Jumat, 25 Mei 2018

VISI DAN IMAJINASI

Sebenarnya saya kurang faham makna kedua kata itu. Saya ingin mendiskusikan karena dua istilah itulah yang saya rasa paling cocok untuk menggambarkan kemampuan yang saya bayangkan, terkait dengan pendidikan.  Mohon maaf jika ternyata secara akademik penggunaan kedua istilah itu tidak tepat.  Mohon teman yang ahli bahasa berkenan meluruskannya.

Saya sering mengagumi bagaimana orang yang mampu mengubah keadaan yang mungkin kebanyakan orang tidak pernah membayangkan.  Siapa yang membayangkan perkeretaapian berubah begitu banyak saat dipimpin Pak Jonan, yang sekarang menjadi Menteri ESDM.  Sebelumnya semua orang tahu kereta api sering telambat datang dan juga terlambat berangkat, sehingga Ivan Fals membuat lagu tentang itu.  Percaloan juga seakan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia perkeretaapian.  Demikian pedagang asongan.  Siapa yang membayangkan dalam waktu beberapa tahun saja, perkeraapian telah berubah seperti sekarang ini. Kereta api berangkat dna datang tepat waktu.  Kereta api bersih dan ber-AC serta bebas dari pedagang asongan.

Bagaimana kota Surabaya berubah demikian cepat oleh tangan Bu Risma dan sebelumnya telah dimulai oleh Pak Bambang DH.  Taman-taman menjadi begitu indah.  Kampung yang dulu langganan banjir kini telah banyak yang bebas. Layanan di kelurahan, kecamatan dan kantor pemerintahan lainnya menjadi sangat baik. Yang terakhir, ternyata pemasangan kamera di perempatan mampu menertibkan lalu lintas melebihi kehadiran petugas polantas. Jujur saya tidak tahu apakah anggaran di era Bu Risma memang lebih besar, sehingga dapat mengubah wajah kota atau karena kepiawaian beliau yang mampu mengubah kota Surabaya menjadi begitu berbeda.

Di masa lalu, juga ada almarhum Pak Cacuk yang dalam waktu singkat mampu mengubah wajah telkom.  Teman saya yang waktu itu bekerja di telkom bercerita bagaimana Pak Cacuk “membongkar” kebiasaan di telkom sehingga dapat waktu singkat berubah dari perusahaan monopoli yang “angkuh” tetapi menjadi “pelayan pelanggan”.  Karyawan yang dahulu tampak ogah-ogahan bekerja menjadi bersemangat.

Saya juga tidak tahu bagaimana Pak Ciputra “mengubah wajah Surabaya barat yang dahulu kering kerontang ibarat tempat “jin membuang anak” menjadi “kota baru” ibarat perumahan di negara maju.  Konon juga Pak Ciputra yang mampu mengubah Ancol dari pantai yang menyeramkan menjadi tempat hiburan yang begitu menarik.

Pada tahun 1970an saya masih ingat Jawa Pos itu “koran kecil” yang hampir mati.  Bagaimana Pak Dahlan Iskan mampu mengubahnya menjadi “raksana dengan anak pinak”, tidak hanya berupa koran baru, tetapi juga penerbitan, pabrik kertas, pembangkit listrik, TV dan sebagainya.   Pada hal, konon Pak Dahlan pada awalnya wartawan biasa, sebelum pada akhirnya memegang manajemen puncak di grup perusahaan itu.

Yang terbaru fenomena Gojek yang mampu mengubah pertaksian di Indonesia dan banyak diperkirakan akan mengubah pola kuliner.  Dengan pola online (go car), Nabil Makarim mampu merontokkan raksana taksi seperti Blue Bird, sehingga tepaksa bergabung dengan Go Car.  Melalui aplikasi Go Food, sekarang orang menjadi malan ke warung karena dengan Go Food makanan dapat diantar kerumah dengan cepat.

Dalam skala lebih kecil saya mengagumi seorang kawan yang mampu mengubah sekolah yang hampir tutup menjadi sekolah favorit.  Saya juga punya teman yang mampu mengubah warung kecil warisan orangtuanya menjadi warung yang sangat laris bahkan mulai membukan cabang di tempat lain.  Di Malang juga ada dokter yang mungkin bosan praktek, tetapi membuka bimbingan belajar bagi calon dokter yang akan ujian pendidikan profesi (UKM PPD).

