Senin, 26 Februari 2018

INOVASI PEMBELAJARAN MEMERLUKAN SYARAT


Minggu lalu, tanggal 24-25 Februari 2018 saya menyaksikan para guru di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban mempresentasikan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mereka lakukan. Mereka sudah melakukan PTK selama tahun 2017 dengan didampinggi beberapa teman yang umumnya dosen Unesa dan alumni Unesa yang punya kaitan dengan dua kabupaten tersebut.

Dari hampir 200 orang yang tahun 2017 ikut dalam kegiatan pelatihan PTK ternyata hanya sekitar seperempat yang menyampaikan laporannya dalam seminar dua hari ini.  Pada hal sejak awal pelatihan telah didiskusikan panjang lebar dan semua peserta memahami bahwa melakukan PTK adalah pekerjaan keseharian yang dilakukan oleh guru.  Persis apa yang dilakukan oleh petani mangga saat berupaya agar pohon mangga yang dimiliki berbuah bagus dan mirip peternak ayam telor agar ayamnya bertelor banyak. Jadi PTK seharusnya bukanlah pekerjaan tambahan bagi guru, karena sudah dilakukan sehari-hari.  Yang baru adalah melakukannya dengan sistematis dan membuat laporannya secara baik.

Mencermati presentasi dan mendengarkan cerita teman-teman yang memandu presentasi tampaknya yang paling lemah adalah inovasi para guru.  Pembalajaran yang dilakukan berputar-putar dari itu ke itu dan hampir tidak ada yang “berani” melakukan terobosan yang mendasar.  Itulah yang mengganggu saya.  Mereka banyak yang sudah bertahun-tahun mengajar matapelajaran itu dan di sekolah  itu, sehingga tentu mereka faham apa masalah mendasar yang dihadapi, seperti apa kondisi siswa dan sekolahnya.  Kesan tambah sulam juga kuat sekali.  Maksudnya menambah ini dan itu dan bukan melakukan pembaharuan yang mendasar.

Mengapa demikian?  Apakah para guru itu tidak punya konsep tentang pembelajaran yang baik?  Rasanya tidak juga.  Semua guru lulusan S1 dan bahkan beberapa lulusan S2  Mereka punya pengalaman panjang dalam mengajar.  Beberapa bahkan sudah menjadi wakil kepala sekolah dan instruktur di daerahnya. Ada beberapa guru juga sudah beberapa kali melakukan PTK sebelum ikut pelatihan.

Saya khawatir guru kita, paling tidak peserta pelatihan PTK yang dua kabupaten itu terjebak dalam teaching-learning trap yang selama ini ada.  Saya jadi ingat suatu saat saya melakukan monev pelaksanaan PLPG di daerah Sulawesi dan waktu itu masuk kelas yang pesertanya guru TK dan waktuya peer teaching.  Yang menarik mereka mengajar dengan menggunakan plastisin dan kertas gambar yang relatif mahal.  Ketika saya tanya mengapa menggunakan plastisin, mereka menjawab meniru apa yang dijelaskan oleh buku paket yang dibaca.  Ketika saya tanya apakah di TK tempat mereka mengajar ada lempung, mereka menyatakan punya.  Tampak sekali bahwa guru kita bekerja dengan meniru saja apa yang mereka baca di buku paket.

Mengapa mereka tidak melakukan inovasi dengan memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekolah?  Saya jadi teringat pendapat Aboe Dohuo yang mengatakan inovasi pembelajaran memerlukan dua syarat, yaitu kemampuan guru dan kebebasan guru untuk melakukan hal-hal yang tidak ada di aturan atau panduan kerja.  Nah, yang saya khawatirkan adalah syarat kedua.  Selama ini guru terpaku pada buku paket, panduan ini dan itu yang seakan-akan buku suci yang setiap kata di dalamnya harus diikuti.  Itulah yang saya sebut dengan teaching-learning trap yang menjebak guru kita.

Sudah waktunya para guru diberikan ruang kebebasan yang cukup dan mendorong mereka untuk melaksanakan pembelajaran yang kontekstual yang lingkungan sekolah maupun pola pikir siswanya.  Guru juga perlu didorong untuk berani melakukan “eksperimen” untuk menemukan model pembelajaran yang cocok untuk kelasnya.  Tentu dengan pesan, boleh keliru tetapi jangan “terantuk batu untuk kedua kalinya”.  Semoga

Tidak ada komentar: