Selasa, 31 Oktober 2017

PARADIGMA BERPIKIR



Sejak beberapa bulan lalu saya terlibat dalam tim Revitalisasi Pendidikan Vokasi yang diketuai Prof. Waras Kamdi dari UM.  Anggotanya lain antara lain, Dr. Ananto Kusuma (staf ahli Mendikbud), Dr. Agus Setiawan dari UPI, Dr. Bruri dari UNY, Prof Djoko Kustono dari UM, dan masih ada beberapa orang lagi.  Di samping orang-orang tersebut tentu ada pimpinan/staf Dit PSMK (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan), sebagai pemilik kegiatan.

Ketika pertama ikut rapat, saya mencoba memahami apa yang dimaksud dengan revitalisasi.  Apakah sekedar menguatkan SMK, Kursus Keterampilan yang ada sekarang?  Ataukah mencoba merancang SMK, Kursus Keterampilan dan pendidikan keterampilan lain agar mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.  Tampaknya tim belum satu bahasa.  Sebagai anggota baru, saya tidak berani menanyakan lebih jauh atau mendesak untuk mendapatkan satu kesepakatan.  Jadi saya pasif saja dan berusaha mengikuti apa yang sudah berjalan.

Setelah beberapa kali ikut rapat saya mulai dapat melihat sudut pandang masing-masing peserta rapat. Tentu setiap orang memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang sangat mungkin berbeda satu dengan lainnya.  Namun tampak sekali kalau ada beberapa teman yang berpikiran revitalisasi artinya menguatkan SMK yang ada saat ini, misalnya dengan menambah peralatan workshop, meningkatkan kompetensi guru, menguatkan hubungan SMK dengan DUDI. 

Teman seperti itu sepertinya tidak memiliki keinginan untuk mempertanyakan apakah program-program di SMK yang saat ini ada sesuai dengan tuntutan dunia kerja, khususnya jika dikaitkan dengan perkembangan iptek yang sangat cepat.  Sebagaimana diketahui dari berbagai studi dunia kerja berubah dengan cepat.  Pekerjaan yang sekarang ada dan bahkan populer bukan tidak mungkin akan hilang dalam beberapa tahun mendatang.  Bersamaan dengan itu akan mucul pekerjaan baru yang saat ini belum terbayangkan.  Pertanyaannya, bagaimana program di SMK agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat sukses dalam situasi semacam itu.

Ketika beberapa teman yang lain mencoba menjelaskan fenomena itu, sepertinya tidak mendapatkan respons yang memadai.  Saya tidak tahu, apakah teman lainnya tidak faham atau “terperangkap” dalam kerutinan pekerjaan, sehingga menjadi miopik.  Suatu saat saya menambahkan pandangan dengan memutar sebuah film pendek tentang tuntutan dunia kerja itu, ternyata beberapa teman tersebut tidak menanggapi.  Mereka tertarik pada film tersebut, tetapi setelah itu juga terus hilang begitu saja.  Saya dan beberapa teman sampai kerepotan untuk mengajak teman-teman itu untuk memahami fenomena yang menuntut perubahan pendidikan, termasuk di SMK.

Merenungkan kerepotan itu, saya teringat konsep difusi inovasi yang menyebutkan bahwa respons terhadap suatu hal baru, orang dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu early adpter, late adopter dan lagard.  Orang yang tergolong early adopter adalah mereka yang segera memahami dan mengadopsi suatu inovasi atau fenomena baru dan konon jumlahnya hanya 16%.  Orang yang termasuk late adopter adalah mereka yang sulit memahami fenomena baru atau mengadopsi suatu inovasi dan menunggu orang lain memberi contoh. Populasi kelompok late adopter sangat besar yaitu 68%.  Orang yang termasuk lagard adalah mereka yang sangat sulit memahami perlunya perubahan dengan mengatakan “kita tidak perlu berubah”.  Jumlah kelompok lagard sama dengan early adopter yaitu 16%.

Setelah mencoba menggunakan konsep tersebut, saya dapat memahami mengapa hanya beberapa orang dari tim itu yang “berani keluar dari perangkap” untuk mencari model pendidikan vokasi yang sesuai dengan tuntutan zaman.  Tampaknya hanya mereka yang termasuk early adopterlah yang berani keluar perangkap.     

Senin, 30 Oktober 2017

SCHOOL OF THOUGHT



Suatu saat saya ikut menguji tesis di jenjang S2 suatu perguruan tinggi.  Kebetulan mahasiswa yang diuji adala seorang guru sebuah sekolah kejuruan yang tua dan cukup terkenal.  Konon sekolah itu didirikan pada zaman Belanda dan gedung-gedungnya merupakan cagar budaya.  Guru yang sedang menempuh S2 itu cukup cerdas dan masih muda.  Oleh karena itu, ketika membaca tesis terbersit di benak saya untuk mendorong yang bersangkutan mengembangkan diri setelah selesai menempuh S2.

Presentasi tesis cukup menarik karena akan menghasilkan seuatu produk yang mungkin sangat bermanfaat untuk peningkatan kualitas pembelajaran di SMK.  Namun metoda penelitian kurang komprehensif, karena tidak mengkaji kualitas produk tersebut. Penelitian justru langsung melihat kemanfaatan dalam pembelajaran.  Tampaknya mahasiswa belum faham bahwa produk itu perlu diuji dulu secara substantif se

dan tanya jawab dengan para penguji, saya agak terkejut karena ada penguji yang kukuh dengan pendiriannya dan seakan menolak pendapat mahasiswa dan juga pendapat penguji lain.  Tampaknya pemahaman adanya school of thought kurang mendapat perhatian, pada hal para penguji tentu semua bergelar doktor dan bahkan beberapa orang profesor.  Saya risau karena kekukuhan pendapat seperti itu menunjukkan terbatasnya bacaan yang bersangkutan dan yang lebih mengkhawatirkan akan mendorong mahasiswa berpikir kerdil karena tidak mengakui pemikiran orang yang berbeda pendapat.

Sebagaimana kita fahami bersama, dalam dunia keilmuan kebenaran itu bersifat relatif dan banyak “aliran/teori/mazab” yang semuanya memiliki argumentasi masing-masing.  Pada beberapa bidang ilmu perbedaan seperti mudah “ditengahi”, tetapi pada bidang ilmu yang lain sulit dipertemukan karena sangat terkait dengan konteks sosial budaya.  Oleh karena itu adanya dua atau beberapa teori yang berbeda itu akan tetap berjalan dan memiliki “penganut” masing-masing.

Bahkan ada ahli yang mengatakan keberasaan beberapa “teori/aliran/mazab” seperti itu justru memberikan dampak positif karena akan mendorong kita mengkaji lebih lanjut untuk menemukan yang lebih mana yang lebih cocok dengan konteks sosial budaya atau masyarakat atau situasi yang kita hadapi.  Dan kajian sepertilah yang menjadi “pintu” perkembangan ilmu pengetahuan.

Apakah fenomena dosen yang saya temui itu hanya terjadi di satu tempat, yaitu tempat saya ikut menguji tesis itu?  Ternyata tidak.  Informasi yang saya dapat dari beberapa teman dosen, ternyata fenomena seperti itu juga terjadi di tempat lain.  Lantas apa yang dapat kita lakukan? Tampaknya perluasan wawasan bagi dosen sangat penting.  Dosen perlu didorong untuk sering membaca literatur baru dari berbagai penulis yang mungkin saja bukan bidang keahliannya.  Dosen juga perlu didorog untuk terlibat diskusi akademik lintas bidang agar mengetahui sudut pandang disiplin ilmu lain. Semoga.

Rabu, 18 Oktober 2017

KELUHAN GURU IPS



Beberapa minggu lalu saya kedatangan beberapa rekan alumni Unesa.  Seperti biasanya kita ngobrol ngalor ngidul, melepas rindu sambil berkelakar tentang masa lalu.  Tiba-tiba seorang rekan yang termasuk agak yunior menyampaikan keluhan.  Yang bersangkutan berprofesi sebagai guru IPS di sekolah swasta yang favorit di Surabaya dan bercerita kalau kelabakan ditanya muridnya yang memang dikenal pandai dan kritis.

Kami semua mendengarkan, karena memang ceritanya menarik.  Konon siswanya baru mendengarkan talk show di televisi dan mendapatkan informasi bahwa untuk dapat menjadi bupati atau walikota diperlukan biaya minimal 50 milyar rupiah.  Yang memberi informasi itu seorang tokoh dan tokoh lain yang hadir di talk show itu mengamini biaya itu.  Nah siswanya mengajukan dua pertanyaan: (1) untuk apa biaya sebesar itu?, dan (2) apakah gaji dan pendapatan bupati/walikota cukup untuk mengembalikan dana 50 milyar itu?

Pertanyaan logis dan cerdas, karena tentu dana yang dikeluarkan ketika mencalonkan diri itu harus dapat kembali dari penghasilan saat yang bersangkutan menjabat.  Mungkinkah ada seseorang yang mencalonkan menjadi bupati/walikota/gubernur tanpa dapat pengembalian dana itu, dengan alasan itu sebuah perjuangan untuk rakyat?  Mungkin saja, tetapi rasanya tidak banyak orang seperti itu.  Toh kenyataannya banyak orang yang mencalonkan diri menjadi bupati/walikota dan konon tidak ada bupati/walikota yang menjadi melarat setelah selesai menjabat.

Mungkin karena yang datang adalah teman lama dan tujuan mereka ngumpul bukan untuk diskusi, maka keluhan itu tidak mendapatkan tanggapan serius.  Boro-boro diberi bantuan untuk menjawab, justru teman yang bertanya itu dibuli: “Pertanyaan gitu saja, guru IPS tidak dapat menjawab”. “Coba saya kepala sekolahnya, pasti besuknya sampeyan tak pensiun”.   Ada lagi teman yang memberi komentar miring: “Toh banyak yang ingin jadi bupati dan walikota, pastilah penghasilannya lebih banyak dibanding yang dikeluarkan”.

Ketika teman-teman pulang, saya jadi ingat pendapat Prof Djoko Santosa, dosen ITB yang waktu itu menjadi dirjen Pendidikan Tinggi.  Suatu saat Pak Djoko bercerita, biaya politik kita ini sangat tinggi.  Saya lupa angka pastinya, tetapi Pak Djoko menyebutkan untuk menjadi anggota DPR memerlukan biaya yang tinggi, untuk menjadi bupati/walikota.gubernur memerlukan biaya yang lebih tinggi. Nah, selama biaya politik yang tinggi itu terjadi, maka akan ada saja oknum bupati/walikota yang korupsi untuk dapat pengembalian dana yang dikeluarkan. Saya bertanya, mengapa seperti itu?  Kata Pak Djoko, berapa penghasilan resmi anggota DPR/bupati/ walikota/gubernur.  Apa cukup untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan itu?  Apa ada orang yang mau jadi bupati/walikota/gubernur jika biaya saat mencalonkan diri tidak terkembalikan saat menjabat?

Saya mencoba menggandengkan keluhan teman guru IPS tadi dengan pendapat Pak Djoko Santosa.  Untuk menjadi bupati diperlukan biaya 50 milyar dan masa jabatan bupati itu selama 5 tahun.  Jika logika bahwa pengeluaran itu harus balik selama menjabat, maka dalam satu tahun bupati/walikota harus punya penghasilan 10 milyar.  Jika dihitung per bulan, berarti bupati/walikota harus memiliki penghasilan rata-rata 833 juta per bulan.

Saya tidak tahu berapa gaji bupati/walikota dan berapa penghasilan tambahan, misalnya tunjangan ini dan itu serta penghasilan lain.  Namun saya ragu apakah mencapai 830 juta rupiah dalam satu bulan.  Nah, jika perkiraan tersebut benar, maka apa yang dikatakan oleh Pak Djoko itu mungkin ada benarnya.  Jadi saya dapat mengerti jika teman guru IPS tadi kelabakan untuk menjawab pertanyaan muridnya.  Rasanya sulit untuk menjelaskan kepada siswa kalau penghasilan bupati itu lebih dari 833 juta per bulan.

Untuk apa dana 50 milyar itu?  Jujur saya tidak tahu.  Mungkin untuk biaya kampanye.  Tapi apa untuk kampanye perlu biaya sebesar itu?   Saya juga tidak tahu.  Namun yang saya pikirkan, seandainya uang sebesar itu didepositokan berapa keuntungan yang diperoleh.  Katakanlah menggunakan bank konvensional yang memberikan bunga 6% per tahun, berarti dari uang 50 milyar itu akan diperoleh bunga 3 milyar setahun atau 250 juta per bulan.  Pertanyaan yang muncul, untuk apa orang mengeluarkan uang sebanyak 50 milyar untuk menjadi bupati, pada hal kalau dana itu didepositokan akan mendapat penghasilan 250 juta per bulan atau 8,3 juta per hari.  Rasanya orang dapat hidup mewah dengan penghasilan 8,3 juta per hari.

Merenungkan angka-angka di atas, saya bingung sendiri.   Rasanya kok banyak yang tidak masuk akal ya.  Apakah akal saya yang tidak sampai atau memang dunia itu tidak selalu rasional. Untunglah saya tidak menjadi guru IPS sehingga tidak menghapi pertanyaan murid yang sulit dijawab.