Pertanyaan yang muncul, bagaimana mereka itu memulai perubahan itu.  Rasanya dimulai dengan imajinasi yang mungkin agak liar.  Membayangkan bagaimana kalau “menjadi begini dan begitu”. Gagasanya itulah yang mungkin dirumuskan lebih terstruktur menjadi visi dan kemudian dengan “gagah berani bahkan penuh tantangan” dilaksanakan.   Saya yakin pasti pada tahap awalnya banyak orang yang tidak setuju bahkan menentang.  Tetapi keberanian melangkah dan kepandaian mengatasi masalah tampaknya menjadi modal penting.

Pertanyaan berikutnya, dari kaca mata pendidikan, bagaimana menumbuhkan kemampuan tersebut. Menurut saya menemukan jawaban pertanyaan tersebut sangat penting, agar pendidikan kita mampu menghasilkan “orang-orang besar” dan bukan sekedar teknisi atau pekerja yang baik. 

Senin, 14 Mei 2018

BERHUTANG BUDI KEPADA REKAN DOKTER DAN PERAWAT


Selama 2 hari 2 malam, saya dirawat di kamar nomer 2 ruang Ahira RSI Jemursari.  Masuk selepas magrib hari Minggu 6 Mei 2018 dan pulang hari Selasa tanggal 8 Mei 2018 sekitar pukul 17.00. Jika diasumsikan saya benar-benar ruangan pukul 20.00, setelah melalui proses di UGD, foto torak dan CT scan di bagian Laboratorium, berarti saya dirawat di Ahira selama 45 jam.  Ditunggui isteri yang setia dan mendapat ruangan sangat bagus.  Juga ada bed/kasur untuk penunggu.

Sejak dari bagian UGD saya sudah diberitahu kalau yang akan menangani dr. Dyah-wakil direktur bidang medik di RSI Jemursari.  Saya tidak mengerti mengapa beliau yang harus menangani, karena setahu saya beliau spesialis penyakit syaraf.  Apakah sakit saya dicurigai terkait dengan syarat ya?  Apalagi saya di-CT scan segala.  Saya berpikir positif saja.  Seperti info dari Pak Bagus, saya saya akan diobservasi biar tuntas. 

Minggu malam saya merasa tenang, karena sudah di rumah sakit dan dibawah pengawasan dokter.  Perawatnya juga sangat baik-baik.  Malam itu belum dapat jatah malam, sehingga isteri pulang dulu untuk makan.  Saya sudah akan sebelum berangkat.  Saat balik di kamar di Ahira, isteri membawa kabin, camilan yang saya sangat suka.  Jadi praktis Minggu malam saya makan dengan baik dan dapat tidur nyenyak karena merasa aman.

Pagi-pagi, sekitar pukul 06, perawat sudah datang untuk menensi dan mengukur suhu badan saya.  Berapa?  Ternyata masih cukup tinggi, kalau tidak salah 140/87. Sebentar lagi petugas mengantar makanan dan yang sangat menyenangkan, penunggu-isteri saya juga dapat jatah makan. Sungguh pelayanan yang sangat baik.  Sekitar jam 8an , dr Dyah datang untuk memeriksa.  Beliau mengatakan, hasil CT scan baik hanya ada “dot” yang akan dikonsulkan ke dokter radiologi.  Hasil foto torak juga baik.  Hasil lab (pemeriksaan darah) juga baik.  Oleh karena itu, dr Dyah mengirim saya untuk USG bagian perut.  Menurut beliau perut saya kembung dengan asam lambung tinggi.  Ya, saya ikut saja karena dokter yang paling tahu.

Karena harus puasa lebih dahulu, USG lambung dijadwalkan pukul 16.00 dan saya diharuskan puasa (tidak boleh makan tetapi boleh minum air putih) sejak makan siang pukul 12an.  Saya juga harus menahan tidak kencing sejak pukul 15.00.  Pukul 15.45an saya didorong dengan kursi roda ke Lab dan ternyata dr. Adi Habibie sudah menunggu.  Beliau masih sangat muda, dugaan saya usianya maksimal kepala 3.  Sambil melakukan USG kami ngobrol.  Beliau menjelaskan kalau kondisi perut saya baik. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan.

