Jumat, 02 Maret 2018

SEKOLAH ITU BUKAN PABRIK ROTI

Ketika diskusi tentang pendidikan, kita menganalogkan proses pendidikan itu dengan proses produksi di sebuah industri.  Dengan menggunakan diagram input (raw input dan instrumenatal input), proses dan output, lantas kita mengatakan agar outputnya memenuhi standar begini, maka inputnya harus begini dan prosesnya harus begini.  Mirip dengan pabrik roti, berdasarkan berkali-kali percobaan untuk menghasilkan roti Boy yang enak, maka komposisi campuran bahannya harus begini, mengaduknya harus begini, memanggangnya dengan alat begini, dengan suhu segini, lamanya sekian dan seterusnya. Pokoknya semua harus sesuai dengan standar.  Konon prinsip itulah yang dipegang ketika pembuatan roti Boy dilakukan di berbagai tempat dan oleh banyak orang, tetapi rasanya sama.  Konon prinsip yang sama juga diterapkan oleh makanan cepat saji yang banyak diwaralabakan di Indonesia.

Nah, apakah proses pendidikan dapat disamakan dengan membuat roti Boy atau menggoreng ayam McDonal?  Rasanya tidak. Ok-lah jika kita ingin mendapatkan output yang terstandar, yang biasanya disebut dengan standar kualitas lulusan (SKL) atau capaian pembelajaran (CP) lulusan.  Namun yang pasti, raw input pendidikan tidak dapat kita standarkan seperti pembuatan roti.  Setiap siswa atau bahkan mahasiswa itu unik.  Mungkin kita dapat berasumsi mereka memiliki bekal awal minimal tertentu, tetapi bukankah mereka memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, motivasi belajar yang berbeda-beda.

Nah, jika proses pembelajaran dikonsepkan agar siswa dapat belajar maksimal sehingga mencapai kompetensi yang diinginkan, maka setiap anak memerlukan proses pembelajaran yang berbeda-beda.  Itu tidak berarti guru harus mengajar anak secara individual, tetapi paling tidak pola pembelajaran yang sukses diterapkan di kelas A belum tentu cocok diterapka di kelas B.  Jadi tidak ada model pembelajaran yang cocok untuk semua kelas.  Di situlah pentingnya kita guru untuk melakukan improvisasi agar pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi kelasnya.  Itu yang mungkin menjadi dasar Aboedohuo menyebutkan peningkatan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh inovasi guru dalam mengajar.

Kalau proses pembelajarannya memerlukan improvisasi (bahasa canggihnya disebut inovasi), maka instrumental input (sarana dan sebagainya) yang diperlukan sangat  mungkin berbeda. Siswa yang cerdas sangat mungkin tidak memerlukan hands on terlalu banyak, jika hanya untuk memahami sebuah konsep karena mampu berpikir abstrak.  Namun siswa yang kurang cerdas memerlukan itu untuk memudahkan memahami konsep yang abstrak.  Itulah sebabnya (konon) hanya anak-anak yang cerdas yang mampu belajar stereometri dengan baik, karena konsep-konsep di dalamnya sangat sulit dipraktekkan atau dibuatkan alat peraga.

Jika proses pembelajarannya tidak mungkin dibakukan secara kaku, keperluan instrumental input juga tidak mudah dibakukan secara kaku, lantas bagaimana membuat standar sekolah yang baik?  Katakanlah bagaimana kita membuat instrumen akreditasi sekolah?  Disitulah ketidakmudahannya.  Memang sulit, tetapi bukan tidak dapat dikerjakan.  Ibarat membuat instrumen sikap, memang sulit tetapi bukan berarti tidak dapat dibuat.

Jika ingin disederhanakan, dapat digunakan pola pikir bahwa mutu pendidikan dapat dilihat dari tiga aspek utama saja, yaitu lulusan, iklim pembelajaran di kelas/lab/workshop dan budaya sekolah.  Dengan melihat tiga aspek itu sudah dapat tergambar seperti apa proses pendidikan dan hasilnya.  Tinggal bagaimana menyusun instrumen untuk mengukur iklim pembelajaran di kelas (classroom climate), budaya sekolah (school culture) dan mutu lulusan.  Semoga.