Senin, 30 April 2018

INDUSTRI 4.0 DAN ADI SASONO


Industri 4.0 kini menjadi topik pembicaraan dimana-mana, khususnya saat membahas masalah sosial ekonomi ke depan.  Menurut berbagai sumber, industri 4.0 bercirikan integrasi siber-fisik, internet untuk pada segala hal, komputasi cloud, dan komputasi kognitif.  Sebagai orang yang awam dalam bidang siber, saya menduga kemunculan era industri 4.0 disumbang oleh teknologi digital, yang mampu menjadi fasilitator berbagai aktvitas. Berkat teknologi itu pula perusahaan Alibaba telah menjadi raksasa retail tanpa memiliki toko.  Disusul oleh Tokopedia dan Bukalapak.  Gojek dan Grab telah menjadi perusahaan taksi tanpa memiliki mobil.  Gojek sekarang telah merambah ke Go food, seakan menjadi penyedia berbagai makanan tanpa memiliki warung apalagi restoran.

Membaca berbagai penjelasan tentang Industri 4.0, saya lantas teringat sosok almarhum Adi Sasono.  Aktivis LSM, salah satu tokoh ICMI dan kemudian menjadi Menteri Koperasi di era Presiden Habibie itu, sudah menyuarakan gagasan itu pada tahun 1990an.  Pada saat itu, Mas Adi-begitu beliau disapa oleh koleganya, mendorong anak-anak muda untuk memfasilitasi petani agar mampu menjual produknya secara on-line.  Melalui LSM, seingat saya bernama PUPUK, Mas Adi sangat gigih untuk merintis pola penjualan on-line, khususnya untuk produk pertanian.  Beliau menjelaskan harga sayur, buah dan sebagainya sangat murah di tangan petani tetapi menjadi mahal di tangan pembeli, karena panjangnya rantai distribusi.  Jika penjualan produk pertanian dapat dilakukan on-line maka petani dan pembeli dapat kontak langsung, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.

Saat ini, teman-teman yunior banyak yang tidak faham bagaimana pola pikir Mas Adi.  Termasuk saya, yang katanya sudah agak senior saat itu, doktor lagi.  Kami sering bertanya, apakah gagasan itu tidak terlalu muluk-muluk.   Maklum saat itu, internet masih merupakan barang langka.  HP juga belum dikenal dan kalau ada yang punya masih kalangan elite saja. Oleh karena itu, kami mempertanyakan bagaimana mungkin petani apel di Batu diajari dan didorong menawarkan panenannya melaui on-line.  Bagaimana mengajari nelayan di Pantura yang tidak mengenal teknologi untuk menjual ikan secara on-line.  Saya itu muncul kelakar, jangan-jangan petani desa dan nelayan kecil mengira “internet” itu jenis “eternit” model baru.

Memang saat itu, Mas Adi belum menyinggung akan adanya fenomena seperti Alibaba yang dikomandani Jack Ma dan Gojek yang dirintis Nabiel Makarim, tetapi paling tidak sudah menggabungkan barang-barang fisik (hasil pertanian dan perikanan) dengan dunia siber.  Penjualan on-line yang saat ini sudah menjadi kehidupan sehari-hari.  Saat itu Mas Adi baru fokus ke bidang pertanian (dan perikanan/nelayan), karena sebagai aktivis LSM, beliau sangat prihatin terhadap dua bidang itu.  Selalu disebut-sebut, petani dan nelayan itu penghasil kebutuhan dasar kita, tetapi kehidupannya sangat memprihatinkan. Jasa petani dan nelayan itu sangat besar karena merekalah yang mengisi perut kita.

Merenungkan itu, saya bertanya-tanya bagaimana Mas Adi memiliki pikiran seperti itu, ketika orang lain belum membayangkannya.  Orang seperti itulah yang menurut saya akan “mengubah” situasi.  Mirip, siapa yang membayangkan Ancol yang dulu merupakan pantai kumuh dapat disulap menjadi tempat rekreasi yang bagus.  Konon berkat gagasan Ciputra, Ancol menjadi seperti yang kita lihat sekarang.  Siapa yang membayangkan air mineral kemasan kini lebih mahal dibanding teh?

Dari aspek pendidikan, perlu dipikirkan bagaimana model pendidikan yang mendorong tumbuhkan ide, gagasan dan terobosan seperti itu.  Memang untuk mewujudkan gagasan tentang air mineral menjadi minuman kemasan, mengubah pantai Ancol menjadi tempat rekreasi, merintis Alibaba dan sebagainya diperlukan modal.  Namun, menurut saya, yang lebih penting adalah adanya gagasan dan keberanian untuk mewujudkan gagasan itu.

Pertanyaannya, bagaimana pendidikan mampu menumbuhkembangkan anak-anak agar memiliki ide, gagasan, kreativitas dan kemudian memiliki keberanian memujudkannya menjadi suatu produk barang atau jasa.  Jangan sampai, anak-anak kita pandai tetapi akhirnya menjadi “disuruh” dan “dipekerjakan” oleh mereka yang memiliki ide dan gagasan tersebut.  Semoga. 

Jumat, 27 April 2018

MOTOR LAMA 50 CC MOTOR BARU 200 CC

Tanggal 24 April 2018 sekitar pukul 10 pagi, saya ikut menghadiri pertemuan antara TF (Tanoto Foundation) dan pimpinan UNRI (Universitas Riau).  Dari UNRI hadir  Wakil Rektor III yang hari itu bertindak sebagai Plh Rektor karena Pak Rektor tugas ke Jakarta, Wakil Rektor IV (Prof Mashadi), Wakil Dekan III FKIP (Dr. Mahdum) dan Wakil Dekan III FMIPA.  Dari TF hadir Pak Stuart Weston (Director of Basic Education), Bu Ari (deputi-nya Pak Stuart), Pak Budi Kuncoro (Koordinator TTI/LPTK) dan Provincial Coordinator untuk Riau.  Pertemyan bertujuan menawarkan kerjasama untuk Basic Education yang kemudian dikaitkan dengan LPTK yang menyiapkan calon guru.

Ketika diskusi, Prof Mashadi yang kebetulan guru besar Matematika menjelaskan bahwa kompetensui guru.  Dengan memberikan contoh UKG (Uji Kompetensi Guru), beliau menjelaskan aspek yang terlemah dari guru kita adalah penguasaan materi ajar atau dalam UU Guru dan Dosen disebut kompetensi profesional.  Oleh karena itu, Prof Mashadi mengusulkan penguatan kompetensi profesional bagi calon guru ketika mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru) atau program pelatihan guru.  Itulah sebabnya dalam pertemuan tersebut diudang Wakil Dekan III FIMPA yang diharapkan dapat berkolaborasi dengan FKIP.

Bahwa kompetensi guru pada kompetensi profesional kurang menggembirakan memang betul.  Tetapi data UKG maupun ketika mereka ikut UTN (Ujian Tulis Nasional) PLPG dan UKM PPG (Uji Kompetensi Mahasiswa PPG) menunjukkan kompetensi pedagogik mereka juga rendah.  Jadi yang rendah tidak hanya penguasaan materi ajar tetapi juga penguasaan pedagogik atau cara mengajar.

Mendengar uraian Prof Mashadi, saya menyampaikan permohonan agar tidak selalu menyalahkan guru, apalagi mengolok-olok.  Semestinya justru kita berterima kasih dan mengharagai mereka.  Mengapa?  Karena mereka sudah mau menjadi guru, pada saat sebagian besar orang tidak mau menjadi guru.  Saya mengingatkan, di masa lalu IKIP itu perguruan tinggi “kelas dua”.  Lulusan SMA/SMK/MA baru masuk IKIP kalau tidak diterima di perguruan tinggi lain.  Anak muda yang sudah kuliah di IKIP-pun banyak yang tidak mau menjadi guru dan memilih pekerjaan lain.  Saya teringat, teman-teman saya kuliah di IKIP Surabaya juga banyak yang berkerja di bidang lain dan tidak mau menjadi guru.

Begitu rendahnya persepsi masyarakat terhadap profesi guru, saya menyampaikan kelakar kalau di Surabaya ada orang tua yang mengancam anak gadisnya yang nakal, dengan kalimat “awas kalau kamu tetap nakal nanti tak nikahkan dengan guru”.  Semua yang hadir jadi tertawa mendengar contoh tersebut.

Karena yang mau masuk IKIP tidak banyak, maka seringkali tidak ada saringan atau dengan kata lain, siapapun yang mendaftar pasti diterima.  Bakan joke-nya, yang mendaftar 10 orang yang diterima 12 orang.  Nah, jika seperti itu kondisinya dapat dibayangkan seperti apa mutu mahasiswa IKIP  di masa lalu, dan itulah yang saat ini menjadi guru di sekolah-sekolah kita.  Tentu juga banyak yang baik, tetapi seperti itulah gambaran umumnya.

Oleh karena itu saya menganalogkan secara umum guru kita, khususnya guru generasi lama itu ibarat motor 50 cc, sehingga diberi bahan bakar pertamax dan diberi olie fastronpun tidak akan mampu lari cepat.  Yang berubah tetapi tidak banyak, karena memang cc-nya kecil dan mungkin bodinya juga tidak kokoh.  Jelasnya, jangan terlalu banyak berharap peningkatan mutu guru setelah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi, karena memang kemampuan dasarnya memang terbatas.

Lantas apakah sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi itu tidak ada manfaatnya?  Apakah tulisan Bank Dunia dengan judul “Double for Nothing” itu memang benar? Menurut saya tidak sepenuhnya benar.  Memang tidak terjadi perubahan signifikan terhadap guru yang saat ini sudah di sekolah, khususnya generasi “senior”, tetapi dengan adanya sertifikasi dan tunjangan profesi guru, minat lulusan SMA/SMK/MA masuk IKIP (sekarang disebut LPTK) meningkat tajam.  Persaingan masuk LPTK menjadi sangat ketat, bahkan untuk prodi tertentu mencapai 1:80, yang artinya 1 kursi diperebutkan 80 orang.  Akibatnya mutu mahasiswa LPTK saat ini menjadi sangat baik.  Perubahan itu terjadi mulai tahun 2010 dan kira-kira lulus tahun 2015. 

Jika fenomena itu terus berlanjut, pelan tetapi pasti kita akan memiliki guru-guru baru dengan mutu yang baik.  Ibarat motor cc mereka bukan lagi 50 cc, tetapi 200 cc, sehingga dapat dipacu dengan baik.  Itulah dampak dari sertifikasi dan tunjangan profesi guru.  Bukan terhadap guru yang saat ini sudah di sekolah, tetapi terhadap guru di masa depan. Semoga.

Senin, 23 April 2018

TERNYATA DI KELAS BISNIS GARUDA JUGA ADA PRAMUGARINYA


Hari minggu kemarin saya terbang dari Jakarta ke Medan dengan pesawat Garus kelas bisnis.  Hebat bukan?  Bukan karena sedang punya uang, tetapi karena dibelikan oleh sebuah lembaga yang mengundang saya untuk ke Unimed dan UIN Sumatra Utara.  Menurut Pak Budi Kuncoro yang mengatur perjalan saya, itupun karena tiket kelas ekonomi habis sehingga “terpaksa” menggunakan kelas bisnis.

