Minggu, 28 Januari 2018

ANGIN SEGAR DARI BALITBANG



Jum’at tanggal 26 Januari 2018 pagi Kepala Balitbang Dikbud, Dr. Totok Suprajitno, dijadwalkan memberikan paparan tentang kebijakan akreditasi sekolah di depan anggota BAN SM.  Namun karena beliau mendapatkan tugas dari Mendikbud ke acara lain, akhirnya diwakili Sekretaris Balitbang Dikbud, Dadang Sudiyarto, MA.  Pak Totok hanya menitipkan satu pesan bahwa dalam akreditasi sekolah sudah saatnya kita bergeser dari sekedar compliance ke performance.

Tentu tidak mudah menangkap apa yang dimaksud kalimat tersebut.  Namun jika ditelusur ke beberapa pertemuan sebelumnya yang dilakukan Balitbang Dikbud, tampaknya Pak Totok atau secara kelembagaan Balitbang Dikbud ingin merubah paradigma pendidikan kita.  Sebagaimana pernah saya sampaikan di blog ini, Balitbang Dikbud melakukan beberapa kali curah pendapat tentang kualitas pendidikan yang diikuti oleh berbagai kalangan.  Bahkan sudah mulai ada tim khusus yang dinamakan Tim Kualitas Pendidikan dan dipimpin oleh Prof Satryo S. Brodjonegoro, mantan Dirjen Dikti.  Oleh karena itu menurut saya, satu kalimat “sudah saatnya kita bergeser dari compliance ke performance” yang dipersankan Pak Totok tersebut merupakan angin segar di tengah perkembangan mutu pendidikan di Indonesia yang boleh dikatakan stagnan.  Melalui tulisan pendek ini, saya ingin berbagi pendapat tentang pesan Pak Totok terebut.

Dalam beberapa referensi manajemen pendidikan, disebutkan bahwa mutu pendidikan banyak ditentukan oleh inovasi pembelajaran yang berlangsung disekolah itu.  Itulah sebabnya kita sering menyaksikan dua sekolah yang sarana-prasarananya sama, tetapi yang satu maju pesat, sementara yang lain biasa-biasa saja.  Kita juga sering menyaksikan, sekolah yang kepalanya berganti terus berubah dengan cepat.  Mengapa?  Karena perbedaan inovasi, baik antara sekolah pertama dengan sekolah kedua, atau kepala sekolah sekarang dengan sebelumnya.

Nah inovasi pembelajaran dan inovasi pengelolaan sekolah memerlukan dua syarat penting, yaitu kemampuan pelakunya (guru dan kepala sekolah) harus bagus dan mereka harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk mencoba ini dan itu sampai pada akhirnya menemukan pembaharuan yang baik.  Ruang gerak ini yang seringkali sangat terbatas, apalagi bagi sekolah negeri, karena bergitu banyak dan ketatnya aturan.  Apalagi jika pihak Dinas Pendidikan, khususnya pengawas sangat “taat aturan”, sehingga begitu sekolah melakukan inovasi yang berbeda dengan petunjuk teknis langsung disalahkan.

Pada sekolah swasta ruang gerak ini relatif lebih longgar, sehingga inovasi yang “menyimpang” dari pedoman pengelolaan sekolah dan pedoman kurikulum sering muncul di sekolah swasta.  Dengan dorongan harus berkembang agar tidak mati, sekolah swasta pada umumnya akan terus berinovasi bagaimana memanfaatkan sarana yang dimiliki untuk mendapatkan model pembelajaran yang efektif dan pada akhirnya menghasilkan lulusan yang terbaik. Bahkan dalam banyak kasus, sekolah swasta menyiasati kurikulum agar proses pembelajaran berjalan lebih efisien.

Sekolah swasta juga lebih futuristik dalam memaknai mutu lulusan.  Ketika muncul 4-C sebagai kemampuan abad 21, sekolah swastalah yang lebih dahulu mengadopsinya dan tidak lagi terpaku pada nilai Ujian Nasional.  Ketika semangat beragama di masyarakat menguat, banyak sekolah swasta yang menguatkan pembelajaran agama dengan berbagai bentuk.  Bahkan muncul berbagai label untuk menunjukkan ciri keunggulan sekolah.