Beliau bertanya berapa usia saya dan saya jawab 66 setengah.  Dr Adi Habibie, dokter panyakit dalam meng-USG mengatakan, kondisi saya sangat prima untuk orang usia 66 tahun.  Saya lantas bercerita kalai hasil CT scan saya ada dot dan oleh dr. Dyah akan dikonsultasikan ke dokter radiologi.  Dr. Adi menjawab, kalau dot sih biasa karena itu biasanya kalsifikasi atau pengapuran.  “Saya yang kepala tiga saja juga ada dot seperti itu”. Tentu saya gembira, karena dot pada hasil CT scan bukan sesuatu yang membahayakan.

Karena USG bagian perut tidak ada hal yang aneh, saya jadi bertanya-tanya “jadi mengapa tekanan darah saya tinggi atau lebih tinggi dari biasanya?”.  Biasanya hanya sekitar 110/70 kok menjadi 150/90.  Istilah Pak Cholik itu 1,5 dari biasanya.  Apa seperti kata Prof Romdhoni. Dokter ahli jantung dan direktur utama RSI Jemursari, bahwa saya kecapekan?  Atau seperti komentar adik kandung saya, yang kebetulan dokter bedah onkologi, perlu diperiksa dokter jantung?   Akhirnya, saya berpikir ya diserahkan kepada dokter yang merawat saja.  Artinya menunggu apa komentar dr. Dyah besuk paginya.

Selasa pagi, seperti biasanya sekitar jam 05.30 ada perawat yang menensi.  Hasilnya 140/80.  Sudah turun dibanding hari Senin.  Namun ketika ditensi lagi pada pukul 10an, tekanan darah saya baik menjadi 152/87.  Saya sedikit kaget.  Apalagi sampai waktu itu dr. Dyah belum visite karena ada sidak dari Persatuan Rumah Sakit atau lembaga apa yang saya kurang jelas.  Didorong rasa penasaran, saya kirim WA melaporkan kalau tekanan darah saya 152/87.  Dijawab, istirahat saja dan segera akan divisite.

Sampai jam 13an dr. Dyah belum juga muncul, mungkin acara sidak belum selesai.  Tekanan dasah saya juga masih 150/85.  Akhirnya, sekitar pukul 13an datang rombongan Prof Romdhoni, dokter ahli jantung dan direktur utama RSI, dr. Dyah, wadir bid. medik dan dokter ahli syaraf, dr. Adit, wadir bid pendidikan dan dokter ahli edah, serta Pak Rohadi, wadir bid adminsitrasi.  Pastilah yang paling banyak komentar Prof Romdhoni.  Beliau minta saya tidak mikir macam-macam, istirahat saja nanti tekanan darah akan turun sendiri.  Bahkan dinasehati jangan sering-sering nensi.  Akhirnya beliau mengatakan, pulang saja dan istirahat di rumah biar lebih rileks.

Dr. Dyah yang menangani saya, meminta perawat memberi obat yang diperlukan dan mempersiapkan kepulangan saya.   Namun masih menunggu apakah sore hari tekanan darah saya stabil.  Akhirnya sekitar pukul 17, perawat memberitahu saya boleh pulang dan memberikan obat serta surat untuk kontrol pada hari Jum’at.  Tentu saya sangat senang.  Segera isteri mencari taksi untuk pulang.  Saya merasa berhutang budi kepada rekan-rekan dokter dan perawat yang sudah demikian baik merawat saya selama 2 hari 2 malam di RSI Jemursari. Semoga Allah swt membalas semua kebaikan itu dengan pahala yang berlipat.

Jumat, 11 Mei 2018

TERIMA KASIH SUKRON

Minggu sore tanggal 6 Mei 2018 untuk kedua kalinya saya mendatangi UGD Rumah Sakit Islam Jemursari.  Sehari sebelumnya, sabtu saya sudah ke UGD tersebut karena tiba-tiba tekanan darah saya cukup tinggi, 155/90.  Pada hal biasanya di bawah 120.   Saat di UGD dicek oleh perawat tekanan darah saya 140/90, kemudian di EKG dan hasilnya normal.  Oleh dokter diberi obat neurodek dan obat mag dan boleh pulang.

Hari minggu, seharian saya istirahat seperti yang dipesankan dokter.  Katanya saya kurang istirahat dan memang betul karena sejak rabu sebelumnya kebetulan saya sangat sibuk.  Mondar-mandir Surabaya-Balikpapan-Samarinda-Jakarta-Jogya-Surabaya.  Apalagi Kamis sorenya terkena macet 3,5 jam di Jakarta gara-gara banjir di daerah Kemang.  Sabtu pagi-pagi pulang dari Jogya mampir rumah untuk sarapan dan terus mengajar sampai pukul 16an.

Walaupun sudah istirahat seharian, rasa sedikit pusing belum juga hilang.  Sehabis magrib isteri menensi saya dan tekanan darah justru naik menjadi 162/97.  Dibayangi rasa takut, saya memutuskan untuk kembali ke RSI.  Ketika ditensi saya menceritakan bahwa kemarin sudah kesini dan diberi obat tetapi tekanan darah tidak turun.   Mas perawatnya sangat baik dan terasa akrab sambil ngobrol.  Raut wajahnya cerah dengan senyum tersungging di bibirnya. Saya baca di bajunya beliau bernama Sukron.  Mungkin perawat seperti itu yang ideal, yang membuat pasien merasa nyaman.

Selesai menensi dan melaporkan hasilnya kepada dokter, Mas Sukron datang lagi sambil menerima telepon.  Hp diberikan saya dan saya baca telepon ersebut dari Abah Bagus.  Saya tanya tanya siapa mas, dijawab dari Abah Bagus.  Jujur awalnya saya tidak faham, siapa yang dimaksud Abah Bagus.  Maklum di kalangan RSI orang yang sudah berusia sering dipanggil abah, termasuk saya juga dipanggil abah.   Sambil mendengar suara di hp, saya jadi tahu bahwa yang menelpn Pak Bagus “orang RSI Jemursari” yang biasa mengurusi hal-hal umum di RSI, antara lain perparkiran.  Intinya Pak Bagus menyarakan saya opname saja untuk diobservasi.

Akhirnya saya diopname dan Mas Sukron yang mengurus segala sesuatunya, termasuk memasang infus dan mencarikan kamar.  Sambil memasang infus beliau cerita ini dan itu, termasuk cerita tentang Cak Anam (Choirul Anam-pengawas Yarsis-teman lama saya).  Mas Sukron sangat terampil dan ramah.  Memasang infus maupun mengambil darah tidak sakit.  Kalau saja semua perawat seperti itu, ramah dan terampil tentu pasien sangat senang dan tidak merasa “ngeri” di rumah sakit.  Bukankah yang paling banyak ketemu pasien adalah perawat, karena dokter hanya sebentar-sebentar ketemunya.  Saya merasa wajib mengucapkan terima kasih kepada Mas Sukron.

Setelah semua selesai, saya diantar ke kamar untuk opname.  Kebetulan Pak Cholik-Wakil Dekan tempat saya bekerja-hadir sehingga beliau yang mendorong kursi roda saya.  Isteri saja dan seorang perawat muda mengiringi di belakangnya.  Mas Sukron sebagai perawat senior di UGD tentu harus menangani pasien lainnya.  Sebelum sampai ke ruang opname, ternyata saya harus menjalani foto torak dan CT Scan otak.   Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah sakit saya serius, kok sampai CT scan?  Atau seperti saran Pak Bagus, menisan diobervasi biar tuntas?  Ya sudah diikuti saja.

Selesai foto torak dan CT scan, saya diantar oleh isteri dan perawat muda itu ke shal Ahira dan kebetulan dapat kamar di nomor 2.   Saat datang, beberapa perawat pada datang dan saya bercerita kalau tadi yang memasang infus Mas Sukron, yang pandai sekali sehingga tidak sakit.  Salah seorang perawat mengatakan Mas Yusro itu suaminya dokter Nanda.  Saya agak kaget.  Betulkan yang dimaksud dr. Nanda putra Pak Salamun?  Ternyata  betul.  Pada hal, saat di Nanda menikah, saya menjadi saksinya.  Jadi saya menjadi saksi pernikahan Mas Sukron dengan dr. Nanda.  Makanya, Mas Sukron tampak sudah mengenal saya dan bahkan menelpun Pak Bagus kalau saya sedang di UGD.  Sekali lagi terima kasih Mas Sukron, semoga apa yang panjenengan lakukan menjadi amal ibadah dan mendapat pah

Kamis, 03 Mei 2018

TERPAKSA JADI BISA?


Dua hari ini saya berada di Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya di Balikpapan dan Samarinda.  Bersama dengan Bu Ari, Pak Budi, Mas Afan dari Tanoto Foundation, saya ke Unmul dan IAIN Samarinda.  Sebenarnya saya sudah berkali-kali ke Kaltim.  Bahkan pada awal tahun 2003-2005 saya sering ke Kaltim karena saat itu saya menjadi konsultan lepas World Bank pada Junior Secondary Education Project (JSE-2) yang salah satu wilayahnya propinsi Kaltim.  Pada tahun 2007an saya juga beberapa kali ke Kaltim, khususnya Kutai Timur karena Unesa punya kerjasama dengan Pemkab setempat dan saat itu saya menjadi Pembantu Rektor Bidang Kerjasama.  Setelah itu sangat jarang saya ke Kaltim.  Tahun lalu saya ke Tarakan yang sekarang sudah “berpisah” menjadi propinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dan hanya transit penerbangan di bandara Sepinggan Balikpapan.

Seperti biasanya, begitu mengunjungi suatu daerah dan waktunya makan, saya selalu bertanya “apa makanan khas di daerah ini dan kemana bisa mencarinya”.   Nah, ternyata itu tidak mudah di Kaltim.  Mas Andre, driver yang menemani kami mengatakan di Kaltim tidak ada makanan khas.  Hampir semua warung makan, restoran yang punya atau paling tidak juru masaknya orang Jawa.  Apalagi warung kecil dan kaki lima praktis “dikuasai” orang Jawa.  Dan bentul, Man Andre yang asli Balikpapan menunjukkan betapa banyaknya warung dengan inisial Jawa, misalnya Soto Lamongan, Pecel Blitar, Warung Ponorogo, Ikan Bakar Cak Gundul, Mie Pak Karso Jogya, Ayam Bakar Wong Solo dan sebagainya.

Apa tidak ada warung yang menjual makanan asli Kaltim?  Mas Budi punya penjelasan yang masuk akal.  Ada, tetapi sangat sedikit dan biasanya di lokasi pedesaan.  Mengapa?  Karena yang membeli orang “lokal” dan itupun tidak banyak.  Orang lokal juga lebih senang membeli makanan buatan orang Jawa yang konon lebih murah dan lebih enak.  Kalau toh ada “orang luar” yang ingin merasakan makanan lokal yang orang yang jarang-jarang ke Kaltim, seperti Pak Muchlas.  Jadi wajar kalau tidak ada warung makanan khas Kaltim di Samarinda dan Balikpapan.  Yang ada di Tenggarong, yaitu Warung Gamis yang menjual sate payau atau sate kijang.

Mendengar penjelasan Pak Budi dan Mas Andre, saya mencoba mengamati dan mencari informasi dari teman-teman di Samarinda.  Dan jawabannya menguatkan tesis Pak Budi.  Pokoknya kalau warung makanan sudah dikuasai orang Jawa.  Bukan hanya itu, toko-toko kecil yang menguasai orang Jawa dan orang Bugis.  Orang sini malas pak.  Maunya makan enak tetapi malas bekerja.  Ya, akhirnya perdangangan atau bahkan aktivitas ekonomi dikuasai oleh orang Jawa dan Bugis.

Mendengar penjelasan teman Samarinda itu, saya bertanya-tanya apakah itu memang benar?  Bahwa banyak orang Jawa yang membuka warung makan di luar Jawa, saya sudah faham.  Bahkan saat saya ke Meraoke beberapa tahun lalu, saya menjumpai banyaknya warung kaki lima yang bercirikan khas Jawa.  Umumnya orang Gresik dan Lamongan, yang membuka warung ikan bakar kaki lima.  Namun kalau sampai orang Jawa dan atau Bugis menguasai penyediaan warung saya baru mendengar hari itu.

Merenungkan fenomena itu saya berpikir, mengapa orang Jawa dan orang Bugis sukses “menguasai” aktivitas ekonomi, khususnya di sektor makanan di Kalimantan Timur?  Apakah fenomena seperti itu juga terjadi di daerah lain?  Apakah itu terkait dengan fenomena yang seringkali kita dengan pendatang seringkali sukses dan “menggeser” orang lokal. Misalnya transmigran di berbagai daerah ternyata sukses dan menggeser penduduk lokal.

Saya jadi teringat pendapat seorang kawan, orang-orang di sekolah swasta biasanya lebih gigih dan lebih kreatif. Orang-orang di perusahaan swasta lebih gigih dan kreatif dibanding dengan mereka yang bekerja di BUMN apalagi di birokrasi pemerintahan.  Mengapa?  Teman saya mengatakan, orang-orang di sekolah swasta atau di perusahaan swasta “dipaksa” untuk kerja keras dan kreatif agar sekolahnya atau perusahaannya tidak tutup.   Sementara teman-teman di sekolah negeri dan BUMN dan birokrasi pemerintah, tenan-tenang karena toh anggaran sudah ada dari negara.  Gaji juga sudah pasti diberi oleh negara.

Apakah semua itu berarti, kondisi yang memaksa dapat membuat orang bekerja keras dan bahkan memunculkan kreativitas untuk mengatasi kendala yang dihadapi?  Jika logika itu benar, maka pertanyaannya “bagaimana pendidikan dapat menciptakan situasi keterpaksaan, sehingga siswa terdorong untuk kerja keras dan bahkan kreatif untuk mengatasi hambatan yang terjadi”. 

Rabu, 02 Mei 2018

TIDUR DIGOYANG MOBIL


Sudah lama saya tidak ke Samarinda.  Mungkin sudah 10 tahunan.  Meskipun ibukota propinsi Kalimantan Timur, tetapi Samarida tidak memiliki bandara yang representatif.  Bandara yang besar berada di Balikpapan yang berfungsi sebagai hub kota-kota di Kalimantar Timur dan juga kota-kota di Kalimantan Utara.  Memang ada bandara di Samarinda tetapi kecil dan saya sendiri belum pernah terbang langsung ke Samarinda.  Jadi setiap kali ke Samarinda, saya landing di Balikpapan, disambung perjalanan darat Balikpapan Samarinda.

Tanggal 2 Mei 2018 saya punya acara di Universitas Mulawarman dan UIN Samarinda, sehingga terbang ke Kaltim sehari sebelumnya.   Saya memilih terbang agak sore, toh acaranya tanggal 2 Mei.  Yang penting bisa sampai di Samarinda tanggal 1 Mei sore atau malam, dan pagi-pagi sudah siap acara.  Setelah melihat jadwal penerbangan, saya memilih Citilink yang terbang dari Surabaya pukul 14.45, dengan harapan sampai Balikpapan sekitar pukul 17.30an, sehingga tidak terlalu malam sampai Samarinda.

Citilink saya pilih karena menurut beberapa teman temasuk penerbangan yang relatif on-time.  Saya merasakan itu ketika beberapa hari lalu terbang dari Pekanbaru ke Jakarta.  Apalagi pramugari menginformasikan kalau Citilink merupakan satu-satunya penerbagangan berbiaya rendah (low cost carier) yang mendapatkan penghargaan Bintang Empat.   Logikanya pelayanan baik dengan jadwal yang tepat pula.

Karena tidak sempat check in on-line, saya sengaja ke bandara agak awal. Sekitar pukul 13.30an sudah sampai Terminal 1 Bandara Juanda dan melakukan check in dengan mudah.  Saya mendapatkan tempat duduk nomer 24-B.   Biasanya saya menghindari kuri bernomor “B” atau “J” karena itu berarti di tengah.  Saya selalu memilih kursi bernomor “C” atau “H” yang artinya di lorong, karena mudah kalau ingin ke toilet.   Kali ini mendapat kursi “B” karena kalau memilih harus membayar tambahan, minimal 55 ribu rupiah.  Tampaknya Citilink benar-benar menerapkan “bussiness airline”, sehingga setiap tambahan kenyamanan harus membayar.

