Senin, 26 Februari 2018

INOVASI PEMBELAJARAN MEMERLUKAN SYARAT


Minggu lalu, tanggal 24-25 Februari 2018 saya menyaksikan para guru di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban mempresentasikan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mereka lakukan. Mereka sudah melakukan PTK selama tahun 2017 dengan didampinggi beberapa teman yang umumnya dosen Unesa dan alumni Unesa yang punya kaitan dengan dua kabupaten tersebut.

Dari hampir 200 orang yang tahun 2017 ikut dalam kegiatan pelatihan PTK ternyata hanya sekitar seperempat yang menyampaikan laporannya dalam seminar dua hari ini.  Pada hal sejak awal pelatihan telah didiskusikan panjang lebar dan semua peserta memahami bahwa melakukan PTK adalah pekerjaan keseharian yang dilakukan oleh guru.  Persis apa yang dilakukan oleh petani mangga saat berupaya agar pohon mangga yang dimiliki berbuah bagus dan mirip peternak ayam telor agar ayamnya bertelor banyak. Jadi PTK seharusnya bukanlah pekerjaan tambahan bagi guru, karena sudah dilakukan sehari-hari.  Yang baru adalah melakukannya dengan sistematis dan membuat laporannya secara baik.

Mencermati presentasi dan mendengarkan cerita teman-teman yang memandu presentasi tampaknya yang paling lemah adalah inovasi para guru.  Pembalajaran yang dilakukan berputar-putar dari itu ke itu dan hampir tidak ada yang “berani” melakukan terobosan yang mendasar.  Itulah yang mengganggu saya.  Mereka banyak yang sudah bertahun-tahun mengajar matapelajaran itu dan di sekolah  itu, sehingga tentu mereka faham apa masalah mendasar yang dihadapi, seperti apa kondisi siswa dan sekolahnya.  Kesan tambah sulam juga kuat sekali.  Maksudnya menambah ini dan itu dan bukan melakukan pembaharuan yang mendasar.

Mengapa demikian?  Apakah para guru itu tidak punya konsep tentang pembelajaran yang baik?  Rasanya tidak juga.  Semua guru lulusan S1 dan bahkan beberapa lulusan S2  Mereka punya pengalaman panjang dalam mengajar.  Beberapa bahkan sudah menjadi wakil kepala sekolah dan instruktur di daerahnya. Ada beberapa guru juga sudah beberapa kali melakukan PTK sebelum ikut pelatihan.

Saya khawatir guru kita, paling tidak peserta pelatihan PTK yang dua kabupaten itu terjebak dalam teaching-learning trap yang selama ini ada.  Saya jadi ingat suatu saat saya melakukan monev pelaksanaan PLPG di daerah Sulawesi dan waktu itu masuk kelas yang pesertanya guru TK dan waktuya peer teaching.  Yang menarik mereka mengajar dengan menggunakan plastisin dan kertas gambar yang relatif mahal.  Ketika saya tanya mengapa menggunakan plastisin, mereka menjawab meniru apa yang dijelaskan oleh buku paket yang dibaca.  Ketika saya tanya apakah di TK tempat mereka mengajar ada lempung, mereka menyatakan punya.  Tampak sekali bahwa guru kita bekerja dengan meniru saja apa yang mereka baca di buku paket.

Mengapa mereka tidak melakukan inovasi dengan memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekolah?  Saya jadi teringat pendapat Aboe Dohuo yang mengatakan inovasi pembelajaran memerlukan dua syarat, yaitu kemampuan guru dan kebebasan guru untuk melakukan hal-hal yang tidak ada di aturan atau panduan kerja.  Nah, yang saya khawatirkan adalah syarat kedua.  Selama ini guru terpaku pada buku paket, panduan ini dan itu yang seakan-akan buku suci yang setiap kata di dalamnya harus diikuti.  Itulah yang saya sebut dengan teaching-learning trap yang menjebak guru kita.

