Kedua, berdasarkan tes tersebut ditentukan just qualified candidate (JQC) yaitu kemampuan minimal seseorang yang dianggap menguasai kompetensi yang diujikan.  Proses seperti itu disebut proses standard setting untuk menentukan NBL maupun KKM.

Beberapa hari lalu, dilaksanakan standard setting untuk PPG (Pendidikan Profesi Guru), khususnya uji teori. Untuk itu sejumlah pakar menyusun tes berdasarkan CP (capaian pembelajaran) yang telah disusun oleh Tim Dikti.  CP itu juga yang dijadikan dasar penyusunan kurikulum PPG dan penyusunan bahan ajarnya.  Dengan demikian, apa yang dipelajari selama PPG dan apa yang diujikan merupakan hal yang sama.

Setelah tes selesai disusun, divalidasi, diujicoba dan disempunakan sehingga memenuhi standar tes, selanjutnya dilaksanakan proses standard setting.  Diundang sejumlah pakar bidang yang relevan.  Ada pakar yang mewakili “kelas tinggi” yang cenderung idealis dan biasanya minta standar tinggi, ada pakar yang mewakili “kelas pragmatis” yang biasanya cenderung menentukan standar rendah, ada yang mewakili pengguna lulusan dan sebagainya.

Pada tahap pertama, para pakar tersebut menyepakati indikator apa yang menunjukkan kemampuan minimal guru yang baik (JQC).  JQC bukanlah indikator guru ideal, tetapi kemampuan minimal guru yang layak mengajar sesuai bidangnya.  Tahap ini ternyata memakan waktu cukup panjang, karena masing-masing pakar memiliki pandangan yang berbeda.  Nah setelah diskusi cukup lama, baru mereka menyepakati.

Setelah JQC disepakati, para pakar mencermati setiap butir tes.  Pada setiap butir tes, mereka memperkirakan probalilitas mahasiswa JQC mampu menjawab benar.  Secara sederhana membayangkan jika ada 100 orang mahasiswa yang kemampuannya sama dengan JQC, kemudian mereka diberikan butir soal tertentu, berapa orang yang mampu menjawab benar.  Setelah itu setiap pakar menjelaskan mengapa memberi skor itu yang mungkin berbeda dengan pakar lain.  Catatannya setiap pakar tidak harus mengikuti pendapat pakar lain.  Seluruh rangkaian mulai mencermati butir tes, memberi skornya dan menjelaskan alasan pemberan skor tersebut disebut satu putaran.

Setelah putaran pertama selesai, dimulai putaran yang kedua dengan cara yang sama.  Setelah itu dilakukan putaran ketiga, tetapi tanpa penjelasan alasan pemberian skor.  Skor dari masing-masing pakar anggota panel kemudian dirata-rata, dan itulah yang disebut dengan cutting off atau NBL atau untuk keperluan lain disebut KKM. 

Jadi cutting off atau NBL atau KKM dapat berbeda setiap matapelajaran, berbeda setiap KD (kompetensi dasar).  Mengapa demikian, karena kita tidak atau belum memiliki soal yang benar-benar standar.  Mungkinkah kita punya NBL dan KKM yang sama untuk semua matapelajaran dan semua KD?  Mungkin saja, tetapi setelah kita menyusun soal yang standar dan memang tingkat kesulitannya sama.  Dan tentu untuk itu diperlukan usaha keras dan waktu yang lama.  Kalau tidak, NBL dan KKM yang dipatok sama akan menjadi “sesuatu yang membingungkan”.