Ketika masyarakat makin pandai, maka sekolah semacam itu justru menjadi pilihan.  Jika dahulu orang tua memasukkan anak ke sekolah swasta ketika tidak diterima di sekolah negeri, sekarang dikotomoni seperti itu sudah hilang.  Bahkan muncul fenomena, sekolah negeri kekurangan murid sementara banyak sekolah swasta kelebihan pendafar.  Yang menarik sekolah yang diminati masyarakat seperti itu, seringkali sekolah inovatif yang tidak sekedar mengikuti secara kaku aturan yang ada, tetapi berupaya mencari yang lebih baik.  Jadi pergeseran dari compliance (kepatuhan pada aturan) ke performance (bukti kinerja) tampaknya memang sudah tiba saatnya.  Semoga

Jumat, 26 Januari 2018

KULIAH DARING ITU ALAT BUKAN TUJUAN



Setelah mendorong perkuliahan dengan billingual, kini Kemenristekdikti sedang mendorong perkuliahan menggunakan pola daring (online).  Saya kira keduanya memang sudah saatnya digalakkan di perguruan tinggi.  Bahkan sebenarnya sudah agak terlambat.  Bukankah dalam era global-digital ini, bahasa Inggris sudah menjadi alat komunikasi formal di berbagai instasi. Bukahkan sekarang semua urusan sudah menerapkan sistem online. Namun, seperti kata pepatah lebih baik terlambat dibanding tidak memulai.

Namun demikian, harus kita fahami penerapan daring dalam perkuliahan itu sarana dan bukan tujuan.  Ini saya sampaikan karena ada gejala kuliah daring dimaknai dengan mengunggah bahan ajar ke web, sehingga mahasiswa mudah memperolehnya. Katakanlah modul atau buku teks atau bahan ajar yang selama ini digunakan dalam perkuliahan didigitalisasi dan diunggah di web.  Pertanyaannya apakah seperti itu yang disebut kuliah daring?

Sebelum membahas lebih jauh saya ingin kembali ke buku Organized Mind yang ditulis oleh Daniel Levitin dan pernah saya ulas di blog ini sekitar Juni 2016, dengan judul Bingung Kebanjiran Informasi.  Memang saat itu saya hanya menjelaskan kiat yang diajukan Levitin dalam menghadapi banjir informasi yang tidak dikehendaki, nah kali ini saya ingin berbagi apa manfaat banjir informasi dan apa manfaatnya untuk dikaitkan dengan kuliah daring.

Saat ini informasi di dunia maya sangat melimpah dan terus semakin melimpah karena teknologi memberikan kemudahan kepada semua orang untuk mengunggah pendapatnya.  Media sosial telah menjadi wahana “penumpahan” informasi tersebut.  Oleh karena itu, kemampuan yang sangat penting dimiliki adalah mencari informasi, memilih dan memilah mana yang valid/baik, menganalisis secara kritis untuk sampai kepada simpulan yang tepat.  Kemampuan itu ternyata sejalan dengan apa yang sering disebut dalam kemampuan abad 21 (21st Century Skills).

Menurut saya pembelajaran daring bukan sekedar mengganti perkuliahan tatap muka menjadi virtual, tetapi sekaligus juga melatih mahasiswa dalam mencari informasi secara daring, memilih dan memilahnya, menganalisis dan menggunakannya untuk memahami fenomena atau memecahkan masalah.  Dengan demikian memuat semua bahan ajar, termasuk pengayaaannya di dalam web tepat, karena tidak melatih mahasiswa mencari informasi secara virtual.  Seperti pepatah, sebaiknya perkuliahan daring memberikan kail dan bukan memberikan ikan.

Contoh sederhara yang pernah saya lihat di sebuah SMP di Jepang mungkin dapat menjadi inspirasi.  Saat itu saya mengunjungi sebuah SMP di Nagoya tempat dosen Aichi University of Education bersama dengan mitra guru melaksanakan lesson study.  Waktu itu matapelajaran Social Studies, mungkin mirip IPS di Indonesia.  Guru memberikan informasi bahwa berdasarkan undang-undang Jepang tidak memiliki tentara, yang dimiliki adalah Pasukan Bela Diri.  Undang-undang dibuat saat selesai Perang Dunia Kedua dan atas desakan Sekutu sebagai pemenang perang.  Sebagai Padukan Bela Diri tidak dibenarkan untuk ofensif tetapi hanya defensif.  Nah, pada saat itu NATO yang sebenarnya merupakan penjelmaan Sekutu meminta Jepang mengirim tentara (Pasukan Bela Diri) untuk ke Afganistan dan Jepang memenuhi permintaan itu.  Guru meminta pendapat siswa, apakah yang dilakukan pemerintah Jepang itu betul atau salah.  Untuk menjawab itu, siswa dipandu untuk membaca berbagai dokumen.

Dengan bahan banding itu, maka dalam kuliah daring lebih baik difokuskan pada pertanyaan pancingan dan panduan bagaimana mencari bahan kajian serta bagaimana menganalisisnya, sementara untuk bahan kajian memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada di dunia maya.  Toh bahan semacam itu sudah sangat banyak.  Kalau toh diperlukan, hanya bahan ajar esensial saja yang perlu disusun dan diunggah.  Semoga.