Sudah waktunya para guru diberikan ruang kebebasan yang cukup dan mendorong mereka untuk melaksanakan pembelajaran yang kontekstual yang lingkungan sekolah maupun pola pikir siswanya.  Guru juga perlu didorong untuk berani melakukan “eksperimen” untuk menemukan model pembelajaran yang cocok untuk kelasnya.  Tentu dengan pesan, boleh keliru tetapi jangan “terantuk batu untuk kedua kalinya”.  Semoga

Minggu, 18 Februari 2018

BELAJAR DARI KEBIJAKAN SRI MULYANI


Pagi ini saya membaca artikel yang diposting di wa group dimana saya ikut di dalamnya.  Artikel berjudul “Menteri terbaik dunia: Mengapa Sri Mulyani layak mendapatkan predikat itu?” ditulis oleh  M. Chatib Basri yang juga pernah menjadi menteri keuangan 2013-2014 menggantikan Sri Mulyani.

Jujur saya tidak mampu memahami secara detail tentang artikel itu karena menyangkut ekonomi makro yang di luar bidang saya.  Saya hanya mampu meraba-raba secara umum.  Menurut Chatib Basri penghargaan itu tidak hanya tepat tetapi terlambat, karena kebijakan yang dijadikan alasan pemberian penghargaan itu sudah dilakukan sejak tahun Sri Mulyani menjadi menteri keuangan pada tahun 2009-2013.  Menurut tulisan itu, bahkan Indonesia pernah dijadikan kajian di forum G20 dan Presiden SBY (waktu itu) diminta untuk menyampaikan di forum G20 di Washington.

Apa yang dilakukan Sri Mulyani?  Menurut Chatib Basri, Sri Mulyani berani melakukan 2 kebijakan yang tidak populer di Indonesia tetapi diapresiasi oleh dunia dan kemudian menjadi penopang ekonomi Indonesia. Pertama, memotong subsis bahan bakar dan mengalihkan dananya untuk kegiatan produktif.  Kedua, merestrukturisasi birokrasi Kementerian Keuangan agar lebih lincah dalam bekerja.

Sekali lagi, saya tidak memahami substansi kedua kebijakan yang menurut Chatib Basri sangat tepat.  Yang ingin saya diskusikan adalah mengapa Sri Mulyani melakukan itu.  Menurut saya Sri Mulyani melakukan itu, karena beliau memahami substansinya dengan baik dan berani melakukannya walaupun tidak populer.  Penguasaan konsep dari bidang pekerjaan yang ditangani tampaknya menjadi pilar penting bagi Sri Mulyani.  Mencoba memahami (sekali lagi saya mencoba dan belum tentu benar), Chatib Basri berpendapat Sri Mulyani faham betul kondisi perekonomian di Indonesia dan tahu apa yang harus dilakukan.

Memang menteri adalah jabatan politik, sehingga memungkinkan seseorang diangkat menjadi menteri bukan karena keahliannya.  Toh ada eselon 1 (sekjen, dirjen, staf ahli) yang merupakan orang profesional untuk memberi masukan.  Namun mencontoh fenomena di atas,  saya meyakini Sri Mulyani berani mengambil kebijakan yang tidak populer dan bahkan ditentang para politisi dan aktifis tertentu, karena yang bersangkutan faham benar substansinya.  Saya yakin Sri Mulyani bukan sekedar pemberani tanpa dukungan konsep yang matang, tetapi berani mengambil risiko karena memahami substansinya dengan baik.

Bukankah seorang pejabat, apalagi setingkat menteri, dapat membentuk tim untuk melakukan analisis kebijakan, sehingga sang pejabat tinggal memilih berbagai alternatif yang dihasilkan?  Hal itu memang betul dan saya menduga cara itu juga dilakukan oleh Sri Mulyani.   Namun ketika harus memilih atau bahkan mengoreksi kebijakan yang diusulkan oleh staf, tentu seorang pejabat harus memiliki konsep tentang masalah yang ditangani.  Nah, disinilah kelebihan seorang Sri Mulyani.

Apakah semua orang yang menguasai bidang pekerjaan berani mengambil risiko seperti itu.  Belum tentu. Banyak juga orang yang faham substansinya tetapi takut mengambil risiko tidak populer, risiko dibenci teman dan sebagainya.  Jadi antara penguasaan konsep dan keberanian mengambil kebijakan bukan “ini atau itu” tetapi “ini dan itu”.  Artinya, seorang pejabat sebaiknya menguasai substansi pekerjaan yang ditangani sekaligus juga berani mengambil risiko.