Begitu dapat informasi kalau naik kelas bisnis, saya langsung ingat Pak Baedowi.  Mantan Sekjen Kemdikbud dan mantan Dirjen PMPTK itu bercerita kalau di kelas bisnis Garuda tidak ada pramugarinya.  Semula saya kaget dengan ungkapan itu, masak iya, lha di kelas ekonomi saja ada.  Jika tidak ada siapa yang melayani penumpang?   Ternyata itu hanya joke, karena pramugari di kelas bisnis biasanya senior sehingga oleh Pak Baedowi disebut “ibunya pramugari”.  

Nah kali ini saya ingin melihat apakah betul ungkapan Pak Baedowi tersebut. Ternyata tidak betul.  Ketika baru baik dan pintu pesawat ditutup, seperti biasanya seorang pramugari menawari minuman.  Saya lihat name tag-nya tertulis  Tika. Orangnya hitam manis dan saya duga usianya sekitar 25 tahun.  Pasti belum 30 tahun, sehingga belum pantas disebut “ibunya pramugari”.   Cara menawari koran/majalah,  minuman, memberikan handuk kecil panas, menawarkan makan dan juga menawari minuman panas sangat baik, mungkin karena itu terpilih melayani di kelas bisnis.

Pramugari di kelas bisnis mungkin tidak sesibuk rekannya yang bertugas di kelas ekonomi.  Kursi di kelas bisnis hanya 12 buah, sehingga kalau toh penuh yang bersangkutan hanya melayani 12 orang.  Apalagi saat saya terbang dari Jakarta ke Medan, 12 kursi itu hanya terisi 3 orang, sehingga Mbak Tika mungkin lebih santai.  Ketika sedang tidak melayani tamu, saya lihat Mbak Tika duduk santai sambil ngobrol dengan temannya, pramugara senior yang saya duga pimpinan crew.

Keramahan dan kualitas layanan tampaknya menjadi salah satu kriteria penting.  Walaupun penumpang mungkin tidak merasa terganggu dengan cahaya luar, begitu pesawat sudah stabil Mbak  Tika menutup tirai jendela, agar penumpang lebih nyaman istirahat.  Setiap saat, Mbak Tika selalu bertanya apakah penumpang memerlukan sesuatu.   Ketika ada penumpang yang akan ke toilet, dengan ramah Mbak Tika memandung arah ke toilet.

Senyum mungkin salah satu “menu” yang harus disuguhkan oleh pramugari.  Setiap menawarkan sesuatu dan juga mengambil “sisa” makanan dan minuman, pramugasi selalu pasang senyuman.   Sambil sedikit membungkuk, mungkin untuk menunjukkan penghormatan kepada penumpang, Mbak Tika selalu tersenyum saat menawarkan sesuatu atau mengambil sesuatu.  Saya sebagai penumpang, mungkin juga penumpang lain jadi  merasa dihormati.

Mungkin layanan pramugari menjadi salah satu andalam Garuda untuk mengimbangi harga tiket yang relatif lebih mahal dibanding pesawat lainnya.  Misalnya dengan Batik Air yag sama-sama merupakan penerbangan bukan LCC (low cost carier).   Selisih harga tiket antara Garuda dan Batik bisa mencapai 500 ribu rupiah untuk Jakarta-Surabaya.  Pada hal harga makanan yang disuguhkan selama penerbangan saya yakin tidak mencapai 200 ribu rupiah.  Jadi selisih 500 ribu rupiah itu tampaknya untuk membayar keramahan yang senyum manis dari pramugari.

Saya menduga ada SOP bagi pramugari/pramugara ketika melayani penumpang.  Selalu tersenyum, selalu membungkuk atau bahkan jongkok saat berbicara dengan penumpang yang duduk, menawari apakah penumpang perlu tambahan minuman dan sebagainya.  Sepertinya ada “do” dan “don’t” yang harus dipenuhi ketika melayani penumpang.   Dan itulah yang dibayar penumpang penumpang pesawat sekelas Garuda yang harga tiketnya jauh lebih mahal dibanding   

Minggu, 22 April 2018

MIRIS DENGAN KELUHAN PENGAWAS


Rabu lalu, tanggal 18 April 2018, saya bertemu dengan 58 orang pengawas SD/MI dalam acara re-training asesor BAP Jawa Timur.  Di sela-sela acara break, salah seorang peserta menyampaikan kerisauannya tentang kepedulian kita terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.  Menurut beliau banyak kebijakan dan kegiatan sekolah yang tidak terkait langsung dengan peningkatan mutu pendidikan dan itu menyita energi guru.  Akibatnya proses belajar mengajar justru terbengkelai.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali mendapat informasi seperti itu dengan istilah bermacam-macam.  Apa yang menyebut politisasi pendidikan, ada yang menyebut program pendidikan lebih menekankan hal-hal administratif, ada yang menamakan program pendidikan gonta-ganti sehingga guru kebingunan dan sebagainya.  Namun, kali ini yang menyampaikan adalah pengawas yang biasanya pernah menjadi guru, menjadi kepala sekolah dan bahkan ada yang pernah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan Kab/Kota.  Oleh karena itu saya miris mendengarnya. Apalagi keluhan tersebut di-amini oleh beberapa pengawas yang lain.

Betulkah keadaan seperti itu?  Tentu saya tidak dapat menjawabnya.  Namun jika pengawas yang menyampaikan tentu harus mendapat perhatian kita.  Apalagi pengawas SD/MI, semenara SD/MI adalah pondasi pendidikan.  Ibarat membangun rumah, jika pondasinya kokoh maka mudah membangun tembok sampai atap.  Jika pendidikan di SD/MI bermutu bagus, rasanya lebih mudah melanjutkannya di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.  Namun jika mutu pendidikan di SD/MI tidak baik, sangat sulit memperbaikinya di jenjang selanjutnya.  Pendidikan itu sifatnya irreversible, apa yang telah terjadi sebelumnya tidak dapat dikembalikan.