Begitu masuk ke ruang tunggu 10-A sesuai dengan yang tertera di boarding pass, saya melihat pengumuman kalau pesawat delay dan akan diberangkatkan pada pukul 15.10.  Saya segera kirim WA ke Pak Budi Kuncoro, rekan yang akan sama-sama ke Samarinda tetapi terbang dari Jakarta, agar beliau tidak menunggu-nunggu.  Namun ketika jarum jam menunjukkan pukul 15.10 ternyata pengumuman di layar berubah pesawat akan diberangkatkan pukul 16.30. Wow, berarti pesawat akan delay 1 jam 45 menit dan akan sampai di Balikpapan pukul 19.30an WITA.  Itupun kalau betul pesawat take off pukul 16.30.

Informasi itu segera sampai WA-kan ke Pak Budi Kuncoro dan beliau menjawab, nanti dilihat akan menginap di Samarinda seperti rencana semula atau menginap di Balikpapan saja.  Baru pagi-pagi berangkat ke Samarinda.  Saya kira itu rencana yang baik.  Toh acara di UIN .......mulai pukul 10, sehingga masih cukup waktu ditempuh dari Balikpapan pagi-pagi. Anggaplah Balikpapan-Samarinda memerukan waktu 3,5 jam berarti kami dapat start pukul 6 pagi.

Begitu sampai di bandara Sepinggan Balikpapan dan ketemu Pak Budi dan Bu Ari Widhowati, ternyata rombongan akan langsung ke Samarinda dengan harapan dapat istirahat baik, karena tidak tergesa-gesa bangun dan berangkat.  Agar dapat segera meluncur diputuskan makan malam di rumah makan padang yang bisa cepat.  Kebetulan begitu keluar area bandara ditemukan Rumah Makan UPIK dengan sajian masakan padang.

Dengan perut kenyang, kami berlima-Bu Ari, Pak Budi, Mas Afan Surya, Mas Andre-driver dan saya meluncur ke Samarinda.  Kami start pukul 21 lebih sedikit, sehingga Mas Andre-driver bilang kami akan sampai di Samarinda sekitar pukul 24.30an.   Mendengar itu, pikiran saya kami akan masuk hotel lewat tengah malam, sehingga harus berusaha tidur selama di perjalanan agar besuk pagi tetap fresh.

Walaupun teman-teman tetap ngobrol dan bahkan berkelakar, saya mencoba tidur sebisa-bisanya.  Karena jalan sepanjang Balikpapan-Samarinda berkelok-kelok dan tidak rata akibat tanah yang bergerak, maka mobil terus meliuk-liuk dengan goyangan kecil selama perjalanan.  Itulah yang saya nikmati sekitar 3 jam perjalanan, khususnya setelah keluar kota Balikpapan dan masuk kota Samarinda.  “Turu-turu ayam” mungkin itu istilah yang tepat untuk menggambarkan tidur saya selama perjalanan.  Tetap mendengar obrolan teman, tetap dapat merasakan goyangan mobil, tetapi sebenarnya sedang tidur.  Lumayan, daripada tidak tidur sama sekali.

Pukul 23.50an kami sampai hotel Midtown tempat kami menginap.  Jadi perjalanan lebih cepat dari yang diperkirakan Mas driver.  Segera kami check in untuk segera istirahat.  Ketika petugas front office mengatur kamar-kamar kami, saya berkelakar “kalau check in tengah malam gini, bayarny separoh ya”.   Petugas hotel hanya tersenyum dan Mas Budi menimpali “bayar separoh tetapi nanti yang numpak di bed juga hanya badan dan kepala, kakinya tidak boleh”.

Begitu menerima kunci, kami segera masuk ke kamar masing-masing untuk segera istirahat.  Saya juga demikian.  Masuk kamar, melepas celana panjang dan ganti sarung, ambil wudhu, sholat dan segera merebahkan badan.  Ketika menghidupkan tivi, ternyata sedang acara ILC dan membahas masalah tenaga kerja asing yang menyerbu Indonesia.  Menarik, tetapi saya sadar harus segera istirahat.  Oleh karena itu segera saja, tivi saya matikan dan berusaha tidur.