Bukankah banyak pejabat yang latar belakang pendidikannya berbeda dengan pekerjaan yang ditangani dan ternyata juga sukses?  Bukankah ada direktur perusahaan X yang sukses dan kemudian pindah menangani perusahaan Y yang sangat berbeda bidangnya juga sukses?  Dalam konteks seperti itu, saya menduga yang dikuasi adalah strategic management dalam pengelolaan perusahaan dan kemampuan belajar dengan cepat.

Sabtu, 17 Februari 2018

KURIKULUM ATAU GURU


Walaupun sudah lama memikirkan baru hari ini saya mendapatkan faktanya.  Sejak lama saya meragukan pelatihan Kurikulum 2013 (K-13) yang dilaksanakan secara masif itu mampu merubah cara mengajar guru.  Namun saat itu keraguan itu sebatas kecurigaan atau under estimate terhadap sesama pendidik.  Nah, pagi tadi saya diminta mengisi acara bersama sekitar 100 orang guru di sebuah Yayasan di Surabaya.  Topik yang dimintakan kepada saya adalah “Pembelajaran Masa Kini dengan Kurikulum 2013.

Berbekal keraguan saya tersebut di atas, sengaja saya mengisi acara itu dengan mempraktekkan K-13.  Menurut saya, salah satu hal baru pada K-13 adalah penekanan pada proses yang diarahkan kepada berpikir tingkat tinggi (high order thinking).  Penggunaan pendekatan 5-M (mengobervasi, mempertanyakan, menalar, mencoba, mengomunikasikan) adalah cara akar siswa menerapkan berpikir tingkat tinggi.

Mengapa saya ragu?  Kalau dicermati 5-M yang oleh K-13 disebut pendekatan saintifik itu tidak berbeda dengan apa yang disebut dengan keterampilan proses pada Kurikulum 1975.  Pada Kurikulum 1075 disebutkan dengan jelas bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan prinsip Keterampilan Proses yang meliputi 10 langkah, yaitu observasi, klasifikasi, inferensi, prediksi, mempertanyakan, merumuskan hipotesis, melaksanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, mengkomunikasikan.  Nah, sangat mirip bukan?  Namun, toh sampai kurikulum diubah menjadi Kurikulum 1984 prinsip tersebut tidak berjalan.

Untuk memandu bagaimana menerapkan K-13, kepada guru saya ajukan sedert pertanyaan yang berutusan yaitu: (1) berapa jumlah penduduk Indonesia, (2) berapa produksi padi di Indonesia, (3) berapa rata-rata konsumsi beras per orang per tahun, dan (4) setujukah dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras.  Jika pertanyaan 1,2 dan 3 didapatkan informasikan secara baik, tentunya para guru dapat menjawab pertanyaan nomer 4.  Apakah Indonesia kekurang beras untuk konsumsi semua penduduk, sehingga perlu impor atau tidak.  Sayangnya sebagian besar guru ternyata kesulitan.

Sebelum latihan berikutnya, saya jelaskan bahwa yang penting bukan jawaban pertanyaan no 4.  Kita boleh setuju atau tidak setuju untuk mengipor beras, asalnya disertasi alasan yany didukung data dan analisisnya.  Setelah itu saya ajukan pertanyaan “Indonesia sekarang ini kekurangan atau kelebihan guru?”.   Ternyata tidak ada satupun guru yang menjawab dengan data.  Beberapa menjawab “kekurangan”.  Tetapi ketika saya tanyakan, apa dasar Anda mengatakan kekurangan?  Mereka tidak dapat menjawab.

Saya mencoba memandu, dengan menanyakan kapan sekolah dikatakan kekurangan guru.  Beberapa dapat menjawab “jika rasio guru:siswa melebihi 1:30”.  Jadi bagaimana cara menemukan jawaban Indonesia kekurangan atau kelebihan guru?  Dengan pancingan itu, baru guru mulai dapat mencaru data untuk menjawabnya.  Itupun tetap harus dipandu bagaimana mencari datanya.

Tampak sekali 5-M (mengobservasi yang artinya menggali data, mempertanyakan yang artinya memaknai data itu, menalar yang artinya mencoba mengaitkan satu data dengan data lainnya, mencoba yang artinya menggunakan data itu untuk memaknai suatu fenomena, mengomunikasikan yang artinya menyampaikan hasil penalaran) belum dikuasai oleh guru. Pertanyaannya “kalau guru belum dapat menerapkan 5-M untuk diri sendiri bagaimana mungkin dapat membimbing siswanya.

Berangkat dari pengalaman pagi ini, pelatihan K-13 tampaknya tidak cukup hanya berupa informasi ini dan itu.  Yang justru lebih penting adalah mempraktekkan 5-M secara intensif dengan topik sesuai dengan matapelajaran yang diampu atau tema yang biasa digunakan di SD, sehingga selesai pelatihan guru sudah lancar menerapkan untuk diri sendiri dan diharakan mampu membimbing siswa. 

Jumat, 16 Februari 2018

GURDASUS


Tanggal 14 Februari 2018 pagi saya diundang oleh teman-teman GTK di Puri Denpasar Jakarta.  Sebenarnya hari itu saya harus memandu pertemuan Tim UKMPPG, namun acara baru mulai pukul 14.00.  Oleh karena itu saya sampaikan ke Bu Elfira, Kasubdit di Direktorat Pendidikan Dasar, bahwa saya hanya dapat ikut pertemuan pagi hari saja dan setelah makan siang akan pindah ke rapat bersama Dit Penjamu.

Ketika saya datang sudah ada beberapa teman, namun rapat belum dimulai. Saya melihat ada Prof Hari dari UNY dan Bu Nike salah satu Kasubdit di Direktorat Dikdas, serta beberapa staf Ditjen GTK.  Beberapa saat kemudian hadir Bu Reny dan Bu Elfira.  Saat rapat dimulai, Bu Nike menjelaskan bahwa program Gurdasus (Guru Daerah Khusus) dimaksudkan agar guru-guru honorer di daerah 3T dapat sukses mengikuti PPG dan pada akhirnya dapat menjadi guru PNS di daerah tersebut.  Oleh karena itu sedang didata berapa guru honorer yang layak, misalnya usia maksimal 33 tahun sehingga masih mungkin ikut PPG dan setelah itu mendaftar menjadi CPNS, memiliki kemampuan yang memadai sehingga lulus tes masuk PPG dan setelah mengikuti PPG juga lulus dengan baik.

Mendengar penjelasan itu, saya berpikir inilah kebijakan mulia yang saya tunggu.  Selama mengunjungi mahasiswa peserta SM3T dan melihat kondisi sekolah disana, saya melihat guru merupakan masalah sangat krusial.  Banyak SD yang hanya memiliki satu atau dua orang guru. Bahkan ada SD yang sama sekali tidak memiliki guru, sehingga akhirnya dikelola oleh Pak Pendeta di daerah tersebut.  Guru yang ada umumnya juga guru honorer yang diambil dari masyarakat setempat.  Ada yang berpendidikan S1 tetapi juga banyak yang tamatan SLTA dan bahkan SMP yang mengajar di SD.

Tidak ada guru pendatang? Ada, tetapi jumlahnya tidak banyak dan seringkali tidak kerasan. Mengapa tidak kerasan? Bukankah sebagai guru di daerah 3T mendapat tunjangan khusus yang lumayan besar?  Bagi yang belum pernah ke daerah 3T mungkin sulit mengerti, namun bagi yang sudah pernah ke daerah tersebut saya yakin dapat memahami.  Dapat dibayangkan anak muda dari Jakarta, Bandung, Jogya dan Surabaya kemudian bertugas mengajar di daerah yang tidak ada listrik, tidak ada toko, tidak ada pasar, tidak ada keramaian apa-apa.  Kalau ke kota kabupaten harus naik “bis kayu” yaitu truk yang diberi kursi dari kayu.  Itupun kalau daerah 3T yang di “daratan”.  Kalau yang kebetulan di daerah kepulauan jauh lebih parah.  Ada kapal tetapi hanya seminggu sekali dan itupun kalau cuaca sedang baik.