Mengapa itu terjadi dan bagaimana mengatasinya?  Mungkin justru pertanyaan ini yang lebih penting untuk didiskusikan.  Walaupun semua orang pernah sekolah, sehingga merasa tahu bahkan merasa ahli dalam bidang pendidikan, tampaknya banyak hal yang pemahamana seperti itu sebatas di permukaan, sehingga seringkali menyederhanakan masalah.  Teman saya pernah bercerita bahwa semua orang merasa tahu tentang pendidikan karena pernah sekolah.  Persis seperti orangtua yang sudah punya cucu dan biasa menasehati anaknya bagaimana mengasuh buah hati.  Saya sendiri juga berbuat seperti itu.  Saya sering menasehati anak saya bagaimana mengasuh bayinya.  Pada hal mereka tentu sudah tahu atau bahkan lebih faham dibanding saya.

Bahwa pendidikan itu sebuah proses terus menerus dan guru menjadi aktor utama tampaknya belum banyak difahami orang.  Bahwa guru harus terus menerus fokus pada pembelajaranan dan juga terus menerus berinovasi untuk meningkatkan kutu pembelajaran juga belum difahami.  Sangat mungkin banyak orang menganggap pekerjaan sebagai guru sama dengan sebagai administrasi yang setiap saat dapat ditinggal dan nanti diteruskan lagi.  Oleh karena itu, seringkali terjadi mendadak guru harus meninggalkan kelas karena mengikuti acara tertentu, yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan tugasnya mendidik siswa-siswanya.

Dalam peristiwa seperti itu, proses belajar siswa akan menjadi terputus. Untuk melanjutkan guru harus memulai lagi dari “nol”, karena pemahaman yang belum utuh terhadap sebuah konsep akan sangat mudah hilang.  Bahkan yang lebih berbahaya pemahaman yang belum utuh seperti itu menyebabkan terjadinya salah konsep atau mis-konsepsi yang tidak mudah diluruskan. Mirip istilah dalam bahasa Jawa “mogol” yaitu singkong yang dibakar setengah matang yang kalau dibakar lagi rasanya tetap tidak enak.

Inovasi di sekolah juga sulit berkembang karena seringkali guru dikungkung dengan aturan-aturan administratif yang penuh penyeragaman.  Pada hal, setiap saat guru harus berimprovisasi mengatasi siswa yang kurang semangat belajar dan atau siswa yang sulit memahami materi ajar.  Mirip seperti pelawak yang harus selalu melakukan improvisasi agar penonton tertawa.  Penonton yang berbeda memerlukan lawakan yang berbeda.  Lawakan di saing hari mungkin tidak cocok di sore hari walaupun penontonnya sama.  Mirip seperti itulah posisi guru dalam mengajar.

Proses pembelajaran itu terjadi di ruang kelas atau di laboratorium atau di lapangan, ketika siswa belajar dan berinteraksi dengan guru maupun sesama siswa.  Bukan di lembar kertas dalam bentuk RPP atau sejenisnya.  RPP memang penting untuk memandu guru dalam mengajar, tetapi proses pembelajaran di kelas jauh lebih penting.  Lebih dari itu RPP tidak boleh menghalangi guru untuk berimprovisasi ketika siswanya kurang bersemangat atau sulit memahami materi ajar.

Kamis, 12 April 2018

Sekali lagi tentang Grand Design Guru

Minggu lalu saya diundang rapat di Kemdikbud untuk membahas pengadaan guru.  Sebelum undangan diemail, ada staf Kemdikbud yang menilpun memberitahukan kalau saya diudang rapat pada Kamis tanggal 5 April 2018 pukul 14.00.  Karena kebetulan sedang di Jakarta, saya menyanggupinya.  Tidak beberapa undangan dikirim via email dan membuat saya bertanya-tanya, karena yang diundang adalah para pejabat, mulai dari eselon 1 (dirjen), eselon 2 (direktur dan kepala biro), dan eselon 3 (kasubdit dan kepala bagian).  Yang bukan pejabatn hanya saya.

Ketika rapat dibuka oleh Sekjen Kemdikbud dan dijelaskan apa yang ingin dibahas, saya baru faham bahwa rapatnya sangat penting.  Menurut Pak Sekjen, Wakil Presiden memerintahkan agar Kemdikbud menyiapkan rekruitmen guru baru sejumlah 100.000 orang pada tahun ini, 90.000 untuk guru umum dan 10.000 untuk guru agama. Bahkan mungkin naik menjadi 120.000 orang, dengan rincian 100.000 orang untuk guru umum dan 20.000 orang untuk guru agama.

Bahkan Indonesia kekurangan guru dalam jumlah besar, saya sudah sering mendengar.  Namun mengadakan rekruitmen guru baru sebanyak 100.000 orang pada tahun in, membuat saya kaget. Apalagi menurut informasi orang dapat diangkat menjadi guru PNS kalau sudah memiliki sertifikat pendidik.   Pada hal, infomasi alumni PPG yang belum terangkat hanya sekitar 27.000 orang dan sangat mungkin mereka sudah bekerja walaupun bukan sebagai PNS.  Sementara jumlah mahasiswa PPG yang saat ini sedang kuliah dan diperkirakan lulus hanya 17.000 orang.  Jadi jika semua mereka mau mendaftar jumlahnya hanya 44.000 orang.  Lantas bagaimana jalan keluarnya?  Mengangkat lulusan S1 yang belum ikut PPG sehingga belum memiliki sertifikat?  Melonggarkan usia penerimaan PNS, sehingga alumnsi PLPG yang rata-rata usianya di atas 35 tahun dapat mendaftar?

Saya yakin kapa pada akhirnya akan ditemukan jalan keluar.  Namun yang saya bingung mengapa kita tidak bosan melaksanakan crash program yang sudah pasti hasilnya tidak ideal.  Bukankah kita sudah tahun kalau kekurangan guru?  Bukankah kekurangan guru dapat dihitung dengan relatif rinci, sampai per matapelajaran, per kabupaten/sekolah, bahkan sampai setiap tahun ketika memperhitungkan usia pensiun.   Tentu hasilnya tidak betul-betul tepat, tetapi saya yakin cukup sebagai patokan bagaimana menyiapkan calon guru.

Dengan data-data tersebut, maka penyiapkan calon guru dapat dilakukan dengan baik.  Tidak hanya pada jenjang PPG, bahkan jika dikehendaki dapat disiapkan sejak jenjang S1.  Jika diketahui kekurangan guru pada tahun T, maka pada tauhun T-1 dapat dilakukan penerimaan mahasiswa PPG yang sesuai dengan jumlah dan jenisnya.  Pada tahun T-5 dapat dilakukan penerimaan mahasiswa S1/D4 sesuai dengan jumlah dan jenisnya.   Tentu dengan memperhitungkan prosestasi yang tidak lulus dan juga memperhitungkan lulusan S1 non Dik yang masuk PPG.

Jika perhitungan seperti itu dapat dilakukan, muncul pertanyaan mengapa kita tidak melakukannya?  Pada hal  UU no. 14/2005, pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) menyatakan Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Penyelenggara pendidikan wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan, sesuai dengan kewenangannya.  Dengan demikian jika ada sekolah kekurangan guru, orang dapat mempertanyaan pelaksanaan UU tersebut.

UU tersebut telah berusia 13 tahun tetapi tampaknya kita belum juga melaksanakan dengan sungguh-sungguh.  Sudah saatnya dibuat grand design guru, mulai dari penyiapan calon (S1/D4 dan PPG), rekruitmen, penempatan, pengembangan karier mereka ketika sudah bekerja sampai pada pensiun.  Dengan demikan kita tidak perlu dibuat kaget untuk merekrut dengan jumlah sangat besar, sementara calonnya belum ada. 

Senin, 09 April 2018

TERPERANGKAP DI KERETA BIMA


Tanggal 6 April 2018 saya diundang dalam seminar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), bersama dengan Prof Zulkifli bin Muhammad dari UPSI Malaysia.  Sebenarnya hari itu ada wisuda di Unesa dan ada TOT calon asesor BAN-SM.  Namun surat permintaan untuk mengisi seminar itu sudah dikirimkan Agustus tahun lalu dan saya terlanjur menyanggupi dan apalagi foto saya dan Prof Zulkifli sudah dipajang di spanduk maupun liflet.  Jadi tentulah saya harus memenuhinya.  Apalagi tema seminarnya sedang hangat, yaitu bagaimana mengintegrasikan literasi dalam pengembangan karakter.

Seminat berjalan seperti biasanya dan ternyata setelah selesai saya diminta memberi kuliah umum bagi mahasiswa PPG di FKIP.  Jadi jadwal saya baru selesai jam 15an.  Itupun karena terdengar kumandang adzan ashar.  Jika tidak, pasti masih terus berlanjut, karena banyak pertanyaan dari mahasiswa.  Mungkin terprovokasi ungkapan moderator agar mahasiswa memanfaatkan kesempatan ketemu Prof Muchlas yang ikut membidani PPG.

Pak Ahmad, beberapa hari sebelum seminar bertanya, untuk pulang dari Purwokerto ke Surabaya saya pengin naik apa?  Kalau naik pesawat dari Jogya ada Wings Air jam 21.15, sehingga masih terkejar kalau jam 16 dari Purwokerto.  Jika diantar dengan mobil UMP, perjalanan Purwokerto-Jogya sekitar 4 jam.  Atau ingin naik kereta, yang ada kereta BIMA berangkat dari Purwokerto pukul 21.30 sampai Surabaya pukul 05.30.  Saya memutuskan naik kereta api BIMA dengan pertimbangan kasihan teman UMP harus mengantar ke Jogyakarta.

Sehari sebelum pelaksanaan seminar ada berita ada kecelakaan kereta api di Madiun. Kereta api Sancaka nabrak trailer.  Infonya jalur kereta akan terhalang selama 2 hari.  Isteri saya juga mengirimi kabar seperti itu.  Saya jadi bimbang, akan tetap naik BIMA atau berubah naik Wings Air. Oleh karena itu saya minta tolong ke teman di UMP untuk mencarikan informasi apakah jalur kereta sudah dapat dilewati.  Informasinya sudah, sehingga saya memutuskan tetap naik BIMA.

Setelah makan malam bersama teman-teman UMP dan Prof Zukifli dari UPSI, saya diantar ke setasiun kereta.  Sampai setasiun saya bertanya kepada pertugas di pintu masuk, apakah jalur Madiun yang kemarin terjadi kecelakaan sudah beres.  Beliau bertanya saya naik apa dan saya jawak naik BIMA.  Beliau mengatakan kalau BIMA ke Surabaya sudah normal.  Saya tenang, sehingga setelah mengepak barang agar lebih ringkes segera check in masuk ruang tunggu.

Ketiak duduk di ruang tunggu, ada pengumuman 3 atau 4 kereta (saya tidak ingat namanya, tetapi BIMA tidak disebut) akan mengalami keterlambatan lebih dari 1 jam dan penumpang yang ingin mengubah atau membatalkan diminta ke loket 1. Selesai pengumuman itu, kebetulan ada petugas setasiun yang lewat, sehingga saya bertanya bagaimana dengan BIMA yang ke Surabaya. Beliau bertanya “BIMA yang ke Surabaya?”.  Saya jawab “betul pak”.  Petugas itu mengatakan “Tadi BIMA berangkat dari Gambir tepat waktu, sehingga diperkirakan sampai Purwokerto juga tepat waktu.  Saya tenang.

Betul info tadi, beberapa saat ada pengumuman kalau kereta api BiMA akan masuk setasiun Purwokerto jalur 3 dan penumpang yang akan menyeberang ke jalur 3 diminta sabar menunggu kereta Serayu yang sedang berhenti di lajur berangkat.  Setelah kereta Serayu berangkat, saya segera bergeser ke jalur 3.  Ternyata tidak banyak yang naik BIMA dari Purwokerto.  Dugaan saya hanya sekitar 10 orang.  Saya dapat tempat duduk di gerbong 2 nomer kursi 7D.  Kebetulan yang duduk di 7C juga naik dari Purwokerto, seorang ibu yang ternyata tinggal di Prapen Mas.  Jadi tetangga kampung saja, sehingga kami sempat ngobrol.

Karena saya capek, saya bilang ke ibu tersebut kalau saya mau tidur.  Dan ketika saya terbangun, ternyata ibu tersebut pindah ke kursi 7 A dan B karena kebetulan kosong.  Jadi saya dapat tidur nyaman karena dapat 2 kursi (7 C dan D) , ibu tersebut juga dapat 2 kursi (7A dan B).  Saya tidur kembali dengan sembujung di 2 kursi, sambil kaki saya numpang di tas untuk menjaga karena ada lamptop di dalamnya.

Ketika terbangun sekitar pukul 03, saya merasa kereta berhenti. Saya ke toilet sehingga sempat membaca  kalau kereta berhenti di setasiun Palur, dekat Solo.  Ternyata berhentinya lama.  Mungkin sekitar 1 jam.  Saya penasaran, sehingga ingin mencari tahu apa yang terjadi.  Kebetulan ibu di kursi 7 A dan B juga bangun, sehingga saya titip tas karena ingin cari informasi.  Di kereta makan saya betemu dengan kondektur yang di saku bajunya tertulis nama KATON.  Beliau menjelaskan kalau kereta harus antre karena hanya 1 lajur yang harus digunakan bergantian akibat kecelakaan kemarin.  Saya menyarankan agar hal itu diumumkan agar penumpang tidak bingung.  Beliau juga cerita kalau di depan masih ada 2 kereta yang jugan antre.

Pukul 04.30an kereta BIMA baru mulai bergerak dan ternyata berhenti lagi di setasium Gambiran selama sekitar 1 jam.  Setelah itu bergerak lagi dan berhenti lagi setasiun Masaran.  Berarti sampai pukul 07.30an kereta BIMA masih di Jawa Tengah. Jam 09an saya merasa lapar dan informasinya restorasi kehabisan makanan.  Akhirnya saya turun ke setasiun bertanya jam berapa kira-kira kereta BIMA akan berangkat dan dijawab sekitar jam 10an.  Nah, masih cukup waktu mencari makan. Saya tanya lagi adakah warung makan yang dekat dan dijawab ada di seberang jalan, “di bawah rel”.  Saya mengikuti pentunjuk beliau dan memang menemukan “warung” di teras sebuah rumah sederhana yang lokasinya memang di pinggir rel tetapi agak ke bawah.

Ketika saya datang, tidak ada penjaga warung di situ.  Saya ketok-ketok pintu rumahnya juga tidak ada yan menyahut.  Saya melihat apa makanan yang ada. Ternyata hanya telor ceplok atau telor mata sapi, sayur oseng-oseng tempe dicampur kacang panjang, dan semacam kare ayam tetapi dagingnya tinggal leher sebanyak 3 potong.  Tidak beberapa lama ada seorang ibu sepuh keluar dan saya yakin itu yang punya warung, sehingga saya bertanya “wonten sekul nopo bu?” (apa nasi dengan lauk apa bu?).  Akhirnya saya makan dengan nasi panas, telor ceplok dan oseng-oseng tempe plus kacang panjang, ditemani teh manis.  Lumayan untuk mengisi perut kosong.  Apalagi semua tahi hanya 10 ribu rupiah.

Seingat saya, Masaran masih masuk Jawa Tengah dan baru masuk Jawa Timur dengan setasiun pertama Walikukun, terus Kedunggalar, Paron, Barat dan baru Madiun.  Jadi kalau masing-masing setasiun akan berhenti 1 jam kereta baru akan sampai Madiun sekitar pukul 12an.  Jika dari Madiun ke Surabaya lancar, BIMA akan sampai Surabaya pukul 15.30an.  Bukan main.  Tidak terbayang, jika kereta yang mestinya tiba di Surabaya pukul 05.30 baru sampai pukul 15.30 yang berarti terlambat 10 jam.

Penumpang tidak dapat berbuat apa-apa, karena waktu kereta berhenti berada di lokasi yang jauh dari jalur umum. Sewaktu di Palur, kalau penumpang mau turun mencari bus harus naik taksi ke Solo sekitar 30 menit.  Sewaktu di setasiun Gambiran, Masaran dan seterusnya lebih parah karena lebih jauh dari kota yang mudah mencari bus.  Jadi penumpang semaca terperangkap dan terpaksan ikut saja kereta BIMA.

Alhamdulillah jam 10an kereta BIMA mulai berjalan dari Masaran, terus ke Walikukun dan berhenti di Kedunggalar.  Jam 11an berangkat lagi dan betul sampai Madiun jam 12an.  Dari Madiun kereta berjalan lancar dan sampai di setasiun Gubeng ja, 14.30.  Sambil berkemas-kemas saya mengatakan kepada ibu dari Prapen Mas itu, kita diberi bonus 9 jam, dari 05.30 menjadi 14.30.  Namun tetap alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.  Tidak ada yang salah, terlambat karena petugas kerata api harus hati-hati.

Minggu, 08 April 2018

MENERAPKAN MODEL I-CARE PADA TOT ASESOR


Selama 5 hari, tanggal 4-8 April 2018,  BAN-SM (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah) melakukan TOT (training of trainer) asesor.  Ketika mempersiapkan ada keinginan kuat dari teman-teman BAN-SM untuk “memulai” era baru dalam pelatihan.  Era baru diwujudkan dalam 2 hal yaitu: (1) melaksanakan TOT 40 jam benar-benar dilaksanakan selama 40 jam dan bukan “disunat” menjadi 30 jam. Jangan pelatihan yang teorinya dilaksanakan 5 hari “disunat” menjadi 3 hari. (3) melaksanakan TOT dengan prinsip andragogi dan active learning, sehingga peserta benar-benar aktif belajar dan merasa mendapatkan manfaat.  Untuk itu Bu Itje yang ditunjuk sebagai koordinator pelatihan mengajukan model pelatihan yang menurut saya I-CARE (Introduction-Conection-Aplication-Reflection-Extention).

Ketika Bu Itje menjelaskan jadwal pelatihan, saya nyeletuk “wah Bu Itje mengharap semua peserta sehat”.  Sepertinya beberapa teman bingung mendengar komentar tersebut.  Namun Bu Itje cepat tanggap dan menjawab “lha gimana lagi, kan pelatihannya 40 jam, sementara hari pertama hanya 5 jam dan hari terakhir juga hanya 5 jam.  Jadi terpaksa pada 3 hari yang lain pelatihan mulai jam 08.00 s.d 21.00”.   Berarti dalam sehari peserta mengikuti pelatihan selama 13 jam.  Tentu dikurangi istirahat, baik break pagi, ishoma siang, break sholat ashar dan ishoma magrib. Bukan main.

Karena menggunakan pola I-CARE atau lebih tepatnya modified I-CARE peserta sangat aktif, sehingga mereka tidak mengantuk.  Pada pola I-CARE, fasilitator (pelatih) hanya mengantar dalam beberapa menit, yaitu sekitar 5 menit untuk pengantar (introduction).  Pada tahap connection, peserta sudah mulai aktif karena ditanya ini dan itu, untuk menyadari apa yang dipelajari ada manfaatnya dan atau apa yang dipelajari terkait dengan apa-apa yang sudah diketahui sebelumnya.  Tahap ini juga hanya sekitar 5-10 menit.  Nah tahap application, dimana peserta membaca, membuat resume, presentasi atau kunjung karya atau karya kunjung-nya yang paling lama.  Bisa sampai 40 menit atau bahkan 60 menit, tergantung pada materi yang dibahas.  Tahap reflection, dimana fasilitator memandu membuat simpulan konsep apa yang dipelajari diteriuskan dengan extention untuk memberikan pesan apa yang perlu dikerjakan selanjutnya.  Kedua tahap ini juga hanya sekitar 5-10 menit.

Tampaknya pola I-CARE juga merupakan hal baru bagi beberapa anggota BAN-SM yang bertugas menjadi fasilitator, sehingga Bu Itje harus menjelaskan atau bahkan mensimulasikan. Namun setelah itu, semua mengatakan pola ini bagus dan pastilah peserta aktif selama pelatihan.  Saya berpesan kepada staf administrasi, jangan lupa mengecek ruangan tempat pelatihan untuk memastikan tempat duduk dapat digeser-geser karena pelatihan banyak menggunakan kerja kelompok.  Juga tidak lupa menyediakan kertas flip chart dengan spidol bagi peserta ketika mereka harus membuat resume untuk dipajang di dinding.  Juga menyediakan selotip atau sejenisnya untuk menempelkan kertas flip chart di dinding.

Pelatihan dilaksanakan di hotek Aston Bekasi Barat dan diikuti oleh 170 peserta dari seluruh propinsi.  Ketika pelatihan dimulai, muncul kendala yaitu sistem IT yang rewel saat pre test.  Pelatihan memang dirancang paperless, sehingga semua bahan diberikan dalam bentuk soft copy yang bisa diunduh di web tertentu.  Pre test juga menggunakan sistem computerized.  Sayangnya waktu pre test IT ngadat, sementara paper based tidak dapat dilakukan karena memang tidak disiapkan soal dalam bentuk kertas.

Pelatihan selanjutnya berjalan lancar.    Peserta sebanyak 170 orang dibagi dalam 5 kelas, sehingga setiap kelas terdiri dari 34 peserta dan setiap kelas dipandu oleh 3 fasilitator.   Saya kebagian memandu Kelas C bersama dengan Bu Capri (Dr. Capri Anjaya, M.Hum dan Pak Marjuki (Dr. Marjuki, MPd). Peserta tampak senang karena aktif bekerja. Beberapa peserta menyatakan dengan pola I-CARE merasa dapat memahami materi pelatihan lebih baik dari pelatihan lain yang pernah diikuti.  Saya timpali, ya memang dengan pola ini peserta belajar sendiri, fasilitator hanya memandu saja.  Bahkan seorang peserta menyatakan akan menerapakan pola saat melaksanakan pelatihan di daerah. Semoga ini merupakan penyempurnaan terhadap pelatihan yang selama ini berjalan. Seperti kata Bu Itje, tidak megurangi jam pelatihan dan menggeser dari teaching ke learning, sehingga peserta benar-benar belajar.