Rabu, 24 Januari 2018

SEEING THE FOREST FOR THE TREES




Buku karya Dennis Sherwood itu sebenarnya merupakan buku lama, terbitan tahun 2002.  Saya mendapatkan fotocopy dari Pak Kir Haryono, dosen UNY, pada tahun 2004.  Saya terdorong untuk mengulas setelah bertemu Prof Zainal Arifin Hasibuan, PhD, biasa dipanggil Pak Ucok. Saya bertemu dosen Fasilkom UI dan pernah menjadi Ketua BSNP itu, saat sarapan di Hotel Grand Mercure Medan.  Pertemuan tidak sengaja.  Waktu saya masuk restoran hotel, beliau sedang membawa piring isi makanan.  Setelah saling menyapa, kemudian beliau pindah duduk ke depan saya sehingga saling ngobrol.

Beliau mengeluh, sampai selesai menjadi Ketua BSNP belum berhasil mengajak teman-teman di Kemdikbud untuk berpikir holistik.  Masing-masing pejabat berpikir parsial, kalau terlalu kasar disebut sektoral, sesuai dengan tugas dan kepentingannya.  Akibatnya disatu pihak sering terjadi tumpang tindih, di lain pihak terjadi ada bagian yang bolong karena tidak ada yang mengerjakan.  Apalagi kemudian diperparah dengan kecenderungan mengerjakan yang ada anggarannya, karena penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator kinerja.

Sebenarnya fenomena itu bukanlah hal baru, karena sudah banyak dikeluhkan orang.  Fenomena seperti itu juga banyak terjadi di tempat lain.  Apalagi jika pimpinan puncak lembaga itu tidak memiliki kerangka utuh dari program kerjanya, sehingga masing-masing staf mengerjakan bagiannya tanpa koordinasi yang kuat.  Atau jika kepemimpinan di lembaga itu kurang kuat, sehingga arahan tidak dipatuhi oleh staf. 

Buku Sherwood menjelaskan itu dan memberikan panduan bagaimana seharusnya mengelola organisasi.  Buku ini bertolak dari pola pikir systmen thinking, bahwa semua fenomena di dunia ini merupakan sesuatu yang sistemik.  Bab 1 dengan judul “The System Perpective” menjelaskan bahwa setiap faktor akan selalu terkait dengan faktor lain dalam sistem tertentu.  Setiap faktor merupakan sub-sistem dari supra sistem yang lebih besar, tetapi seringkali sekaligus sebagai supra sistem dari komponen di dalamnya.

Dengan prinsip itu Sherwood meyakinkan pembaca, untuk memahami suatu komponen (fenomena) harus terlebih dahulu memahami sistem dimana komponen itu menjadi bagian (sub-sistemnya).   Contoh-contoh yang digunakan dalam buku itu adalah dunia bisnis dan organisasi non profit, karena memang sub judul bukunya: A Manager’s Guide to Applying Systems Thinking. Jadi kata Seeing the Forest for the Trees hanya metaphora, bahwa untuk dapat memahami pohon harus lebih dahulu melihat hutan dimana pohon itu tumbuh.

Suatu instansi atau lembaga bukankah entitas yang berada di “dunia kosong”.  Instansi selalu merupakan sub sistem dari sistem sosial atau organisasi yang lebih besar. Nah di sistem sosial yang lebih besar itu banyak kompenen lain yang saling mempengaruhi. Bahkan dapat saja sebuah organisasi sekaligus menjadi sub sistem dari beberapa supra sistem.  Suatu RT merupaka sub sistem pemerintahan desa, tetapi sekaligus juga sebagai sub sistem dari sistem sosial di kampung atau daerah tertentu.  Dalam buku School That Learn, Peter Senge mengambarkan seorang guru memang merupakan sub sistem suatu sekolah, tetapi sekaligus juga merupakan sus sistem dari keluarganya, juga sub sistem dari masyarakat kampungnya, juga sub sistem dari organisasi sosial yang diikutinya.  Oleh karena itu, kita tidak akan dapat memahami guru tersebut denga baik tanpa mengetahui supra sistem dari yang bersangkutan.

Menurut saya buku tersebut layak dibaca oleh siapapun yang terlibat dalam organisasi sekecil apapun.  Buku itu akan membimbing kita untuk berpikir holistik-komprehenif dan tidak parsial.  Dengan membaca buku tersebut, kita sadar bahwa kita atau organisasi kita dipengaruhi oleh organisasi lain dan sekaligus mempengaruhi  organisasi lain.  Kita juga faham bahwa organisasi kita merupakan sub sistem dari organisasi atau sistem sosial yang lebih besar.  Dengan membaca buku itu ego dan “kesombongan” yang sering muncul pada diri kita dapat direm.  Semoga.