Oleh karena itu kebijakan sangat baik, kalau dapat mengupayakan yang menjadi guru di daerah 3T adalah anak muda setempat yang tentunya sudah terbiasa dengan kondisi sebagaimana disebutkan di atas.  Namun pengalaman menunjukkan pada umumnya “kemampuan akademik” mereka belum sebaik temannya yang dari Jawa atau kota besar lainnya di luar Jawa.   Mungkin sekali hal itu bukan karena kemampuan dasarnya, tetapi karena pendidikan yang dialamani kurang baik sehingga akhirnya kemampuan setelah lulus juga kurang baik. Apalagi seringkali mereka kuliah pada perguruan tinggi “seadanya” karena tidak ada perguruan tinggi yang baik di daerah tersebut.

Nah, tantangannya bagaimana agar guru honorer tersebut lolos tes masuk PPG dan setelah mengikuti PPG juga lulus dengan baik.  Dalam rapat tersebut dijelaskan kalau Ditjen GTK akan menyediakan program pelatihan di LPMP selama 1 bukan sebelum mereka tes masuk PPG, dan selama itu peserta akan diasrama agar dapat konsentrasi.  Peserta juga diberi biaya transportasi dari tempat tinggal sampai ke LPMP pergi dan pulang.

Belajar dari UKMPPG yang pada umumnya lulusan LPTK “yang kurang baik” banyak yang gagal, maka pada rapat tersebut dilakukan penguatan materi akademik dan diberikan latihan soal secara intensif.  Akhirnya disepakati, pelatihan selama 4 minggu dan setiap akhir minggu ada latihan ujian untuk materi yang telah diterima. Hasil latihan tersebut dianalisis untuk mengetahui bagian mana yang belum baik penguasaannya sehingga dapat digunakan untuk memberikan remidial pada minggu berikutnya.

Selama mengikuti rapat tersebut, saya merenung.  Inilah program mulia dan dapat menjadi awal pelaksanaan program ikatan dinas untuk calon guru daerah 3T.  Oleh karena itu saya usulkan dibuat road map selama 5 tahun, sehingga program tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menyelesaikan masalah kekurangan guru di daerah 3T.  Semoga.