Senin, 02 April 2018

ANEKA RAGAM, EGALITER DAN SALING MELENGKAPI

Tiga bulan menjadi anggota BAN SM (Badan Akeditasi Nasional Sekolah/Madrasah), saya belajar banyak hal.  Lima belas anggota dengan latar belakang pendidikan beragam, pekerjaan pokok yang beragam dan kepribadian yang beragam membuat perilaku keseharian mereka sangat beragam.  Namun satu perilaku yang sama dan membuat suasana pergaulan nyaman adalah egalitarian.  Dalam rapat, anggota BAN SM bebas menyampaikan pendapat, namun dengan bekal kedewaan mereka menyampaikan dengan santun, walaupun sebenarnya pendapat itu “membedah” persoalan yang sedang dibahas secara dalam.  Meminjam instilah Pak Abdul Malik - Dr.Ir. Abdul Malik, MA. konsultan pendidikan dan mantan orang Bappenas-seringkali anggota BAN SM mbetheti kebijakan Kemdikbud.  Dan memang beliau seringkali mblejeti praktek kependidikan kita dengan tajam, sekaligus memberikan usulan jalan keluar untuk memperbaiki.

Dalam pergaulan di luar rapat juga sangat egaliter. Saling bercanda dengan kelakar yang kadang-kadang lucu.  Pak Ketua - Dr. Tony Toharudin, MSc. pakar statistika dari Unpad - sangat santun dan ngemong anggota yang usianya banyak yang lebih tua.  Bu Itje - Dr. Itje Khadidjah, MA. dosen Uhamka, praktisi pendidikan dan Ketua Dewan Pendidikan DKI, banyak memberikan inspirasi betapa beliau gigih dalam memperjuang idealisme.  Keinginan beliau untuk mengubah kebiasaan yang kurang baik dalam praktek kependidikan merupakan contoh nyata.  Pak Marjuki - Dr. Marjuki, MPd. mantan Ketuan BAP Bengkulu - banyak memberikan usulan praktis bagaimana menyelesaikan persoalan karena pengalaman panjang beliau di BAP. Bu Capri - Dr. Capri Anjaya, M.Hum. yang berpengalaman panjang dalam pengelolaan Sekolah Internasional – dan Bu Silvi – Dr. Sylvia P. P. Soetantyo, MEd. Dosen UPH dan berpengalaman sebagai Kepala sebuah Sekolah Internasional - banyak memberikan pandangan dari kalangan “luar pemerintahan” tentang sekolah internasional. Pak Arismunadar-Prof Dr. Arismunandar, mantan Rektor UNM - banyak memberikan pandangan yang komprehensif terhadap suatu permasalahan. Sangat mungkin itu merupakan pengalaman sebagai rektor yang terbiasa melihat masalah secara utuh.  Pak Pranata-Sumarna Surapranata, PhD, mantan Dirjen GTK-seringkali menjadi ahli hukum karena pandangannya yang cermat terkait dengan Undang-undang maupun aturan lain yang terkait dengan masalah yang sedang di bahas.  

Anggota yang lain tidak kalah kontribusinya.  Pak Maskusi - Dr. Maskuri, MEd. dari berpengalaman menjadi punggawa Kementerian Agama – memerikan informasi banyak tentang madrasah, Pak Budi - Dr. Ir. Budi Susetyo, MS pakar Statistika IPB banyak membantu menyelesaikan data, Pak Nur - Drs. Muhamad Nur, MPd yang berpengalaman panjang sebagai “pendamping guru” di LPMP Jakarta banyak memberikan pengalaman bagaimana mengatasi masalah di sekolah , Pak Yusro - Dr. Muhamad Yusro, MT - dosen muda dari UNJ yang berpengalaman menjadi asesor SMK banyak memberikan informasi khususnya ketika membahas akreditasi SMK, Pak Sayuti - Muhamad Sayuti, PhD. dosen UAD yang banyak melakukan penelitian banyak memberikan pemikiran akademik tentang akreditasi, dan Pak Nyoto - Dr. Amat Nyoto, MPd – dosen UM  yang pandai menyanyi dan anggota lama, banyak memberikan informasi bagaimana instrumen dikembangkan di masa lalu dan apa kendala dalam pelaksanaan akreditasi di lapangan.

Dengan komposisi anggota dan pengalaman yang beragam, diskusi selalu hidup dan mendapat pandangan dari berbagai sisi.  Sebagai contoh, saat mendiskusikan instrumen akreditasi muncul pertanyaan apakah butir instrumen harus sebanyak itu, apakah butir-butir itu memang mengukur kualitas pendidikan di sekolah.  Terjadi perdebatan panjang.  Pandangan kritis akademik menyoroti relevansi butir-butir instrumen, merambat apakah delapan standar pendidikan yang selama ini kita gunakan memang didukung oleh konsep yang kokoh, bahkan akhirnya masuk ke area filosofis apa yang dimaksud mutu pendidikan.  Seperti biasanya perdebatan akademik akan panjang karena masing-masing memiliki rujukan dari school of thought yang berbeda.

Namun akhirnya semua sadar bahwa target tahun 2018 sudah ditetapkan untuk mengakreditasi sekian sekolah/madrasah dan difokuskan pada sekolah/madrasah yang belum pernah diakreditasi.  Nah, jika instrumen dipermasalahkan kapan akreditasi dilaksanakan.  Akhir disepakati untuk tahun 2018 akreditasi dilaksanakan dengan menggunakan instrumen yang ada, sambil melakukan kajian yang mendalam apa tujuan utama akreditasi, aspek-aspek apa yang harus dinilai, seperti apa instrumen untuk mengukurnya, bagaimana menghitung dan menyimpulkannya.  Moga-moga tahun 2019 sudah dapat dilakukan akreditasi dengan pemikiran baru yang tentunya lebih baik