Selasa, 06 Februari 2018

EMPOWERING PENDIDIKAN VOKASI

Pendidikan vokasi yang dimaksud pada tulisan ini bukan mengacu pada UU Sisdiknas yang mendefinisikan pendidikan vokasi sebagai  pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Berdasarkan definisi itu yang dikategorikan pendidikan vokasi adalah program D1 s.d D4.  Sedangkan yang dimaksud pendidikan vokasi pada tulisan ini merupakan padanan VET (vocational education and training) di tataran internasional, sehingga mencakup pogram diploma, SMK maupun kursus keterampilan.  Perluasan cakupan pendidikan vokasi ini sesuai dengan penafsiran pendidikan vokasi yang saat ini digencarkan oleh pemerintah Indonesia.
Pendidikan vokasi, apapun jenis dan levelnya, dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja (Calhoun and Finch, 1982; Unesco, 2016). Oleh karena itu kesesuaian apa yang dipelajari di pendidikan vokasi dengan tuntutan dunia kerja menjadi acuan utama.  Dalam konteks ini, kesesuaian juga harus dikaitkan dengan kompetensi, jumlah maupun lokus geografis. Ketidaksesuaian kompetensi akan mengakibatkan kesulitan lulusan pendidikan vokasi menangani pekerjaan yang tersedia.  Ketidaksesuaian lokus geografis akan mendorong terjadinya migrasi, terutama urbanisasi.  Ketidaksesuaian jumlah akan menyebabkan terjadinya oversupply tenaga kerja. Pertanyaannya bagaimana meng-empower pendidikan vokasi yang saat ini ada agar mampu memenuhi ketiga amanah tersebut di atas.
Lebih dari ketiga prinsip di atas, pendidikan vokasi seharusnya menjadi penopang petumbuhan industri dalam pengertian luas.  Ketika menganalisis perkembangan  ekonomi dunia, Jorgen Moller (2011) mengingatkan, Asia akan menjadi lokomotif perekonomian dunia jika pendidikannya mampu menghasilkan tenaga kerja yang produktif sesuai kebutuhan setempat.  Korea Selatan tampaknya menjadi salah satu negara yang mengikuti jalan pikiran Moller, sehingga melalui KRIVET (Korea Research Instititute for Vocational Education and Traning) mereformasi pendidikan vokasi agar mampu menopang industrinya (Dit. PSMK, 2016). 
Merancang pendidikan vokasi agar menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai tuntutan dunia kerja, semakin tidak mudah. Cepatnya perkembangan iptek menyebabkan pola kerja berubah dengan cepat. Nanotechnology, artificial intelligencerobotics,  3D printingquantum computing dan biotechnology akan menjadi pendorong terjadikan perubahan fundamental pola kerja kita, sehingga  para ahli memprediksi 35% core skills yang saat ini ada akan hilang pada tahun 2020 (World Economic Forum, 2016).  
Oleh karena itu, lulusan pendidikan vokasi tidak cukup hanya terampil di bidangnya saja, tetapi harus mampu berpikir kritis-analisis serta kreatif, karena harus berhadapan dengan pola kerja yang scientific based.  Mereka juga harus mampu belajar dengan cepat agar mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi yang terkait dengan bidang keahliannya atau bahkan “melompat” ke bidang lain.  Dalam konteks inilah pentingnya perubahan prinsip dari kompetensi (competence) ke kapabilitas (capability) (Hase & Davis, 1999; Lester, 2014).  Hase dan Davis mendefinisikan capable people and organisations are those that can operate effectively in unknown contexts and with new problemsSejalan dengan itu studi yang dilakukan oleh Majalah The Economist (2015) menemukan lima modal kapabilitas yaitu problem solving, team working, communication, critical thinking and creativity. Pertanyaannya, bagaimana pendidikan vokasi dapat menghasilkan lulusan dengan kapabilitas itu.
Mengingat perubahan pola kerja berjalan sangat cepat dan sangat sulit melakukan prediksi pola kerja di masa depan, maka pendidikan vokasi yang terlalu spesifik perlu dipikirkan lagi.  Keterampilan yang sangat spesifik cocok untuk pelatihan singkat dan pelatihan lanjutan, yang sudah jelas peserta akan mendapatkan pekerjaan itu.  Namun menjadi kurang tepat jika pekerjaan bagi pesertanya belum jelas dan menjadi tidak efisien jika siswa/mahasiswa belajar bidang “X yang spesifik”, sementara lulusannya bekerja di bidang “Y” (Lassnigg, 2017).
Sangat cepatnya perubahan pola kerja, maka pendidikan vokasi harus dibuat fleksibel sehingga mudah menyesuaikan diri.  Prinsip MEMES (multi entry-multi exit system) yang pernah digagas sekian tahun lalu sudah saatnya dilaksanakan. Untuk itu kurikulum dengan pola modular akan sangat cocok. Dengan pola itu impian Atwater (2015) dan Jagersma (2010), pada saatnya siswa yang menentukan kurikulum yang ingin ditempuh dapat dirintis
Dengan prinsip MEMES yang didukung oleh pola modular, maka pemisahan SMK dengan Kursus Keterampilan menjadi kurang relevan.  Dua jalur pendidikan itu dapat dilebur, sehingga menjadi semacam training center yang didalamnya ada berbagai pendidikan vokasi, mulai pelatihan jangka pendek untuk keterampilan “sederhana”, sampai pendidikan yang memerlukan jangkan panjang.  Dengan pola ini sekat antara SMK dan Diploma juga menjadi longgar. Bukankah SMK 4 tahun pada hakekatnya menempelkan program Diploma 1 pada bagian akhir.  TAFE (technical and further education) di Australia dapat merupakan bahan banding yang baik dalam kajia pendidikan vokasi yang terintegrasi.
Kesuksesan pendidikan sebaiknya diukur dari tingkat kebekerjaan lulusan dan bukan banyaknya lembaga dan siswa.  Bekerja dapat diartikan sebagai karyawan ataupun berwiraswasta.  Oleh karena itu prinsip keseimbangan supply-demand harus dijaga. Agar jumlah, jenis dan jenjang pendidikan vokasi seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia, diperlukan kajian yang mendalam dan dilakukan secara periodik.  Pendirian pendidikan vokasi, tanpa disertai kajian mendalam tentang kebutuhan tenaga kerja akan menyebabkan terjadinya oversupply dan lulusannya menjadi korban. Dari sisi manajemen kejadian seperti itu menyebabkan pendidikan vokasi menjadi tidak efisien.  Studi yang dilakukan oleh Newhouse & Suryadarma (2009) tampaknya layak untuk pelajaran kita bersama dalam mengembangkan pendidikan vokasi.
Agar pendidikan vokasi dapat menopang pertumbuhan industri (dalam arti luas) dan sekaligus memudahkan kerjasama antara lembaga penyelenggara dengan DUDI, maka keserasian jenis dan jenjang pendidikan vokasi dengan potensi daerah perlu diperhatikan.  Jika di suatu daerah yang memiliki potensi perikanan laut dan memang dikembangkan menjadi daerah penghasil ikan, sebaiknya dikembangkan pendidikan vokasi yang terkait dengan itu, dengan spesifikasi yang sesuai.  Jika suatu daerah memiliki potensi pertanian dan diarahkan untuk dikembangkan menjadi lumbung pangan, maka perlu dibangun pendidikan vokasi yang sesuai. Tentu dimungkinkan suatu daerah memiliki berbagai jenis dan jenjang, tetapi yang pokok harus sesuai dengan potensi daerah tersebut. Mungkin pola commodity based vocational education and tranining development dalam menjadi perenungan.  Melalui KRIVET, Korea Selatan tampak menerapkan pola tersebut.
Dalam pendidikan vokasi, kerjasama antara sekolah/lembaga penyelenggara dengan DUDI menjadi salah satu pilar penting.  Kerjasama hanya dapat berlanjut (sustain) jika kedua belah pihak mendapatkan manfaat nyata.  Jika tidak akan berhenti atau mati suri.  Dalam konteks prakerin, salah satu manfaat nyata adalah keberadaan siswa dapat diperhitungkan sebagai bagian tenaga kerja yang produktif.  Artinya, di DUDI harus ada siswa prakerin dalam jumlah yang kurang lebih sama sepanjang tahun.  Mereka telah memiliki bekal yang memadai segera menjadi bagian karyawan yang produkif.  Untuk itu setiap pendidikan vokasi idealnya memiliki partner DUDI yang permanen.  Pola sandwich dual system yang diterapkan di beberapa negara di Eropa dapat menjadi bahan banding yang baik.

Daftar Pustaka
Atwater, Mark. (2015). Engineering Students Develop Their Own Curriculum. https://www.engineering.com/AdvancedManufacturing/ArticleID/9857/Engineering-Students-Develop-Their-Own-Curriculum.aspx.  Diunduh pada 20 Januari 2018 pukul 06.40.
Calhoun, C.C. & A.V.Finch. (1982). Vocational Education: Concepts and Operations. California: Wadsworth Publishing Company.
Direktorat. PSMK. (2016). Laporan Studi Banding ke Korea Selatan.  Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kemendikbud.
Hase, Stewart & L. Davis. (1999). From Comptence to Capability: The Implications for Human Rsorces and Management. https://www.researchgate.net/publication/ 37358999_From_competence_to_capability_the_implications_for_human_resource_development_and_management. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul 18.57.
Jagersma, John. (2010). Empowering Students as Active Participants in Curriculum Design and Implementation. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED514196.pdf.  Diunduh pada 20 Januari 2018 pukul 08.16
Lassnigg, Lorenz. (2017).  “Competence-based Education and Educational Effectiveness” dalam Marin Mulder (Ed).(2017). Competence-based Vocational and Proffesional Education: Bridging the Worlds of Work and Education. Switzerland: Springer International Publishing.
Lester,Stan. (2014). Professional Standards, Competence and Capability.  http://devmts.org.uk/capstds.pdf. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul 19.28.
Moller, Jorgen Orstrom. (2011). How Asia Can Shape the World: From the Era of Plenty to the Era of Scarcities. Singapore: ISEAS Publishing-Institute of Southeast Asian Studies.
Newhouse, David & Daniel Suryadarma. (2009). The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia. Washingtin DC: The World Bank-Human Development Network.
The Economist (Intelligence Unit). (2015). Driving the Skills Agenda: Preparing Students for the Future. London: The Economist.
Unesco-Bangkok (2016). http://www.unescobkk.org/education/tvet/. Diunduh pada 20 Januari 2018. Pukul 08.56.
World Economic Forum. (2016). The Fourth Industrial Revolution: What It Means, How to Respond.https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to. Diunduh pada 17 Mei 2017 pukul 06.42.

Minggu, 04 Februari 2018

DALAM HIDUP KITA HARUS MEMILIH



Bahwa dalam kehidupan kita selalu harus menentukan pilihan, rasanya kita sudah tahu.  Namun seringkali kita tidak mudah menentukan pilihan.  Atau pilihan terpaksa harus diubah karena sesuatu hal yang sangat penting.  Kita boleh membuat rencana dan memang sebaiknya begitu, namun dalam perjalanan rencana itu sangat mungkin harus diubah.

Tahun 2017 praktis saya tidak “menengok” negara lain.  Memang sempat ke Korea Selatan, namun saat itu waktunya sangat pendek dan jadwal acara begitu padat, sehingga praktis tidak dapat “kemana-mana”.  Keinginan untuk melihat home industry yang sangat terkenal di Korea Selatan itupun tidak terlaksana.  Oleh karena itu, sejak akhir tahun saya ingin sekali pada tahun 2018 bisa pergi ke luar negeri.

Nah ketika, beberapa teman di Unesa mengabarkan keinginan mengunjungi Jepang untuk melihat bunga sakura sayapun ingin ikut serta.  Apalagi dapat dikaitkan dengan konferensi internasional yang dilaksanakan Asaihl di univesitas Soka di Tokyo.  Sayapun bersama beberapa teman segera mengirim abstrak sesuai dengan jadwal yang diberikan  Alhamdulillah, abstrak diterima sehingga kami segera menyiapkan full paper dan menyiapkan ini dan itu untuk berangkat.  Apalagi isteri saya juga akan ikut serta.

Ditengah-tengah persiapan itu datang informasi lain yang tidak kalah menyenangkan. Si bungsu hamil dan setelah beberapa kali ke dokter kandungan, diperkirakan kelahiran anak kedua itu antara akhir Februasi dan awal Maret.  Pada hal, konferensi Asaihl di Tokyo itu pada 26-28 Maret 2018.  Kamipun bimbang, apakah akan tetap pergi ke Jepang atau tidak. Toh jarak perkiraan kelahiran dan acara di Tokyo sekitar 2-4 minggu.

Namun demikian, berpengalaman pada kelahiran anak pertama di bungsu, kami jadi ragu.  Saat itu, anak pertamanya-Feya- sempat masuk rumah sakit karena kuning.  Kami semua jadi bingung, apalagi ASI ibunya kurang lancar.  Pada hal ibu mertuanya seorang dokter dan masih tinggal satu rumah.

Pada kelahiran yang akan datang, si bungsu sudah tinggal di rumah sendiri.  Suaminya juga sangat sibuk, karena sebagai akuntan pulangnya selalu sesudah magrib.  Anaknya yang sulung baru menjelang 3 tahun dan tidak terbiasa dengan orang lain.  Oleh karena itu, rasanya kami-orangtua-ingin sekali mendampingi saat kelahiran sampai beberapa minggu, saat semuanya sudah stabil.

Jadinya saya dan isteri bingung.  Di satu sisi ingin ke Jepang, toh abstrak sudah diterima dan tinggal mengirim full paper.  Di lain pihak, ingin mendampingi di bungsu saat melahirkan sampai beberapa minggu di Jakarta.  Nah setelah merenungkan berbagai pertimbangan, akhirnya saya dan isteri memutuskan untuk tidak berangkat ke Jepangdan memilih fokus akan mendampingi si bungsu.

Untunglah, anggota tim yang lain (Prof Roesminingsig dan Pak Daryono) siap untuk berangkat, sehigga paper tetap dapat dipresentasikan.  Apalagi, informasi dari Soka University, 1 orang wakil dari setiap paper yang diterima tidak perlu membayar conference fee yang cukup mahal, yaitu 300 dolar Amerika atau sekitar 5 juta rupiah.  Semoga keduanya berjalan lancar.